Wednesday, January 22, 2014

Sajak Kerinduan Untukmu (Warna-warni Ende Part. 35)



Rindu adalah tentang daun yang bergoyang mendamba angin melalang
Adalah tentang mendung yang memayungi bumi menunggu hingga rintiknya terjatuh
Tentang masa lalu yang berputar melewati tahun-tahun dalam kesendirian
Dan tak terasa hati diliputi rasa rindu tiada terperi
Pada deburan ombak yang berkejaran dengan pasir pantainya
Pada keramaian Malioboro yang dipenuhi lautan manusia dari penjuru dunia
Pada gemerlap lampu jalanan menyisir setiap sudutnya
Pada makanan seharga dua seribu perak yang mengisi perut-perut kosong kita
Hujan akan rintik pada bulan-bulan awal
Namun, panas menjadi terlalu menyengat pada bulan-bulan sesudahnya
Biru akan menemani kita menikmati setiap sudut sejarah di sana
Memang, rindu hanya akan terasa ketika ia telah jauh dari mata
Memang, sedih akan terasa ketika ia tidak bersanding dengan kita
Maka, hanya bayang-bayang semua itu yang akan menemani hari-hari kita
Tentang eksotisme, gemerlap, kesederhanaan, sejarah, yang bersanding menjadi satu
Adalah Jogja...
Dimana aku pergi namun pasti kan kembali
 
~14 Januari 2014 (140114)~

Menggila di Bitha Beach (Warna-warni Ende Part. 34)


Memang, kalau sudah satu hari merasakan hal-hal gila itu, maka hari berikutnya haruslah merasakan kegilaan yang lebih gila lagi. Saya merasakannya. Lagi.

Bitha beach adalah the next destination dalam list wisata kami. Letaknya adalah di timur Bandara (sepertinya sih, karena saya benar-benar buta arah di Ende, hahahah). Kenapa kami memilih Bitha Beach? Karena tempat itu dekat. Kalau dilihat, berarti hanya di balik Gunung Meja, yang artinya di balik kontrakan kami, karena kontrakan kami tepat berada di kaki gunung Meja.

Acara dadakan lagi. Kami berangkat pada jam 3 sore. Sayangnya, di tanggal 1 itu—yang artinya tahun baru, hampir tidak ada bemo yang beroperasi. Menurut pendapat kami, bemo tidak beroperasi karena malam sebelumnya banyak orang mite alias begadang sampai malam. Tapi, beruntung, ada bemo yang beroperasi. Kami menuju Bitha Beach.


Bitha Beach
Bitha Beach hanya berjarak sekitar 10 menit naik bemo dari Pasar Mbongawani. Ongkosnya adalah Rp 2.000,00/orang. Kami turun di depan Bharata Dept. Store, satu-satunya toko besar yang ada di kota Ende (jadi, semacam Gardena atau Matahari-nya Ende). Dari Bharata, kami berjalan kaki sekitar 15 menit. Tidak terlalu jauh, tapi memang jalan untuk menuju ke pantai itu tidak terlihat seperti jalan arah pantai, karena jalan menuju ke sana adalah jalan setapak yang seolah menuju ke pemukiman penduduk. Namun ternyata, jalan itu menuju ke Bitha Beach. Kami berjalan selama kurang lebih 15 menit. Dari perkampungan, jalan berubah menjadi padang ilalang. Hawa udara laut mulai tercium.

Pulau Koa menyapa. Biru. Hamparan pasir. Indah. Ramai orang.
 
Ya seperti yang biasa dilakukan, alih-alih duduk dan menikmati pemandangan, kami langsung mengambil kamera dan asyik potret sana-sini dengan objek yang berbeda. Sesi pemotretan itu berlangsung selama 1 jam hingga salah satu dari kami memiliki ide untuk melakukan kegilaan: membuat video joget.

Well, saya tidak pernah bersahabat dengan joget. Saya tidak suka joget di depan umum dan saya memang tidak bisa. Tapi karena DIPAKSA, maka saya ikut juga. Ada beberapa video yang kami buat, diantaranya goyang oplosan, goyang cesar (i skip this one), hingga Mars SM3T, dan yel-yel kami. Semuanya kacau, hahaha... Dan menjadi tontonan gratis bagi semua orang yang ada di tempat itu, benar-benar menjadi biang malu saja. Heeemmmmh...

Matahari sudah condong ke barat ketika kami memutuskan untuk pulang. Di jalan kami mampir sholat dan makan di Warung Lamongan. Ternyata cukup dekat dengan Hero sehingga kami mampir ke sana. Jam 9 malam selesai dan tidak ada bemo. Hasilnya, kami pun jalan dari Hero ke Ujung Aspal. Long march. 1 jam. Mendaki dan menurun. Baju sudah basah ketika kami sampai di rumah. Hari itu, tidak akan terlupa.

#satu tahun untuk selamanya, 1 Januari 2014

New Year’s Eve ala Ende (Warna-warni Ende Part. 33)


Malam tahun baru pastilah diisi dengan satu agenda wajib: melihat kembang api. Tapi, karena dari tahun ke tahun pesta kembang api yang saya nikmati hanyalah seputar jam 9-10 malam kemudian tidur dan terbangun pada pagi hari tanggal 1 dengan keadaan yang biasa—maka pada tahun ini pun saya tidak begitu menginginkan malam tahun baru yang amazing. Cukup menghabiskannya dengan kawan-kawan saja. Sederhana, tapi bermakna. Toh, tahun baru yang terpenting bukan jalan-jalan dan perayaannya, tapi resolusi yang perlu dibuat ^^

Setelah seharian kemarin menggila di pantai tak bernama dan bakar-bakar ikan, hari ini saya berencana untuk pergi ke Puudombo dan merayakan malam tahun baru di sana. Memang, sudah ada undangan resmi dari para penghuni rumah agar kami datang. Karena di kontrakan masih ada beberapa orang yang galau tidak ada acara, saya bersama enam orang lainnya berangkat naik bemo ke Puudombo.

Sesampainya di sana, kami memasak. Menunya adalah nasi kuning, ayam goreng, tumis buncis,  ikan bakar, sambal tomat, dan kerupuk. Selesai memasak, kami pun bersih diri dan bersiap  untuk doa. Kami doa bersama dengan Pak Haji. Ada semacam sesaji yang terdiri atas dua nampan. Satu nampan berisi ayam goreng dan nasi, sedangkan nampan lainnya berisi biskuit roma dan sirih pinang. Ada juga teh dan kopi di masing-masing nampan. Kaleng berisi kemenyan yang baunya harum tapi menyengat diletakkan tak jauh dari sesaji. Sesaji diletakkan di tengah, di hadapan Pak Haji. Kami berkumpul mengelilingi sesaji. Pak Haji memimpin berdoa selama kurang lebih 10 menit.

Selesai berdoa, kami pindah rumah dan mulai pesta. Benar-benar makanan yang wow banget lah. Enak iya. Kami semua makan dengan lahap. Eh, pas sedang makan, listrik mati. Terpaksalah kami makan dalam kegelapan. Tak masalah, tetap nikmat ^^. Kelar makan, kami mengobrol.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam ketika kami keluar rumah. Kami berencana untuk Gawi. Gawi adalah nama tarian tradisional di area Ende. Gawi biasanya dilakukan saat ada perayaan/pesta, semisal arisan pendidikan, ae petu, nikahan, orang meninggal, bangun rumah, dsb. Apapun yang penting ada pesta, maka gawi pasti akan dilakukan sambil mite alias begadang semalaman.

Musik sudah diputar. Mama, kakak, dan beberapa tetangga sudah turun di tengah lapangan, menari gawi. Saya tetap diam, memperhatikan. Well, sebenarnya, meskipun sudah beberapa kali saya pergi ke pesta, saya tetap belum pernah melakukan gawi. Bukan apa-apa sih, saya hanya malu saja untuk melakukan beberapa tarian tradisional. Malu salah. Malu karena tidak sesuai dengan adat yang biasa. Setelah 1 jam, akhirnya saya pun ikut bergabung dengan mereka. DIPAKSA. Dan, kami pun menggawi bersama. Well, bisa dikatakan bahwa menggawi lebih mirip poco-poco Jawa. Gerakannya cukup simpel.

Snapshot at New Year's Eve

Setelah  satu jam lebih menggawi, jam sudah menunjukkan pukul setengah 11, artinya setengah jam lagi tahun akan berubah. Maka, kami pun segera naik pick up untuk melihat keadaan kota pada saat pergantian tahun. Pick up berjalan cepat menembus kegelapan malam. Hawa dingin menyapa. Bau anyir pantai memenuhi udara. Dari kejauhan, tampak titik-titik lampu di tengah samudra, menandakan adanya kehidupan di Pulau Ende. Di sisi yang lain, tampak deretan lampu kelap-kelip dan gemerlap kembang api: Kota Ende. Takjub. Pemandangan malam hari di Kota Ende memang berbeda dengan kota-kota lain yang pernah saya datangi. Saya memang belum pernah melihat kota di pinggir pantai, jadi melihat Ende di saat malam tahun baru merupakan hal yang sangat berbeda.

Kota mulai terlihat lebih dekat. Pick up berjalan dengan pelan namun pasti. Kembang api mulai terlihat semakin dekat. Bunyi-bunyian musik mulai terdengar semakin keras. Yap, salah satu keunikan dari Kota Ende adalah deretan sound system yang diletakkan di pinggir jalan dan semua orang berjoget. Dentuman musik terdengar hampir di sepanjang jalan. Ramai. Pick up semakin mendekati pusat kota. Kembang api bersahut-sahutan dinyalakan.

Sampai di pusat kota, banyak motor melakukan konvoi, menyalakan kembang api, dan sebagainya. Di setiap perempatan terlihat seragam polisi yang berjaga, mengamankan apabila terjadi hal-hal di luar batas.

Setelah 20 menit berputar dan melihat pemandangan yang memang benar-benar ramai—seolah semua penduduk kota Ende keluar dari rumah, kami pun menuju ke Puudombo lagi. Hari itu, saya mendapatkan pengalaman yang pasti hanya terjadi sekali seumur hidup.

Ada beberapa hal yang saya cermati dalam pesta perayaan tahun baru. Jika dibandingkan dengan keadaan pesta tahun baru di Jogja, pemusatan pesta terjadi di hampir semua sudut kota Ende. Berbeda, di Jogja pesta dipusatkan pada beberapa titik, misalnya alun-alun, titik nol, mandala krida, atau tempat yang memang menjadi spot acara. Jadi, ketika tahun berganti, akan ada hitungan mundur dan penyalaan kembang api yang amazing secara bersama-sama. Di Ende, saya bahkan tidak tahu dimana pusat acara dan kapan pergantian tahun terjadi karena semua kembang api dinyalakan bersahutan.

Tapi, dari tingkat kehebohannya, jelas Ende lebih heboh. Terutama karena hampir di setiap sudut ada sound system yang dinyalakan dan banyak orang berjoget sampai pagi. Asyiknya lagi, di Ende, keindahan malam tahun baru terlihat dari kejauhan, ketika kembang api dinyalakan dan bayangannya memantul di samudra. Indah. Pasti dari jalan Nangaba atau pulau Ende, keindahannya tampak wow banget.

Meski demikin, keduanya memiliki keasyikan tersendiri, kok. Baik Jogja maupun Ende memiliki keindahan tersendiri. Bagi saya, keduanya memiliki cerita masing-masing. Saya pernah menikmati malam tahun baru di Jogja dari atas balkon mandala krida. Di Ende, saya pernah menikmati malam tahun baru dari atas pick up keliling kota. Keduanya pengalaman yang amazing.

Malam itu, saya tidur jam 2 malam. Paginya, saya bangun terlimbat. Ini ceritaku, mana ceritamu?

#satu tahun untuk selamanya, edisi malam tahun baru, 31 Desember 2013-1 Januari 2014

Bakar-bakar di Pinggir Pantai, Pesiar Seru (Warna-warni Ende Part. 32)


Setelah membahas berbagai agenda dalam rapat bersama dengan seluruh peserta SM3T dan direncanakan agenda untuk wisata ke Riung—yang saya tidak jadi ikut, maka saya pun membuat semacam liburan sendiri. Kenapa saya tidak jadi ikut ke Riung? Pasalnya, cuaca bulan Desember benar-benar tidak bisa diprediksi, Mas Aziz tidak mengizinkan saya, dan saya ada agenda untuk tahun baruan di Puudombo. Mengingat banyak pertimbangan, saya pun membatalkan keinginan untuk ikut ke Riung. Riung memang sangat menarik untuk dikunjungi, sehingga saya ingin mengunjunginya di saat yang tepat—dimana langit akan sangat tampak biru dan cuaca cerah sepanjang hari tanpa kekhawatiran adanya mendung yang merusak suasana.

Dan begitulah, hampir 20 anak yang pergi ke Riung.

Pada hari Minggu, sehari setelah rapat, Riung dipending. Saya bersama 9 anak meluncur ke arah Nanga Panda. Kami akan bakar-bakar ikan.

Mendung menggelayut manja. Kami mampir di Pasar Mbongawani untuk belanja kebutuhan. Rintik turun ketika kami sampai di Puudombo. Kami pun mengambil berbagai alat yang diperlukan untuk memasak dan melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan, hujan menjauh. Jalan Nanga Panda yang berkelok-kelok membuat beberapa orang merasa pusing dan mual—termasuk saya, wkwkwk. Udara dingin, ditambah lagi kami belum makan jadi rasanya benar-benar pusing. Setelah 10 menit berjalan, saya sudah tidur, zzzzzzzzzz...

 Saya sempat merasakan satu dua kali mobil pick up yang kami kendarai berhenti untuk membeli ikan dan nasi. Beberapa saat kemudian kami sampai. Saya bangun dan turun. Perasaan masih tidak nyaman. Tetapi, begitu melihat indahnya pantai dan matahari yang hampir tenggelam di balik bukit, rasanya benar-benar merasakan pantai selatan yang ada di Bantul. Rasa gembira menjalar cepat memenuhi setiap pembuluh darah. Pantai. Pantai... Saya menghirup aroma yang dikenal. Semuanya hampir sama—tertinggal satu frame saja, dimana saya bersama dengan Mas Aziz.

Kami lantas memulai berbenah-benah dan menyiapkan peralatan memasak. Ada yang membuat api, memotongikan, menyiapkan bumbu, dan sebagainya. Beberapa ada yang foto-foto gila, hehehe *pizz... Saya menjadi sie dokumentasi dadakan yang bertugas mengabadikan setiap momen di sana.

Snapshot di Pantai
Suasana menyenangkan melingkupi kami. Meski kebatukan asap, ketuncep duri, keamisan ikan, dan sebagainya, tetap saja semuanya terasa menyenangkan. Bang Mali, sopir kami, membawa satu sisir pisang mentah (entah dari mana) yang kami bakar. Jagung pun dibakar (yang gosong), dan ikan pun juga dibakar. Setelah 2 jam kami memasak, hidangan pun tersaji. Pokoknya, maknyusss banget. Jagung bakar, pisang bakar, ikan bakar, nasi, dan sambal puedasss yang nendang abiss. Apalagi kami sedang kelaparan. Dalam waktu tak kurang dari 30 menit, semua makanan sudah ludes... Alhamdulillah, nikmat.

Banyak pengalaman yang menyenangkan saya alami di sini. Dengan modal Rp 40.000 kami benar-benar merasakan pengalaman yang menyenangkan. Rasa kesetiakawanan, rasa persatuan dan kesatuan (halah) benar-benar membuat kami akrab. Rencana yang mendadak tapi terlaksana dengan sukses benar-benar mengasyikkan sekali. Kami masih sempat foto-foto gila, sholat di pesisir pantai, kecebur ombak, foto nangkring di atas pohon, blusukan potong daun pisang buat piring, dsb. Seru...

Selesai itu, kami berbenah pulang karena matahari sudah tenggelam di balik bukit. Udara sudah dingin. Kami pulang, menuju ke kota (lagi). Perjalanan berjalan sangat cepat, 35 menit saja. Alhamdulillah...hari ini benar-benar menyenangkan. Terimakasih Alloh...

Kemana lagi saya liburan kami ini? Tunggu postingan selanjutnya ^^

Longmarch Nangaba-Ende (Warna-warni Ende Part. 31)


Menurut saya, liburan itu tidak harus dihabiskan dengan pergi ke suatu tempat yang jauh, ramai-ramai, dan menikmati pemandangan di sana, sambil foto-foto. Menurut saya, urgensi liburan sendiri adalah kegiatan yang dilakukan untuk merefresh diri dari rutinitas. Jadi, semua yang memang sifatnya bisa merefresh artinya adalah liburan.

Pantai di Nangaba

Cukup sederhana.
Dulu, sewaktu saya masih di Bantul, liburan biasanya saya lakukan dengan cara yang sederhana dengan low budget, yaitu nonton film di kamar seharian sambil sedia goodday coollin dan satu karung ransum snack ringan macam chitato, oishi, beng-beng, dsb. Nyaman, enak, dan refresh banget. Kali lain, saya akan naik si merah dan mendaki bukit Pajangan sendiri sambil kebut-kebutan melihat hijaunya pepohonan. Kali lain, saya ajak Mbak dan Mas pergi ke Paseban, duduk-duduk ngobrol sambil makan cilok, batagor, telo goreng, dan sebagainya. Kali lain, saya akan menyusuri jalan Daendles Kulon Progo dan menuju Bugel, pantai favorit saya. Low budget tapi tetap benar-benar bisa merefresh dari berbagai rutinitas harian yang menjemukan.

Bagi saya, di Ende itu saja sudah merupakan sebuah liburaaaaaaan panjaaaaang dari rutinitas saya di Bantul. Karena, sekembalinya saya ke Bantul, pasti akan dihadapkan pada akvitas yang sama, misalnya mengajar SD, PAUD, nglembur naskah, ngeles, dan sebagainya. Jadi, pergi ke Ende adalah sebuah liburan yang panjaaaaannng.

Makanya, ketika liburan semester 1 datang, saya malah bingung mau ngapain. Akhirnya, saya menghabiskan minggu pertama saya di Bukit, ikut bantu-bantu Mama mempersiapkan Natal. Sehari setelah natal saya turun dan mendapat ide gila, jalan dari Nangaba ke kota sembari menyusuri pantai. Dan saya melakukannya hanya berdua saja dengan Kak Eka.

Pantai di Dekat Mbrai


Kami start dari Peumbara, sebuah desa di Timur Nangaba. Kami mengambil beberapa foto dan akhirnya istirahat sebentar di pantai. Duduk di antara bebatuan pantai yang curam tapi memiliki seni tersendiri, merupakan sebuah pengalaman yang oke juga. Mirip dengan Bugel minus bebatuannya, bedanya lagi sejauh mata memandang, ada hamparan laut Sawu dan Pulau Ende. Sebelah barat kami bisa melihat Nanga Panda dan Nagekeo sementara sebelah timur, terbentang kota Ende dengan gunung Meja. Indah.

Selesai istirahat, kami foto-foto sebentar dan melanjutkan perjalanan menyusuri pantai yang sunyi. Setelah 1 jam berjalan kami capek dan memutuskan naik bemo.

Jadi, liburan memang tidak harus pergi jauh, cukup duduk di pinggir pantai, menikmati udara yang ‘berbeda’, maka itupun sudah merupakan salah satu cara untuk merefresh diri. Well, kemana selanjutnya tujuan liburan kami? Entahlah...kita tunggu saja ^^

#satu tahun untuk selamanya, 26 Desember 2013

Postingan Edisi Christmas... (Warna-warni Ende Part.30)


Apabila kita membandingkan antara perayaan Idul Fitri dan Christmas, tentu saja keduanya jauh berbeda. Well...itulah yang saya alami.

Liburan kali ini saya Natal di bukit. Tanpa maksud apapun selain bantuin masak dan mengenal masyarakat di sini. Hujan membuka pagi ini, tanggal 25 Desember. Semua orang mulai sibuk dan sebagainya. Cuaca tidak mendukung. Hujan. Saya hanya melihat orang hilir mudik. Ada yang mandi, angkat air, sudah berangkat Misa, dsb. Beberapa orang dari Nakawara berjalan melintas, dengan pakaian baru, sandal dijinjing, dan daun pisang atau talas di tangan untuk melindungi agar tidak kehujanan. Tidak matching sebenarnya, ketika gaun-gaun cantik dengan renda dan pita, sandal high heels, dipakai di sini, yang notabene becek, berbatu, dan salah tempat banget. Tapi...ya sudahlah, saya makhlumi...

Jam 10 mulai sepi. Saya mandi dan cuci. Benar-benar hening. Dari kejauhan terdengar suara koor gereja Worombera. Saya lihat, gereja itu penuh orang, bahkan orang-orang yang berdiri di luar bangunan itu pun terlihat dari tempat saya mencuci baju.

Sumber Gambar

Selesai mencuci, telfon-telfonan dengan Mas Pacar dan ngemil.... (alhamdulillah banget tiba-tiba ada sinyal nyasar selama 1 jam).
Selesai itu, misa pas selesai.
Karena Bapak dan Mama belum pulang, saya diundang ke rumah Manto dan kami makan di sana. Sudah ada beberapa Mama, diantaranya Mama Refan, dan juga keluarga Viki. Kami makan ayam yang semalam saya potong. Selesai makan, saya duduk-duduk di serambi rumah Mama Rina. Ramai orang hilir mudik. Beberapa yang cukup tahu sopan santun, mendekat dan menyalami saya. Rupanya tradisi Natal di sini adalah berjabat tangan dan memberi selamat. Entah sudah berapa puluh tangan menjabat saya sampai saya mengetik postingan ini.

Akhirnya, Bapak dan Mama pulang. Saya lantas membantu ini itu, bikin kopi, nyiapin makan, jadi pelayan (maksudnya ngeluarin minum dan makan), juga cuci piring. Ngobrol ngalor ngidul dengan para tamu yang datang. Makan kenyang. Ramai banget. Roaming juga, meski saya agak paham topiknya.

Hujan seharian, jadi saya tidak diajak pergi kemana-mana. Kata Mama tempo hari, kita bisa pergi ke Nakawara. Tapi, karena hujan, kami hanya di rumah saja. Beberapa anak muda berkumpul di Nakawara dan pesat moke sambil memasang speaker dengan keras. Alhamdulillah tidak di sini. Saya ngeri juga membayangkan anak muda itu pada mabuk, hiiii...

Well, begitulah Natal di Nakawara. Secara garis besar, semuanya terlihat seperti hari-hari biasanya—minus baju baru dan bagus ketika ke gereja. Tidak ada acara membersihkan rumah, masak besar, camilan banyak, dsb seperti saat Idul Fitri. Saya hampir tidak melihat perbedaan dengan hari-hari biasa, karena masih banyak juga anak-anak yang sepulang gereja berganti pakain kumal, main sana-sini, dsb. Tapi, setidaknya, hal ini bisa menjadi pengalaman menyenangkan ^^.

#satu tahun untuk selamanya, 25 Desember 2013