Saturday, November 30, 2013

Catatan Edisi Kampanye (Warna-warni Ende Part.23)


Tahun ini, Kabupaten Ende memiliki agenda besar, yaitu pesta demokrasi pemilihan bupati dan wakil bupati. Dan kebetulan sekali, tanggal pemilihannya adalah beberapa hari pasca saya berada di daerah penempatan. Setelah pilkada putaran pertama, di awal Desember dilakukan lagi pilkada putaran kedua.

Pada awalnya, saya tidak terlalu peduli dengan pilkada yang tengah berlangsung. Saya sedang gugup menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, sehingga tidak terlalu memperhatikan siapa saja yang maju menjadi calon bupati dan wakil bupati. Saya hanya paham, ada 8 paket saja yang kemudian menjadi 2 paket pada putaran kedua. Entah siapa saja namanya, ah...saya memang susah mengingat nama.

Tapi saya pun dipaksa harus mengingat. Karena ada satu kejadian yang benar-benar tidak akan saya alami kalau saya ada di Bantul.

Suatu hari Minggu, saya sedang bersantai di rumah. Tiba-tiba saja, sebuah mobil lewat, diikuti oleh kehebohan beberapa warga, termasuk Mama dan orang di rumah. Ternyata, ada salah satu calon yang akan berkampanye. Orang itu adalah Dominikus Mere, calon wakil bupati dari Don Wange.

Kampanye di Desa, Edisi Paket Madani, Malam Hari Jadi Gelap Memang
“Ayo Ibu, kita naik sebentar,” ajak Mama. Aku pun bersiap-siap. Ku sambar kaos kebangsaan SM3T (yang kemarin dipakai di sekolah) dan sudah siap dalam 5 menit. Kami mendaki ke dusun sebelah. Hanya 15 menit, tapi mampu membuat keringat mengalir deras.

Sampai di sana, acara sudah mulai.

Saya pun mengekor di belakang Mama, bersiap duduk di kursi di belakang, ketika tiba-tiba sebuah suara memanggil. Dan Bapak calon bupati itu meminta saya duduk di depan—di sampingnya. Oh God...saya menelah ludah, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi, mau tidak mau, tidak ada pilihan lain, saya pun maju dan duduk di sana. Yap, di hadapan semua orang. Di samping seorang calon wakil bupati. Di samping orang penting. Bersama orang-orang penting. Jauh di dalam hati, saya tidak merasa penting. Jauh di dalam hati, saya serasa ingin tenggelam saja.

Di kota saya, mana pernah kan saya seperti ini.

Well, kejadian setelahnya berlangsung dengan ackward banget. Saya hanya mendengarkan si Bapak berkampanye saja—setengah roaming dengan bahasa daerah dan Indonesia yang dicampur-campur. Tapi, saya memahami apa yang disampaikan si Bapak. Di akhir kampanye, saya mengobrol sekitar 5 menit dengan si Bapak, menyampaikan pengalaman di sini dan kekurangan dari sekolah yang saya tempati.

Hari itu berlalu...

Suatu hari yang lain, suatu maghrib, 4 hari sebelum acara pemilihan putaran kedua, sebuah mobil memasuki jalan desa. Saya yang baru mau sholat maghrib, melongok ke luar, karena tiba-tiba semua orang ribut. Selesai sholat, saya keluar. Orang-orang sudah heboh, ternyata ada Pak Marcel, calon bupati lainnya yang mau berkampanye. Mereka menuju ke Nakawara. Setelah dari Nakawara, mereka baru ke sini.

Selesai makan dan bersiap-siap, jam 8 lebih rombongan datang.
“Mau ke sana koh, Ibu?” tawar Mama.
“Ya, kalau Mama ke sana saya ikut juga,” jawabku.
“Ya sudah, kasih mati TV sekarang,” lanjut Mam. Kami pun menuju ke rumah Mama Erwin.

Saya mengekor Mama (lagi). Syukurlah, kali ini saya tidak diminta duduk di depan, tapi ikut di deretan penonton saja. Tapi tentu saja, sempat disapa. Hal yang tidak mengenakkannya adalah selama 1 jam lebih saya hanya menganga saja karena bahasa yang ekstra roaming. Si Bapak jarang menggunakan bahasa Indonesia sehingga saya menjadi semacam menonton film tanpa subtitle. Ketika mereka tertawa karena ada sesuatu yang lucu dan saya tidak memahami apa yang mereka tertawakan, hanya diam salah tingkah itu, adalah sesuatu yang benar-benar ackward. Hahaha...konyol banget.

Begitulah, dua pengalaman saya menghadiri kampanye dua cabup.
Saya pribadi agak heran dengan cara kampanye di sini. Secara, di kota saya kan kalau kampanye tidak datang ke desa terus berkumpul dan sharing begini. Tapi, secara massal di tempat terbuka begitu. Tapi, mungkin, karena demografi wilayah yang berjauhan dan terpencil, maka cara paling efektif untuk berkampanye ya dengan mendatangi setiap desa atau dusun satu per satu.

Satu hal lainnya yang begitu ackward adalah bahwa menjadi ‘seseorang’ di sini itu adalah sesuatu yang luar biasa. Saya mah tidak akan seperti ini di kota saya, sampai yang duduk satu ruangan dengan orang-orang penting, disapa dengan ramah, diajak mengobrol santai, dan sebagainya. Strata di sini dengan di sana berbeda. Saya hanya orang biasa di sana. Tapi di sini, saya benar-benar ‘serasa’ menjadi orang luar biasa.

Meski sebenarnya saya juga tetap biasa saja... ^^

#satu tahun untuk selamanya, 27 Nop. 13

No comments:

Post a Comment