Sunday, November 10, 2013

Pengalaman Pertama Mencuci di Kali (Warna-warni Ende Part. 10)

Curcol duluh...

Bayangan saya itu, saya pengen punya cerita-cerita yang menginspirasi—yang semacam IM punya itu, yang katanya menginspirasi banyak orang. Tapi begitu ditulis di blog, cerita saya kok jadi semacam cerita-cerita lucu, ya. Hehehe...mungkin gaya penyampaian saya yang terlalu biasa dan jauh dari bahasa menginspirasi yang membuat cerita-cerita saya di blog tidak menginspirasi, hehehe. Tapi, memang beginilah cerita saya—apa adanya saja, tidak perlu dibuat-buat.

Kali ini saya akan posting tentang pengalaman pertama saya mencuci di kali.

Well, sebenarnya, ketika saya memutuskan untuk ikut SM3T (atau IM), sudah ada bayangan bahwa saya akan mencuci di sungai. Tapi, begitu saya sampai di lokasi yang notabene air mengalir di selang rumah dengan lancar meskipun kueciiilllnya minta ampun, tetep saja ada air untuk mencuci. Jadi, saya rasa saya tidak akan ada moment yang mengharuskan saya mencuci di sungai.

Jadi ingat juga kunjungan saya ke Nangaba tempo hari. Sungai Nangaba menjadi semacam tempat wisata di sini kalau hari Minggu. Semacam Pantai Parang Tritis di hari Minggu. Ramai, banyak orang, banyak makanan, banyak yang kencan, banyak yang geje juga. Ada yang mandi, mandiin sapi, mandiin mobil atau motor, cuci baju, maupun yang hanya duduk di tikar sambil makan. Geje banget saya melihat fenomena ini. Di Jawa, orang wisata itu di pantai. Di sini, mereka wisata di sungai—pantainya malah sepi. Heeemmm...sesuatu banget.

Well, akhirnya, tempat saya pun krisis air. Air yang mengalir super kuecil dan saya sudah kehabisan baju. Mau tidak mau, saya harus cuci baju. Lihat di tempat penampungan air, ada seorang mama yang sedang tadah air. Airnya mengalir sedikit saja. Selain itu, masih buanyak sekali jerigen yang menunggu untuk diisi airnya—ada lebih dari 20 jerigen. Ah...bakal lama mencuci di sini. Saya pun memutuskan untuk ke kali. Kami ijin Mama. Dan horeee...dipersilakan kalau pergi bareng Tevin. Tevin mengajak Festi. Kami bertiga pun menuju kali.

Kali ini adalah kali utama yang mengalir dari puncak gunung nun jauh di sana—bahkan lebih jauh dari Kekajodo—kata Tevin. Dimana sumbernya, dia tidak tahu—apalagi saya. Jaraknya dari rumah sekitar 10 menit jalan kaki menurun, jadi tidak terlalu jauh sebenarnya—ekstra 5 menit kalau naik, soalnya mendaki. Tidak pernah kering katanya, jadi selalu mengalir meski musim panas. Tempat ini dijadikan sebagai area untuk mandi dan cuci baju. Kata Tevin, kali ini ramai kalau hari minggu.

Syukurlah hari ini sepi. Saya tidak suka keramaian. Dan saya senang kali ini tidak ramai.

Kami sampai di jembatan. Saya pikir, kami akan mencuci di bawah jembatan, ternyata kami masih blusukan melintasi jalan setapak di tengah kebun kakao, hingga akhirnya sampai di bagian yang jauh dari sinar matahari. Gelap. Seram. Creepy banget. Tapi, karena saya adalah orang paling dewasa diantara dua anak kecil kelas 6 dan kelas 1 SD, saya pun sok-sok berani dan menenangkan mereka berdua.

“Ih, Ibu saya takut,” kata Tevin.
“Sudahlah, tidak ada apa-apa. Tenang, ada Ibu di sini,” sahutku memasang tampang sok berani. Hahaha...jaim sedikit lah...

Tak sampai 2 menit, kami sampai di tempat tujuan. Saya pikir akan ada kali yang mengalir seperti di film-film itu—deras dan jernih. Tapi ternyata tidak. Kali itu kering. Dimana-mana daun kering berserakan. Batu-batu besar mengikuti aliran sungai berada di samping kanan dan kiri. Tampak kotor dan tidak sehat. Banyak nyamuk. 3 batang bambu melintang di dua buah batu besar, salah satunya mengalirkan air. Mirip seperti kran. Kalau di Jawa mungkin namanya sendang atau pancuran. (Well, di bagian ini saya menyesal karena tidak bawa si sony, jadinya tidak bisa jepret-jepret. Kali lain saya, yakk, hehe).

Saya pun lantas mencuci baju saya ditemani dua anak kecil itu. Saya dan Tevin banyak bercerita sementara Festi lebih banyak diam. FYI, Tevin adalah adik saya di sini. Dia putri ketiga Bapak. Bapak punya 4 orang anak, yang pertama adalah Yoland yang sedang kuliah di Jawa, kedua adalah Faldi yang kelas 2 SMA di kota entah dimana, ketiga ada Tevin, terakhir adalah Vario. Mereka sekolah di Worombera.

Kami mencuci selama 1 jam. Sebagai hadiah, saya beri masing-masing sebutir permen—atau yang di Ende lebih dikenal dengan bon-bon. Kami pulang. Di jembatan kami bertemu Bapak. Tak beberapa lama kemudian kami bertemu Oni dan Bibinya (saya lupa namanya siapa, nih). Kami pun naik bersama—minus Bapak, beliau masih berkebun. Di jalan kami berhenti dan saya melihat Bibi Oni mencabut ubi talas. Well, saya memang sering makan kripik talas, sering juga melihat ubi talas di rumah simbah beberapa tahun lalu, tapi melihat langsung prosesi pencabutannya, baru kali ini. Mereka mencabut beberapa batang pohon.

“Daunnya itu ditaruh mana?” tanya saya pada Tevin ketika melihat Bibi Oni membuang pohon talas dan mengambil ubinya.

“Kami buang, kasih makan babi saja,” kata Tevin cepat.

Saya teringat sebuah cerpen beberapa tahun silam yang saya baca di Majalah Bobo. Judul cerpennya adalah Sayur Imitasi. Di cerita itu, daun talas dijadikan sayur sehingga terlihat seperti imitasi. Saya jadi bertanya-tanya sendiri, apakah daun talas bisa dimasak??? Entahlah...pertanyaan itu belum saya temukan jawabannya.

Matahari di Puncak Nakawara
Karena kelihatannya Oni dan Bibinya masih lama, kami pun duluan naik. Hufffhhhtt...ternyata berat juga membawa ember berisi cucian sambil mendaki itu. Tapi, membayangkan kawan SM3T lainnya yang mungkin lebih parah—harus mendaki lebih jauh dengan bawaan lebih berat—sungguh, saya tidak pantas untuk mengeluh. Jadi, saya diam saja, meski sebenarnya tangan sudah kebas, keringat mengalir deras, dan nafas hampir putus *hiperbolis :p.

Kami sampai di rumah jam 4 sore. Saya lantas menjemur pakaian saya sementara Tevin masuk ke rumah. Saya mandi dan sholat ‘Asar. Setelah itu, istirahat.

Well, itu adalah pengalaman pertama saya mencuci di kali. Saya yakin, akan ada pengalaman kedua dan ketiga dan seterusnya. Tevin bilang, kali akan ramai, terutama kalau air tidak ada. Itu artinya, pada saat musim kemarau nantinya, banyak orang akan turun dan beraktifitas di kali. Saya tidak suka keramaian, tapi kalau terpaksa, ya mau bagaimana lagi kan ya. Semoga dipermudah saja deh. Semoga air dari selang mengalir ke bak kamar mandi rumah, sehingga saya tidak perlu ke sungai. Amin. *mau enaknya saja.

Salam semangat dari Bumi Pancasila, puncak Nakawara.
Satu tahun untuk selamanya!

No comments:

Post a Comment