2 dari 3 Danau Kelimutu |
Suatu hari
di jalan, pasca saya blogging yang langsung posting 7 artikel—gara-gara di
kampung tidak dapat sinyal internetan, saya teringat satu hal penting: ternyata
saya belum menulis pesiar pertama saya.
Well,
pesiar. Yap...pertama dengar kata itu saya sungguh-sungguh tidak memahami
artinya. Hah? Kapal pesiar? (Sama halnya
ketika saya mendengar beberapa kata asing, ‘bersenang’, ‘memang’, ‘main gila’,
‘baku cinta’, ‘sudah’, dsb. Hah...terkadang, saya pusing).
Ternyata,
pesiar itu artinya jalan-jalan, rekreasi.
Dan pesiar
pertama yang saya lakukan setelah saya tiba di kampung adalah mengunjungi salah
satu tujuan pariwisata di sini: Danau Kelimutu.
Awalnya,
saya tidak punya bayangan untuk pesiar. Tapi, tiba-tiba, ada postingan di grup
untuk melakukan pesiar. Kami memang punya closed group di facebook (di mana
lagi coba -_-), tempat kami bisa sharing, posting pengumuman, posting geje,
dsb. Nah, si korkec (koordinator kecamatan) saya mengusulkan untuk pesiar
perdana sebelum rapat koordinasi kabupaten. Jadilah, pada hari yang ditentukan
kami berkendara dengan naik pick up.
Well,
sebenarnya saya agak jengkel di malam sebelum keberangkatan. Saya terpaksa
tidur di depan pintu, dengan terpal, jadi rasanya duingin memang (nah kan, saya
sudah ketularan bahasa sinih -_-). Sebab, kebanyakan orang jadinya tempat untuk
tidur pun berkurang. Jadi, karena tempatnya tidak nyaman, saya baru bisa tidur
jam 3 pagi (lebih karena kecapekan nangis), jadilah saya sangat merasa
mengantuk karena harus mulai mengantri mandi jam setengah 4. Maklumlah, ada
sekitar 30 orang yang mengantri.
Akhirnya
saya mandi dan sudah dandan.
Jam 6 kami
sudah siap. Antimo sudah minum dengan roti. Saya menyerahkan ongkos pick up
nya, yaitu Rp 50.000,00. Well, entah saya harus berkomentar mahal atau tidak,
karena saya tidak tahu.
Setelah itu
kami pun jalan. Karena ada sebagian anak yang puasa tapi ada yang tidak, maka
kami pun berhenti di pasar dekat Kelimutu. Saya beli mie sedap gelas karena
tidak ada warung yang buka. Saya campur dengan bakso tusuk yang dijual eceran.
Well, saya agak sanksi dengan tingkat ke higienitasannya, tapi ya
sudahlah...terpaksa juga. Saya pesan 2 tusuk tanpa saus. Ternyata yang jual
adalah orang Jawa—entah Jawa mana saya lupa tanya. Kami berbicara dengan bahasa
Jawa dan mendapat tatapan aneh dari anak-anak sekitar yang ikut mengantri beli
bakso tusuk.
Tak beberapa
lama kemudian kami sampai di Danau Kelimutu. Jadi, total perjalanan sekitar 2
jam. Jalan yang dilalui sudah halus dan aspal, jadi tidak perlu khawatir medan
yang jelek. Hanya saja, medannya tetap menakutkan karena di samping
jurang—jalan mana sih di Ende yang tidak di pinggir jurang coba? Tapi, tetap
saja aman kok, terlebih karena jalannya tidak ramai sehingga tidak ada aksi
salip menyalip. Minimal tidak seperti di Gunung Kidul. Memang jalannya mirip,
tapi di Gunung Kidul kan ramai, jadi ngeri memang jika dibandingkan dengan di
Ende.
Sampai di
Kelimutu, hawa dingin menyapa. Tapi, cuaca panas. Kami berhenti dan foto-foto
sebentar di gerbang masuk dan tiket boks. Harga tiketnya adalah Rp 2.500 (untuk
wisatawan domestik). Kami merogoh kocek lagi. Setelah selesai, kami naik lagi
menuju tempat parkir. Tidak lama, hanya sekitar 10 menit lagi.
Kami pun
sampai di tempat parkir. Mulai deh turun dari pick up. Kami pun diberi beberapa
pengumuman dari petugas di sana, misalnya tidak boleh bawa makanan karena ada
monyet (FYI, saya sudah naik ke atas ternyata tidak ada monyet, entah
petugasnya ngelindur atau monyetnya lagi pesiar ke tempat lain—yang jelas hari
itu tidak ada monyet sama sekali). Selain itu, petugas juga menegaskan untuk
mengecek barang agar tidak ketinggalan karena barang yang ketinggalan tidak
boleh diambil lagi. Petugas juga menyarankan untuk BAB atau BAK dulu, karena di
atas tidak ada toilet.
Saya bersama
teman-teman, dengan semangat 45 pun berjalan menuju puncak gunung. Jadi,
Kelimutu itu adalah semacam danau, tapi letaknya di atas gunung. Ada tiga danau
di sana dengan warna-warna yang selalu berubah-ubah. Apa yang menyebabkan
perubahan itu, sudah diteliti oleh banyak ahli, tapi katanya (sekali lagi, kata
orang-orang di rumah) beluma ada kepastian tentang apa yang menyebabkannya.
Saya belum kroscek ke situs terkait, jadi kalau memang sudah ada hasil penelitannya,
ya saya minta maap kalau salah.
Balik ke
cerita lagi.
Kami
mendaki—yap, mendaki, guys. Jauhnya...ya mungkin 5 km ada lah (nglebay kalau
ini, kan saya tidak bawa meteran jadi saya tidak tahu jarak pastinya berapa.
Bisa jadi seperti dari rumah sampai ke Jodog). Pasalnya memang jauh sekali.
Kami naik menuju danau kesatu dan kedua yang berdekatan. Warnanya adalah biru
tua sekali dan hijau—entah hijau apa ini namanya. Setelah puas
berfoto-foto—sampai masuk ke area pagar juga demi mendapat momen yang pas—kami
turun dan berjalan lagi menuju danau ketiga. Di dekat danau ketiga itu ada
puncaknya, yang katanya bisa melihat ketiga danau sekaligus.
Hari itu
cuaca panas sekali. Dan berjalan sambil mendaki meskipun sudah ada tangga itu
rasanya benar-benar amazing. Rasanya ingin nyebur di danau.
Horor juga
jalan menuju puncaknya. Serasa kecil sekali. Ibaratnya, dislentik sithik iku wis tiba (didorong pakai jari itu sudah
jatuh).
Tak beberapa
lama kemudian kami sampai di puncaknya. Yang saya ingat itu, seperti Gubug
Pandang di Mangunan (Dlingo, Bantul). Sejauh mata memandang, adalah hijau.
Bedanya, ada tiga danau besar yang kami lihat. Danau ketiga berwarna hitam.
Udara masih
panas. Di puncak itu, ada beberapa penjaja makanan yang menjual pop mi, kopi,
dan beberapa snack. Beberapa teman ada yang pesan kopi. Saya duduk-duduk sambil
ngobrol dan foto-foto.
Di sinilah
saya. Di Kelimutu. Tempat dimana banyak orang ingin mengunjungi. Dan sekarang
di sinilah saya. Tapi, di puncak itu, justru yang saya ingat adalah tempat
kecil nun jauh di sana: Bantul. Dan justru yang saya ingat adalah teman-teman
yang biasa bepergian dengan saya: betapa asiknya pergi dengan mereka. Dan
justru yang saya ingat adalah Mas Aziz. Hemmmm...semenarik apapun tempat yang
saya kunjungi, kalau tidak bareng dia itu rasanya tidak lengkap. Hehehehe...
(*sudah sudah, jadi keinget lagi kan v.v)
Pemandangan dari Atas Puncak Gunung. Terlihat Tangga yang Mengular |
Kami mampir
di boks tiket masuk untuk sholat dhuhur. Ada obrol-obrol mau mampir ke air
terjun di dekat situ, tapi mengingat malamnya ada rapat dan semuanya terlihat capek,
kami pun pulang.
Perjalanan
pulang serasa lebih panjang. Badan sudah capek, pick up menjadi full, angin
juga kencang, dan awan gelap kadang menyapa. Rasanya mau muntah. Tapi
ditahan-tahan terus. Mungkin juga ada hubungannya dengan perut yang kosong, kan
ya. Habis mi sedap tadi siang kami tidak makan lagi. Alhamdulillah, saya tidak
mabuk. Sampai di kota kami mampir makan padangan yang uenak banget. Rasa Jawa
banget lah (sejak hari itu saya langganan di situ kalau ke kota, hehe ^^).
Dan
begitulah akhir dari perjalanan pesiar pertama kami. Rasanya senang, tapi
banyak capeknya. Senang karena bisa foto-foto. Capek dengan jalannya. Pengen ke
sana lagi, tapi dengan Mas Aziz dan keluarga, hehehehe....
Setelah
Kelimutu, rencananya akan ada pesiar kedua, karena daratan Flores memiliki
banyak sekali tempat wisata. So, kemana kita selanjutnya? Yang jelas, kembali
ke kampung dulu, hehehe. Tunggu saja kelanjutan pesiar berikutnya.
No comments:
Post a Comment