Sunday, October 27, 2013

Sakit Pertama di Tanah Orang (Warna-warni Ende Part.6)


Lingkungan yang baru itu selalu membutuhkan penyesuaian. Penyesuaian adat istiadat, penyesuaian bahasa, dan terutama penyesuaian tubuh pada iklim yang berbeda.

Selama 24 tahun saya hidup, tak pernah sekalipun saya jauh dari orang tua. Paling lama mungkin 1 minggu. Selebihnya, saya di rumah saja. Jadi, bagaimana sistem tubuh saya bekerja di lingkungan yang asing itu, belum pernah saya alami sebelumnya. Meski demikian, saya merasa bahwa tubuh saya ini tidak rewel. Artinya, lebih mudah menyesuaikan diri (setidaknya kalau dibandingin dengan kakak saya, wkwkkwk :p).

Saya melakukan banyak penyesuaian dalam hari-hari pertama saya di Ende.
Pokoknya banyak hal.

Mulai dari makan, mandi, minum, listrik, jam tidur, cuci baju, memasak, bersih-bersih, dsb.

Dan puncaknya, saya sakit.

Ya, dua minggu setelah saya tiba di sini, saya sakit. Dan saya yakini itu adalah salah satu bentuk reaksi dari tubuh saya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi cuaca dan makanan.

Singkatnya, saya diberi obat malaria dari kampus. Obat itu bereaksi dengan membabi buta pada tubuh saya. Karena saya magh, obat itu berefek negatif. Tiba-tiba saja perut saya sakit. Rupanya, hal itu juga dipicu oleh cabe khas Ende yang kuecil tapi pedasnya nuendang. Rasanya pun tak seperti yang cabe-cabe di Jawa. Lidah saya getas kalau makan. Tenggorokan saya langsung panas kalau makan. Ditambah lagi, garam yang masuk ke makanan itu super buanyak. Akhirnya, perut saya protes. Magh saya kambuh. Tak Cuma magh yang biasanya, tapi sampai ke ulu hati juga.

Dua hari saya tahan sakit saya itu. Obat magh tidak ada. Saya lupa tidak bawa obat magh dari Jawa.

Dan akhirnya tidak berhasil menahannya.

Saya turun kota pada hari ketiga. Periksa ke dokter. Cek darah di puskesmas. Dan saya hanya diberi obat magh, paracetamol, vitamin, dan obat penghilang  perut kembung. Ah, obat itu sih saya bisa beli di apotek. Saya mesti bayar 100ribu (di Jawa, tidak ada periksa dokter+dikasih obat sampai 100ribu, -_-“).

Saya istirahat di kontrakan selama 2 hari.

Setelah itu saya naik. 2 hari kemudian saya sembuh.

Sejak hari itu, saya tidak sakit magh lagi sampai sekarang.

Saya akui, itu adalah salah satu bentuk reaksi yang wajar dari tubuh saya dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Dari yang semuanya serba dicuci pakai air, higienis, dan bersih, menjadi keadaan yang seadanya, sungguh penyesuaian yang tidak mudah. Tapi lama kelamaan saya biasa saja kok.
Ketika saya amati teman-teman saya, memang beberapa ada yang sudah cek dokter juga, ada yang sakit, ada yang gatal-gatal, ada yang demam, dsb. Wajar.

Harapannya sih, setelah ini saya tidak sakit lagi. Amin. Semoga.

Cerita tentang Hujan (Warna-warni Ende Part.5)


Tirai hujan basahi aku
Temani sepi yang mengendap
Kala aku mengingatmu
Dan semua saat manis itu

*) Utopia, Hujan
Baca judulnya, ini bukan postingan romantis yang mengingatkanku pada hujan di tanah Jawa lho. Jadi, kalau ingin cerita romantis, baca di tag lainnya saja, ini cerita tentang hujan di tanah rantau. Dan tidak ada unsur romantisme sama sekali...
Saya akan bercerita tentang cuaca di tempat saya tinggal.
Sebenarnya, cuaca di sini (FYI, saya sedang di Ende bagi yang belum tahu), itu cuaca yang aneh. Anomali. Kadang panas ampun-ampunan, kadang hujan deras-derasan. Pagi selalu disambut dengan mendung, siang panas menyengat, tak lama kemudian hujan deras turun.
Seperti hari ini.
Hari ini saya berencana untuk turun ke Nangaba. Weekend, masbro! Sudah hampir 2 minggu saya di atas, harus sedikit merefresh diri agar tidak stres.
Akses Jalan ke Ranoramba *dokumentasi pribadi
Akhirnya memutuskan untuk turun dan koordinasi dengan koordinator kecamatan kami—namanya Cahyo. Saya sudah janjian dengan Mbak Eka. Mbak Eka sedang ada masalah krisis listrik. Entah kenapa, genset yang biasanya menyala jadi tidak dinyalakan lagi, lalu Mbak Eka krisis batere, kadang di sms pending karena hape tidak aktif. Oh...saya hampir ingat peristiwa satu minggu lalu dimana hampir selama 1 minggu saya juga tidak ada listrik. Alhamdulillah, power bank bisa membantu saya. Dan finally, di detik-detik terakhir batere saya sekarat dan powerbank habis, listrik pun menyala. How lucky, rite?!
Jadi saya kasihan sekali dengan Mbak Eka. Kan Mbak Eka sudah baik banget sama saya, nemeni berobat, nemeni belanja, pokoknya soulmate di sini lah. Jadi, saya pun memutuskan untuk turun.
Pagi hari tadi, Mbak Eka mengirim SMS.
“Jadi turun?”
“Kalau ga hujan aku turun mbak, tapi kemungkinan besar iya.” Balasku sambil menatap langit di luar. Mendung.
Tapi mendung pagi tadi pun tersaput sinar matahari. Panas. Panas banget pokoknya. Cerah. Tanpa ada mendung seperti hari-hari lalu. Jam 11 siang kami pulang dari sekolah. Masih panas. Ah, saya berangkat jam 12 saja, deh. Jadi, masih ada waktu 1 jam, gunakan saja untuk mencuci. Kebetulah air juga mengalir. Buka sarung bantal dan sprei, kumpulkan pakaian kotor, dan cuci.
Jam 12, cuaca masih panas. Saya pun bersiap-siap. Lanjut makan siang—alhamdulillah menunya ikan.
Selesai makan, ku lihat mendung mulai bergelayut dari utara. Oh...perasaan rasanya tidak nyaman.
Jam 12.25, cuaca masih cerah. Tinggal menunggu ojek.
Jam 12.35, ojek datang, bersamaan dengan hujan yang mulai turun. Pelan tapi pasti, rintik itu berubah menjadi hujan lebat. Tambah lagi angin. Tambah lagi kilat. Tambah lagi guntur.
Oh, well...
Beginilah ending dari hari ini.
Hujan pun menyapu semua hawa panas. Sekaligus hawa kebahagiaan dan semangat untuk turun. Saya sudah SMS beberapa orang tapi belum ada balasan. Mungkin hujan juga telah menghalangi sinyal.  Plusnya, listrik pun mati. Jadi, bersiap-siap untuk mematikan laptop agar bisa digunakan saat dibutuhkan.
Benar-benar cuaca yang aneh, bukan? Rasanya saya belum pernah mengalami perubahan sedrastis ini saat di Jawa. Kalau menurut saya, perubahan ini benar-benar tidak menyehatkan untuk tubuh. Tubuh yang tadinya panas, berubah menjadi dingin. Artinya, gampang sakit.
Hujan memang memiliki cerita masing-masing. Anak-anak Worombera yang pulang dari sekolah pasti juga hujan-hujanan. Orang-orang yang naik dari Ende pasti juga berhenti untuk berteduh. Masih ingat juga cerita dimana saya beramai-ramai menampung air hujan karena stok air di kontrakan habis. Hari itu saya bahagia hujan turun. Hari ini...saya rasanya ingin memaki. Tapi, entah harus memaki siapa.
Tapi, ketika saya melihat dari satu sudut pandang yang lain, ada satu hal yang saya ingat. Bahwa setiap hal yang Dia atur adalah hal yang terbaik. Saya tentu tidak tahu, makna dibalik hujan tiba-tiba ini. Bisa jadi, ini adalah salah satu bentuk penjagaan Alloh pada saya. Jadi, mau tak mau, harus ikhlas dan legowo.
Ya...entahlah, saya jadinya turun apa tidak ini. Kalau saya turun, besok sudah naik lagi. Ah...waktunya hanya sebentar. Jalannya bikin sempoyongan. Tapi kalau tidak turun, listrik pun mati. Ah...dalam kegelapan lagi.
Baiklah, nanti bagaimana baiknya saja deh. Alloh lebih tahu J


***
Beberapa jam kemudian...
FYI, saya jadinya turun pada pukul 14.30. Yap...hujan berhenti dan akhirnya saya turun. Dan benar saja, cuaca langsung berubah drastis. Awan gelap seolah menghilang begitu saja, digantikan oleh birunya langit dan awan putih yang berarak riang, seolah tidak ada hujan yang terjadi sebelumnya.
Tapi, karena medannya sungguh mengerikan, saya tak henti-hentinya berdoa, berharap motor tetap stabil jadi saya tidak nyemplung ke jurang.
Dan saya pun sampai di kota. Horeee!!!

Sekolah Saya Bernama Nakawara (Warna-warni Ende Part.4)

Aksi Anak-anak di Depan Sekolah *dokumentasi pribadi

Sekolah kami beratap seng, dengan kayu-kayu sebagai patok utama, dengan anyaman bambu sebagai dindingnya, dan tanah sebagai lantainya. Kami selalu was-was kalau hujan dan angin besar datang. Karena hujan akan membasahi tanah. Karena angin besar akan menghancurkan sekolah kami dalam sekali tebas.
Itulah SD N Nakawara. Letaknya ada di desa Ranoramba, kecamatan Ende, kabupaten Ende. Jarak dari pusat kota tak kurang dari 1 jam. Tapi, tentu saja tak bisa dibayangkan jalan yang dilalui semulus dari Bantul-Sleman yang juga ditempuh dalam jarak 1 jam. Jika jalan mulus, Ranoramba bisa dicapai dalam waktu tak kurang dari setengah jam. Medan menuju Nakawara memang sangat memacu andrenalin. Pantaslah, tak banyak orang yang berkendara sendiri. Alat transportasi utama ke Nakawara adalah dengan ojek motor (30-40rb naik turun). Tentu saja, tak sembarang ojek motor, hanya yang ahli dan punya jam terbang tinggi saja yang siap mengantarkan dalam segala cuaca. Panas sih oke, kalau hujan, hati-hati licin. Salah-salah bisa masuk jurang.
Bagaimana menuju ke sana?
Pemandangan di Sepanjang Laut Sawu *dokumentasi pribadi
Dari kota, kami menuju ke arah Nanga Panda. Perjalanannya sungguh menyenangkan, lho, soalnya jalannya ada di pinggir laut. Jadi, seperti di film-film itu, rambut kita akan berkibar-kibar karena angin yang besar (kalau saya ya, jilbab saya lah ya ^^). Apalagi di Ende ini, helm hanya diwajibkan pada pengendara di depan, sementara yang belakang tak perlu. Saya yang sudah biasa pakai helm pun jadi agak tidak nyaman. Tapi merasakan angin membelai kepala, sungguh menyenangkan lho. Apalagi kalau langit sedang cerah-cerahnya, jajaran pegunungan nun jauh di depan serta langit biru berpadu dengan lautan yang biru benar-benar menjadi pemandangan yang membuat setiap orang berdecak kagum. Inilah eksotisme Ende.
Sampai di Jembatan Nangaba, kami menuju ke arah kecamatan Ende di Nangaba. Setelah itu, ada pertigaan, arah kanan menuju Wologai, sedangkan arah satunya menuju Nakawara. Kami mengambil arah kiri. Selama 25 menit kemudian, pemandangan yang ada di depan hanyalah pegunungan. Well, sebaiknya hanya lihat depan saja, deh. Pasalnya, jalannya sumpah ngeri banget euy. Sulit mendeskripsikan keadaan jalannya. Di sebelah kanan ada bukit, di sebelah kiri ada jurang. Sepanjang jalan hanya ada jajaran kebun kakao, kelapa, cengkeh, kemiri, dsb, kadang dengan beberapa kampung juga. Jalannya pun tidak rata, karena hampir 80% masih berupa batu-batu kasar yang terjal, tanah, dsb yang jika bukan ahli pasti tidak akan bisa melewatinya. Beberapa jalan memang sudah semen cor-coran, tapi beberapa bagiannya sudah rusak jadi sama saja malah membuat bahaya. Kadang, saya harus turun kalau jalan sudah tidak memungkinkan. Kadang, pegangan harus kuat kalau ada turunan, dan lebih kuat lagi kalau ada tanjakan. Bisa-bisa kita yang di belakang akan terpelanting jatuh masuk jurang. Ngeri kan...
Melewati jalan ini membuat saya teringat perjalanan saat Baksos di Gunung Kidul tahun 2008 lalu, saat baru fresh jadi mahasiswa. Tentu saja dengan mengendarai si hitam yang setia banget—yang pulangnya ada acara ban bocor segala. Hanya saja, tidak ada jurang, jadi relatif lebih aman. Jalan ini juga mengingatkan saya pada jalan di Petungkriyono. Mirip. Meski Petungkriyono sudah lebih halus dan aman.
Setelah berkendara yang sebenarnya sangat sebentar tapi karena medannya ngeri jadi serasa seabad, akhirnya sampailah kita di dusun Nakawara. Bagi orang yang belum berpengalaman, siap-siap pegangan dulu, karena lutut dan tangan akan berasa gemeteran dan lemas—saya untungnya tidak, heheheh. Nah, susun ini termasuk dusun yang terjauh, hampir berbatasan dengan Nanga Panda dan Maukaro (katanya penduduk setempat lho ini ^^).
SD N Nakawara termasuk SD yang baru, karena baru 2-3 tahun ini berdiri. Jadi, bangunannya masih merupakan gedung sementara. Well, saya sebut gedung bukan berarti ada tembok dan genteng. Seperti yang sudah saya sebutkan di awal tulisan ini, bangunan kami masih terdiri dari dinding bambu, tanpa ubin, dan semuanya murni dari kayu. Bahkan, meja kursi siswa pun dibuat sendiri dari kayu. Keren banget kan. Memang, SD ini merupakan hasil kerja keras dari seluruh penduduk di desa Ranoramba. SD terdekat dari SD ini adalah SD K Worombera, sekitar 5 km (kata Mama) dan harus ditempuh dalam waktu 1 jam jalan kaki (mendaki dan menurun bukit juga tentunya ^^). Sekadar info, Desa Ranoramba juga merupakan desa baru, hasil pemekaran dari Desa Nakuramba. Jadi, para penduduk desa Ranoramba (yang terdiri dari 3 dusun, Nakawara, Ratenusa, dan lupa apa nama satunya), pun memperjuangkan agar ada SD di desa mereka. Dan inilah, desa Ranoramba punya SD N Nakawara.
Upacara Serah Terima SK SD *dokumentasi pribadi
Pada tanggal 12 Oktober 2013 lalu, telah dilakukan serah terima SK SD tersebut, sehingga SD tersebut sudah diakui dan resmi berdiri. Hanya saja, jumlah rombongan belajar yang diijinkan baru sebatas 3 kelas, sehingga selepas kelas 3 anak-anak akan pindah sekolah lagi. Kata Pak A, untuk menuju ke 6 rombel, butuh proses dan waktu. Jadi, yang terpenting sekarang adalah adanya gedung yang permanen.
Rencananya, gedung baru akan dibangun sekitar 200 meter dari gedung lama. Hanya saja, lokasinya lebih dekat ke jalan jadi pemandangannya nanti pun tak seindah gedung lama. Gedung lama memang ada di atas bukit. Bahkan dari sana, bisa terlihat gedung sekolah Worombera, Magengura, Laut Sawu, serta kota Ende di kejauhan. Tinggi kan. Tapi meski gedung lama ada di bawah, tak masalah asalkan segera terealisasikan.
Well, pendirian gedung ini, selain atas bantuan dari pemerintah, juga swadana sendiri dari masyarakat lho. Keren banget ya. Sementara banyak sekali sekolah-sekolah di Jawa yang tidak dipakai karena bergabung menjadi satu (grouping), dsb., Nakawara justru bersusah payah untuk membangun sebuah gedung. Saya sih berharap ada pihak yang mau menjadi sponsor pendirian sekolah ini. Saya ingin bantu, tapi bingung mau bantu apa. Akhirnya, yang bisa saya lakukan hanyalah menulis di blog. Curhat.
Well, itulah sekolah tempat saya tinggal selama 1 tahun. Semoga saya betah.
Bagaimana tidak betah, murid-muridnya menyenangkan, pemandangannya menyenangkan, dan guru-gurunya pun juga menyenangkan.
Lanjut besok lagi, ya. Sudah malam. Waktunya untuk tidur ^^.

Saturday, October 26, 2013

Desa itu Bernama Ranoramba (Warna-warni Ende Part.3)


Kalian tahu, bagaimana rasanya nama kalian dipanggil secara tiba-tiba ketika ada 44 orang lain yang deg-degan, bertanya-tanya apakah nama yang dipanggil itu adalah nama mereka?
Ya...saya merasakannya.
Nama kedua yang dipanggil hari itu adalah nama saya.
Ibu Len memanggil nama saya hari itu.
Siang itu.
Kantor Desa Ranoramba *dokumentasi pribadi
Selepas perjalanan mengelilingi sepersekian persen dari Ende, nama saya dipanggil. Penempatan kami akhirnya diumumkan.
Nama pertama yang dipanggil adalah teman saya atas nama Tarom. Setiap orang sudah merasa deg-degan ketika nama Tarom dipanggil. Termasuk saya. Dan begitulah, ketika seorang Ibu berumur lebih dari 50 tahun muncul dari pintu hotel, kami semua sudah menahan nafas, menanti nama siapa yang mereka panggil.
Tapi, selama sepersekian detik itulah, saya merasa bahwa nama sayalah yang akan dipanggil.
Dan benar, nama saya yang dipanggil.
Dengan bergetar saya berjalan ke arah Ibu itu. Sementara, saya yakin, ada begitu banyak mata yang menatap saya. Mata penasaran. Mata penasaran tentang dimana tempat penempatan saya berada. Menyenangkankah? Ataukah seperti berita-berita yang sudah didengar: terpencil, krisis air, krisis sinyal, tidak ada listrik, berbatu-batu, rumah kayu, dsb? Ah...bayangan saya kok tidak semenyeramkan itu...
Setengahnya, saya merasa takut juga, tapi saya tetap meyakinkan diri saya. Doa Ibuk sudah banyak terlantun untuk saya. Doa Mas Aziz juga. Doa Pakdhe juga. Doa begitu banyak orang juga mengalir untuk saya. Alloh tentu akan mengabulkan doa-doa itu. Doa untuk mendapatkan tempat terbaik bagi saya.
Saya menjabat tangan Ibu itu dengan penuh percaya diri—berusaha menyembunyikan ketegangan yang saya rasakan. Wajah ramah itu tersenyum.
Alhamdulillah.
Beliau memperkenalkan diri. Namanya adalah Magdalena, biasa dipanggil Ibu Len. Ia adalah kepala sekolah dari SD N Nakawara. Saya lantas—dengan tidak sopannya—menginterogasi beliau dengan pertanyaan yang bodoh. Air, listrik, dan sinyal. Dan jawaban Ibu Len sederhana. Air ada, listrik ada, sinyal juga ada. Jauhnya dari sini adalah kurang dari satu jam.
Tak henti-hentinya saya mengucap syukur dalam hati. Senyum terkembang.
Tarom pun mendekati saya dan dengan polosnya mengatakan, 40 km dari kota. Oh...semoga tempatnya juga menyenangkan. Amin...
Kemudian, Mbak Eka dipanggil. Dia mendapat tempat penempatan di SD K Magengura. Lokasi hampir sama dengan tempat saya. Mbak Eka juga senang dengan kabar itu.
Ibu Len ternyatan masih sibuk dengan hapenya. Oh, ternyata dia menghubungi Kak Eci, SM3T sebelum saya. Well, begitulah kelanjutan cerita itu. Saya belanja kebutuhan di Pasar Bongawani bersama Kak Eci. Setelah itu, saya naik ke bukit bersama Pal Albert dan Riung.
Ketika ada jalanan besar di samping pantai dan Laut Sawu, sungguh menyenangkan sekali lho. Hawa laut menguar. Asin. Saya menikmati setiap pemandangan dengan gugup sambil mendengarkan Pak Albert memperkenalkan desa kita. Sungguh menyenangkan sekali kelihatannya. Tapi tidak tahu, bagaimana kenyataannya.
Pemandangan laut berubah menjadi berbutkit-bukit. Tahu-tahu, jalanan mulai menanjak, samping jurang dan samping gunung, berbatu-batu besar, terjal, dan sebagainya. Jalanan yang mirip dengan Petungkriyono atau Gunung Kidul. Lokasi yang hampir sama ketika saya baksos beberapa tahun lalu bersama KMIP.
Membuat saya kangen dengan perjalanan jauh ke Pekalongan tempo hari. Lagi-lagi mengingatkan saya pada Mas Aziz. Ah...
*lanjut blogging....hush hush...jangan ingat-ingat yang di sanah!
Begitulah, ada sekitar 30 menit perjalanan dengan medan yang mengerikan sekali itu. Tahu-tahu saya sudah sampai di Ratenusa, tempat tinggal saya. Saya disambut baik oleh keluarga baru saya. Bahkan, langsung saja banyak orang yang berkumpul untuk menyambut saya. Polos dan bodohnya saya, saya tidak berusaha memperkenalkan diri sebelum mereka bertanya. Yap, kesalahan bodoh saya.
Kami makan mi instan dan kopi. Semua minum kopi. Kopi bubuk dengan ampasnya. Termasuk saya. Saya pun minum kopi. Well, sebenarnya sampai detik ini saya tidak tahu apa beda rasa kopi. Yang saya tahu, godday carabean nut dan colin itu paling enak...
Selepas itu, saya istirahat sebentar di kamar baru saya. Sepetak kamar berukuran 2x2 m. Kecil tapi menyenangkan. Dengan satu ranjang, satu meja, satu jendela, dan satu pintu. Alhamdulillah bersih dan terlihat nyaman.
Tak sampai beberapa menit, Mama mengetuk pintu.
“Ibu, bisa koh potong ayam?”
Oh my God...pengalaman pertama saya menjagal ayam. Baiklah. Mau tak mau, saya harus mau. Jadilah, hari pertama saya di Ranoramba itu, ada seekor ayam yang mati terbunuh di tangan saya. Saya sudah belajar dari Ibuk, Bapak, dan Mas Aziz. Sudah mantep semua. Berharap saja, ayam itu benar-benar halal.
Nah, itulah perjalanan singkat saya di hari kedua saya di Ende. Lanjut besok lagi yak...
Salam semangat dari Ranoramba.

Kota Kecil yang Menyenangkan (Warna-warni Ende Part.2)


Situs Bung Karno di Ende *dokumentasi pribadi

Kota Ende berbeda dalam banyak hal dengan Jogja. Seramai-ramainya kota ini, tetap kalah ramai dengan Jogja. Tak banyak toko, tak banyak restoran, tak banyak kendaraan lalu lalang, tak banyak mobil, tak banyak motor, ah...tampak sepi sekali.
Hari pertama saya tiba di Kota Ende, saya habiskan di dalam Hotel.
Saya tidur—saya mengantuk akibat kecapekan perjalanan yang sebenarnya tidak begitu lama. Maksudnya, perjalanan dari Jogja-Ende hanya 4 jam sebenarnya. 2 jam ke Bali dan 2 jam ke Ende. Tapi, menunggu transitnya, membawa tas yang sangaaaaat berat sekali (10 kg lhooohh...) itulah yang membuat saya super super capek.
Selepas istirahat, kami berkunjung ke Rumah Pengasingan Bung Karno. Well, itu hanyalah rumah biasa, tapi ada begitu banyak hal-hal yang diberi garis pembatas. Mengingatkan saya pada museum dirgantara. Eh, saya pernah beberapa kali ke sana bersama anak-anak PAUD. Ah, kangen mereka.
Setelah berfoto-foto dan melakukan banyak hal, kami berjalan ke Taman Pancasila. Ada patung Bung Karno sedang duduk dan sebatang pohon sukun bercabang lima. Konon, pohon itulah yang menginspirasi Bung Karno ketika merumuskan Pancasila. Well, saya belum kroscek ke sumber terkait.
Selepas itu kami kembali ke basecamp. Capek. Panas. Pengen ke pantai. Tapi kok teman-teman tidak ada yang ke pantai. Ya sudah, duduk-duduk saja. Capek. 
Ah, sudahlah blogging tidak jelas seperti ini. Saya sign out dulu. Bip bip...kembali ke aktifitas.
*) postingan geje banget ya, wkwkkwk...lanjut baca postingan selanjutnya saja yah...

Leaving on the Jet Plane (Warna-warni Ende: Part.1)

Pemandangan dari Atas Pesawat Menuju Ende *dokumentasi pribadi


Hari ini adalah tanggal 15 September 2013.
Hari ini, untuk pertama kalinya saya akan melakukan buaaaaaannnyak sekali hal yang belum pernah sekali pun saya lakukan.
Pertama, meninggalkan Jogja untuk pertama kalinya dalam jangka waktu yang lama (satu tahun).
Kedua, naik pesawat (hahahaha...kalian boleh tertawa, tapi pengalaman naik pesawat kan tidak semua orang pernah alami, kan? Well, saya tidak se excited banyak orang sebenarnya).
Ketiga, menginjakkan kaki di tanah orang. Beda pulau. Beda adat. Beda budaya. Banyak beda!
Keempat, berpisah ini dengan Mas Aziz, Ibuk, dan semua keluarga dalam jangka waktu yang lama (satu tahun).
Dan sebenarnya masih banyak hal lainnya, hanya saja poin-poin itu tadi yang benar-benar amazing.
Nah, kenapa sih saya HARUS melakukan banyak hal itu?
Cerita bermula sejak bulan Juli, dimana ada pembukaan program SM3T di website UNY. Well, saya memang sudah punya niat untuk mengajar di daerah terpencil sejak satu tahun lalu, sejak saya dengan sama excited-nya mendaftar Indonesia Mengajar. Sayang, saya tidak dapat restu Ibuk waktu itu, disuruh mengajar di SDIT dulu. Jadilah saya memutuskan untuk fokus di SDIT selama 1 tahun ajaran. Tapi, tetap, ada ambisi untuk ikut program mengajar di daerah 3T—meski saya sudah mengeliminasi ikut IM dalam big plan saya. Saya benar-benar berharap mendapatkan pengalaman dan pembelajaran hidup yang amazing banget, yang tidak bisa didapatkan ketika saya tinggal di Bantul (atau di daerah seputaran tanah Jawa).
Akhirnya, begitu ada pendaftaran program SM3T, saya pun mendaftarkan diri (sebenarnya saya tahu infonya cukup telat sih). Tentu saja ada pertimbangan banyak sebenarnya. Pertama, karena ada pembukaan CPNS-an. Well, saya akan ketinggalan agenda besar itu. Tapi, kalau saya tidak ikut SM3T, saya yakin saya akan menyesal suatu hari nanti. Sementara CPNS, saya masih bisa ikut setelah pulang dari tanah rantau (ngayem-ayemi ati critane ki, wkwkwk). Kedua, waktu nikah saya akan di pending lagi selama 2 tahun, padahal Mas Ikhan dan Mbak Pik sudah nikah. Harusnya saya bisa nikah tahun depan -_-. Ini bagian yang tidak saya sukai....heemmm...ngapunten nggeh Ibu dan Mas. Ketiga, rasanya sangat berat untuk meninggalkan Mas Aziz. Membayangkan 1 tahun tanpa dia itu sesuatu yang tidak terimajinasikan (nglebay euy!!!hahaha)
Begitulah, saya mendaftar di detik-detik terakhir. Tepat beberapa jam sebelum pendaftaran ditutup.
Setelah itu, serangkaian tes saya lewati.
Saya rasa, tes untuk mendaftar SM3T cenderung lebih mudah daripada tes IM. Jadi, saya sih santai saja. Santai dalam artian, diterima ya oke, tidak ya sudahlah—bukan takdir saya.
Dan memang pada akhirnya saya lolos. Tapi, tentu saja, setiap tahapan tes (yang berjumlah 3 tahap), saya selalu galau. Maksudnya, galau apakah diambil atau tidak. Ah, pokoknya masa-masa yang begitu membingungkan. Saya masih ingat dengan jelas. Ketika saya bertemu Mas Aziz dan keluarga, inginnya sih tinggal di Bantul saja (apalagi Mbak Pik bakal nikah di bulan keberangkatan saya). Tapi, ketika bertemu dengan teman-teman yang berjiwa petualang, mereka selalu menyemangati saya untuk berangkat.
Well, akhirnya saya pun berangkat. Memantapkan hati!
Saya mengikuti kegiatan prakondisi selama 10 hari di AAU Jogja. Itu bagian yang cukup berat, karena untuk pertama kalinya saya akan meninggalkan Mas Aziz dalam waktu yang lama. Selama ini sih, kami hanya berpisah tak kurang dari 4 hari. Jadi, ini adalah hari terlama. Tapi tak mengapa, saya kan sudah niat. Anggap saja ini sebagai latihan selama 1 tahun tidak bertemu. Jadi, harus dijalani. Mau tak mau, harus semangat.
Setelah pra kondisi yang sangat panjang, melelahkan, tapi juga sangat menyenangkan sekali (cerita tentang pra kondisi akan saya tulis di catatan lain), saya pun diberi tahu bahwa keberangkatan ke Ende (daerah penempatan saya) adalah tanggal 15 September 2013, pagi hari. Saya sedih waktu itu, karena tidak bisa hadir waktu Mbak Pik nikah. Tapi, mau tak mau memang harus dijalani seperti ini. Tak boleh sedih. Keputusan sudah diambil. Apa yang sudah diucapkan tak bisa ditarik lagi. Saya pun tetap berangkat.
Rasanya sungguh aneh ketika akan pergi dari rumah. Saya hanya merasa kalau saya pergi tak lebih dari beberapa hari saja. Pakaian pun hanya membawa beberapa potong. Lainnya, ah entahlah. Waktu yang sangat singkat untuk packing (2 hari untuk satu tahun, oh plizz!!!) membuat semuanya tampak berantakan. Pokoknya, saya tidak merasa seperti akan pergi lama. Hanya membawa satu kopor, satu tas ransel—yang sangat beraaaaaaaaat sekali, saya rasa ada 10 kg, dan tas slempang mini yang tidak terpisahkan dari saya.
Pagi hari, di tanggal 15 September, saya sudah siap untuk pergi. bahkan matahari belum bersinar pagi itu.
Entah apa yang saya rasakan. Campuran antara rasa haru, sedih, tegang, dan sebagainya. Pelukan, ciuman, tangis, memecah keheningan subuh. Tahu-tahu, saya sudah ada di kampus, tahu-tahu saya sudah ada di jalan menuju Bandara. Perasaan tampak campur aduk. Ingin rasanya saya memetakan setiap adegan yang tertangkap mata, berusaha mengingat setiap hal yang saya lihat. Karena, apa yang saya lihat saat itu, tidak akan saya jumpai dalam satu tahun ke depan: suasana pagi Jogja, jalanan yang selalu saya lewati, papan billboard di persimpangan jalan, jajaran pepohonan, petak-petak sawah, warung makan tempat saya nongkrong, dan sebagainya. Ah...semua memori tentang Bantul dan Jogja sudah terekam dengan erat tanpa harus dimasuki lagi.
Akhirnya, kami sudah ada di dalam pesawat. Bersama 45 orang lainnya, 3 orang dosen, dan 1 orang dari biro travel UNY, kami naik Garuda, transit sebentar ke Ngurah Rai di Bali, dan menuju Ende. Pengalaman pertama naik pesawat? Ah, biasa saja. Seperti naik bus. Pokoknya biasa. Hanya saja, ketika melihat samudra dan pulau dari atas itu, seperti melihat peta. Indah, biru, dan sangat menakjubkan.
Jam 2 siang, pesawat dari Ngurai Rai tersebut mendarat dengan lancar di Ende.
Rasanya tak percaya.
Saya telah sampai.
Saya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Bumi Pancasila ini.
Sejauh mata memandang, ada lautan dan jajaran pegunungan. Hawa dingin menyapa.
Rumahku...
Ini akan menjadi rumahku dalam 1 tahun ke depan.
Dan di sinilah saya akan mengabdi.
Well, begitulah hari itu. Saya lantas tiba di Hotel Dwi Putra dan menginap selama satu malam di sana. Esok paginya, kami akan dijemput oleh Kepala Sekolah untuk menuju daerah penempatan. Dimanakah saya akan tinggal? Entahlah...saya pun tidak tahu. Tapi yang jelas, yang saya yakini, tempat itu pastilah tempat terbaik sejauh kemampuan saya.
Bersambung ke catatan selanjutnya. J