Sunday, November 10, 2013

Danau Kelimutu, Pesiar Pertama (Warna-warni Ende Part. 7)

2 dari 3 Danau Kelimutu

Suatu hari di jalan, pasca saya blogging yang langsung posting 7 artikel—gara-gara di kampung tidak dapat sinyal internetan, saya teringat satu hal penting: ternyata saya belum menulis pesiar pertama saya.

Well, pesiar. Yap...pertama dengar kata itu saya sungguh-sungguh tidak memahami artinya. Hah? Kapal pesiar?  (Sama halnya ketika saya mendengar beberapa kata asing, ‘bersenang’, ‘memang’, ‘main gila’, ‘baku cinta’, ‘sudah’, dsb. Hah...terkadang, saya pusing).

Ternyata, pesiar itu artinya jalan-jalan, rekreasi.

Dan pesiar pertama yang saya lakukan setelah saya tiba di kampung adalah mengunjungi salah satu tujuan pariwisata di sini: Danau Kelimutu.

Awalnya, saya tidak punya bayangan untuk pesiar. Tapi, tiba-tiba, ada postingan di grup untuk melakukan pesiar. Kami memang punya closed group di facebook (di mana lagi coba -_-), tempat kami bisa sharing, posting pengumuman, posting geje, dsb. Nah, si korkec (koordinator kecamatan) saya mengusulkan untuk pesiar perdana sebelum rapat koordinasi kabupaten. Jadilah, pada hari yang ditentukan kami berkendara dengan naik pick up.

Well, sebenarnya saya agak jengkel di malam sebelum keberangkatan. Saya terpaksa tidur di depan pintu, dengan terpal, jadi rasanya duingin memang (nah kan, saya sudah ketularan bahasa sinih -_-). Sebab, kebanyakan orang jadinya tempat untuk tidur pun berkurang. Jadi, karena tempatnya tidak nyaman, saya baru bisa tidur jam 3 pagi (lebih karena kecapekan nangis), jadilah saya sangat merasa mengantuk karena harus mulai mengantri mandi jam setengah 4. Maklumlah, ada sekitar 30 orang yang mengantri.

Akhirnya saya mandi dan sudah dandan.

Jam 6 kami sudah siap. Antimo sudah minum dengan roti. Saya menyerahkan ongkos pick up nya, yaitu Rp 50.000,00. Well, entah saya harus berkomentar mahal atau tidak, karena saya tidak tahu.

Setelah itu kami pun jalan. Karena ada sebagian anak yang puasa tapi ada yang tidak, maka kami pun berhenti di pasar dekat Kelimutu. Saya beli mie sedap gelas karena tidak ada warung yang buka. Saya campur dengan bakso tusuk yang dijual eceran. Well, saya agak sanksi dengan tingkat ke higienitasannya, tapi ya sudahlah...terpaksa juga. Saya pesan 2 tusuk tanpa saus. Ternyata yang jual adalah orang Jawa—entah Jawa mana saya lupa tanya. Kami berbicara dengan bahasa Jawa dan mendapat tatapan aneh dari anak-anak sekitar yang ikut mengantri beli bakso tusuk.

Tak beberapa lama kemudian kami sampai di Danau Kelimutu. Jadi, total perjalanan sekitar 2 jam. Jalan yang dilalui sudah halus dan aspal, jadi tidak perlu khawatir medan yang jelek. Hanya saja, medannya tetap menakutkan karena di samping jurang—jalan mana sih di Ende yang tidak di pinggir jurang coba? Tapi, tetap saja aman kok, terlebih karena jalannya tidak ramai sehingga tidak ada aksi salip menyalip. Minimal tidak seperti di Gunung Kidul. Memang jalannya mirip, tapi di Gunung Kidul kan ramai, jadi ngeri memang jika dibandingkan dengan di Ende.

Sampai di Kelimutu, hawa dingin menyapa. Tapi, cuaca panas. Kami berhenti dan foto-foto sebentar di gerbang masuk dan tiket boks. Harga tiketnya adalah Rp 2.500 (untuk wisatawan domestik). Kami merogoh kocek lagi. Setelah selesai, kami naik lagi menuju tempat parkir. Tidak lama, hanya sekitar 10 menit lagi.

Kami pun sampai di tempat parkir. Mulai deh turun dari pick up. Kami pun diberi beberapa pengumuman dari petugas di sana, misalnya tidak boleh bawa makanan karena ada monyet (FYI, saya sudah naik ke atas ternyata tidak ada monyet, entah petugasnya ngelindur atau monyetnya lagi pesiar ke tempat lain—yang jelas hari itu tidak ada monyet sama sekali). Selain itu, petugas juga menegaskan untuk mengecek barang agar tidak ketinggalan karena barang yang ketinggalan tidak boleh diambil lagi. Petugas juga menyarankan untuk BAB atau BAK dulu, karena di atas tidak ada toilet.

Saya bersama teman-teman, dengan semangat 45 pun berjalan menuju puncak gunung. Jadi, Kelimutu itu adalah semacam danau, tapi letaknya di atas gunung. Ada tiga danau di sana dengan warna-warna yang selalu berubah-ubah. Apa yang menyebabkan perubahan itu, sudah diteliti oleh banyak ahli, tapi katanya (sekali lagi, kata orang-orang di rumah) beluma ada kepastian tentang apa yang menyebabkannya. Saya belum kroscek ke situs terkait, jadi kalau memang sudah ada hasil penelitannya, ya saya minta maap kalau salah.

Balik ke cerita lagi.

Kami mendaki—yap, mendaki, guys. Jauhnya...ya mungkin 5 km ada lah (nglebay kalau ini, kan saya tidak bawa meteran jadi saya tidak tahu jarak pastinya berapa. Bisa jadi seperti dari rumah sampai ke Jodog). Pasalnya memang jauh sekali. Kami naik menuju danau kesatu dan kedua yang berdekatan. Warnanya adalah biru tua sekali dan hijau—entah hijau apa ini namanya. Setelah puas berfoto-foto—sampai masuk ke area pagar juga demi mendapat momen yang pas—kami turun dan berjalan lagi menuju danau ketiga. Di dekat danau ketiga itu ada puncaknya, yang katanya bisa melihat ketiga danau sekaligus.

Hari itu cuaca panas sekali. Dan berjalan sambil mendaki meskipun sudah ada tangga itu rasanya benar-benar amazing. Rasanya ingin nyebur di danau.

Horor juga jalan menuju puncaknya. Serasa kecil sekali. Ibaratnya, dislentik sithik iku wis tiba (didorong pakai jari itu sudah jatuh).

Tak beberapa lama kemudian kami sampai di puncaknya. Yang saya ingat itu, seperti Gubug Pandang di Mangunan (Dlingo, Bantul). Sejauh mata memandang, adalah hijau. Bedanya, ada tiga danau besar yang kami lihat. Danau ketiga berwarna hitam.

Udara masih panas. Di puncak itu, ada beberapa penjaja makanan yang menjual pop mi, kopi, dan beberapa snack. Beberapa teman ada yang pesan kopi. Saya duduk-duduk sambil ngobrol dan foto-foto.

Di sinilah saya. Di Kelimutu. Tempat dimana banyak orang ingin mengunjungi. Dan sekarang di sinilah saya. Tapi, di puncak itu, justru yang saya ingat adalah tempat kecil nun jauh di sana: Bantul. Dan justru yang saya ingat adalah teman-teman yang biasa bepergian dengan saya: betapa asiknya pergi dengan mereka. Dan justru yang saya ingat adalah Mas Aziz. Hemmmm...semenarik apapun tempat yang saya kunjungi, kalau tidak bareng dia itu rasanya tidak lengkap. Hehehehe... (*sudah sudah, jadi keinget lagi kan v.v)

Pemandangan dari Atas Puncak Gunung. Terlihat Tangga yang Mengular
Kami sepakat untuk berkumpul jam 12. Saya pun turun di jam 11. Jauh. Rasanya pengen gelinding saja biar cepet sampai, hehehe. Tak beberapa lama kemudian kami sampai. Duduk-duduk sambil menunggu teman-teman yang lainnya. Setelah itu kami pun berjalan pulang. Dan saya pun ingat, slayer saya hilang. Haduuuuhhh...ternyat a tertinggal di puncak. Howwwhhh,...sudahlah relakan. Itu adalah slayer punya Mbak Pik sejak tahun pertama kuliah. Hilang di Kelimutu, ribuan kilo dari Bantul. Ah...ya sudahlah...

Kami mampir di boks tiket masuk untuk sholat dhuhur. Ada obrol-obrol mau mampir ke air terjun di dekat situ, tapi mengingat malamnya ada rapat dan semuanya terlihat capek, kami pun pulang.

Perjalanan pulang serasa lebih panjang. Badan sudah capek, pick up menjadi full, angin juga kencang, dan awan gelap kadang menyapa. Rasanya mau muntah. Tapi ditahan-tahan terus. Mungkin juga ada hubungannya dengan perut yang kosong, kan ya. Habis mi sedap tadi siang kami tidak makan lagi. Alhamdulillah, saya tidak mabuk. Sampai di kota kami mampir makan padangan yang uenak banget. Rasa Jawa banget lah (sejak hari itu saya langganan di situ kalau ke kota, hehe ^^).

Dan begitulah akhir dari perjalanan pesiar pertama kami. Rasanya senang, tapi banyak capeknya. Senang karena bisa foto-foto. Capek dengan jalannya. Pengen ke sana lagi, tapi dengan Mas Aziz dan keluarga, hehehehe....

Setelah Kelimutu, rencananya akan ada pesiar kedua, karena daratan Flores memiliki banyak sekali tempat wisata. So, kemana kita selanjutnya? Yang jelas, kembali ke kampung dulu, hehehe. Tunggu saja kelanjutan pesiar berikutnya.

*Satu tahun untuk selamanya. Semangat!

No comments:

Post a Comment