Sunday, November 10, 2013

Ku Temukan ‘Dia’ di Setiap Langkahku (Warna-warni Ende Part. 11)


Salah satu hal terberat dari tinggal di bukit ini (FYI, saya sedang di Ende bagi yang belum tahu), adalah bahwa saya satu-satunya orang Muslim dalam radius 5 km (nglebay, karena saya kan tidak bawa meteran, hahaha). Jadi, di satu desa ini, hanya sayalah yang bersyahadat. Hanya sayalah satu-satunya yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah RosulNya. Hanya saya, tidak ada yang lainnya.

Mungkin itu adalah jawaban dari doa-doa yang pernah saya panjatkan—entah saya sadar ataupun tidak. Bahwa saya ingin ‘menjumpai’ Alloh. Karena, berada di lingkungan yang mayoritasnya adalah Muslim, membuat saya kesusahan untuk ‘menjumpai’Nya. Yap, mayoritas di Bantul adalah orang Muslim. Lihat saja, saya mendengar suara adzan 5 kali dalam sehari—yang lebih sering diacuhkan banyak orang, saya melihat orang-orang suci (dalam artian suci hadasts besar dan kecil) setiap hari, melihat orang-orang yang taat kepada Alloh, melihat banyak wanita berjilbab, aman saja makan apapun karena saya yakini pastilah halal, tidak ragu untuk makan, berjalan, dan melakukan apapun juga karena pastilah sesuai tuntunan. Karena Islam menjadi mayoritas di sana, tidak seperti di sini. Mereka menyembah Alloh.

Sumber Gambar
Dan inilah saya di tanah rantau sebagai muslim minoritas. Muslim memang menjadi minoritas di daerah pegunungan dan pedalaman, tapi menjadi cukup mayoritas di kota. Jadi, kalau ada yang pernah melihat kota Ende, banyak sekali masjid-masjid yang bisa ditemui di sepanjang jalan. Kita pun bisa mendengar adzan 5 kali sehari. Menjumpai orang berpakaian takwa pun juga banyak. Tapi di pegunungan, boro-boro Masjid, umat Muslim pun mungkin hanya 1-2 keluarga saja. Dan (kebetulan lagi), di desa saya tidak ada Muslim. Hanya saya saja.

Dalam bulan pertama saya berada di sana, benar-benar penyesuaian yang sangat berat sekali. Saya harus was-was ketika makan—takut bahwa makanan ini sudah dijilat anjing, lebih tepatnya, takut kalau yang saya makan itu barang haram. Saya selalu risih bila sedang makan ada anjing berseliweran. Saya agak berasa aneh ketika berada di suatu pesta saya makan ikan sendiri sementara semua orang lainnya di sekeliling saya makan daging babi. Saya agak aneh ketika melihat anak-anak kencing di luar (terbuka, tanpa kakus), tanpa cuci tangan sama sekali, dan (akhirnya) bersalaman dengan saya. Saya harus menerima kenyataan bahwa setiap pagi, siang, sore, malam, dan sebelum tidur, saya harus pastikan bahwa saya sudah sholat karena tidak ada adzan. Saya juga was-was dalam berjalan, memegang ini dan itu, duduk entah dimana, dan sebagainya, karena khawatir menyentuh barang haram. Well, hal-hal sederhana itu membuat saya benar-benar shock. Shock!!!! (hingga akhirnya sakit, seperti yang saya tulis di SINI).

Tapi, pada akhirnya, banyak juga punyesuaian yang saya lakukan. Bismillah saja deh. Kalau saya tetap bersikukuh untuk menyamakan kondisi di sini dengan di Jawa, saya yakin saya tidak akan betah dan gampang sakit karena nafsu makan tidak ada. Jadi ingat juga ketika Mbak pernah pergi ke Maumere beberapa waktu lalu dan menakut-nakuti saya dengan kondisinya. Cara bercerita Mbak benar-benar terlihat bahwa dia ‘menderita’ di sana. Tapi, saya dan Mbak kan berbeda dalam beberapa hal. Setidaknya, saya lebih tahan banting dan bisa makan apapun juga tanpa banyak protes—beda dengan Mbak. Hehehehe *pizzz, Sist :*

Saya mulai oke saja ketika mereka makan daging babi atau anjing di dekat saya—seraya berdoa semoga piring saya bersih, saya oke saja ketika mereka meminta saya menjagal ayam  (sampai 5 ekor, hehehe)—dengan harapan saya akan makan ayam, wkwkwkwk, saya oke saja melintasi di depan anjing, kadang menginjak kotorannya, lalu mencucinya hingga bersih (semoga). Saya sudah mulai bersahabat dengan debu dan anak-anak berdebu yang tidak pakai sandal dan tidak cuci kaki. Saya sudah mulai oke dengan keadaan di sini—selalu sedia hand sanitizer di tas yang semoga cukup membantu. Saya coba mensterilkan kamar saya dari orang lain, supaya saya merasa bahwa masih ada satu tempat dimana saya yakini tempat itu suci dan tidak najis. Yap, kamar saya.

Tapi penduduk di sini baik, kok. Semuanya menghargai. Terutama keluarga saya. Anjing tidak masuk di sini. Air juga bersih. Kamar saya steril. Dan yang pasti, makanannya insya Alloh halal, tidak ada benda-benda haram yang ditaruh sembarangan sehingga saya salah makan atau apa. Yang jelas, saya bisa mandi dua kali sehari, minum air bersih, cuci baju dengan air bersih, dan juga bersuci. Meski kadang air hanya sedikit. Meski kadang harus pergi ke sungai. Meski pada akhirnya kadang juga tidak mandi dan tayamum karena tidak ada air.


Sumber Gambar

Kata Kak Lela, masyarakat Ende itu menghargai Muslim dan tahu bagaimana caranya memasak untuk orang muslim. Mereka tahu mana yang baik dan tidak untuk Muslim. Syukurlah tahun lalu ada Kak Eci, seorang Muslim juga, sehingga masyarakat sudah tahu bagaimana memperlakukan Muslim tanpa saya harus bilang apa-apa.  Beda dengan masyarakat Lio yang notabene disamakan. Jadi, kalau memasak ya dicampur begitu saja, daging babi dan daging halal tanpa dibedakan. Itu hanya katanya, saya belum kroscek ke teman-teman lainnya yang di Lio.

Yang jelas, honestly, saya serasa benar-benar menemukan Alloh di sini. Pada siapa lagi saya memohon selain pada Alloh di sini? Pada siapa lagi saya bisa menyandarkan diri selain pada Alloh? Pada siapa lagi saya minta perlindungan selain pada Alloh? Saya rasa tidak ada. Tidak ada. Keluarga tidak ada. Bapak Ibuk tidak ada. Mas Aziz pun tidak ada. Mbak Pik dan Mas Prio pun tidak ada. Hanya Dia yang saya miliki di sini. Dan, alhamdulillah, sejauh ini, Dia benar-benar ada di dekat saya, tak pernah meninggalkan saya.

Thank you Alloh. Alhamdulillah, Subhanalloh, Astaghfirulloh.

*) PPT in Ende, wkwkwk...
*) Satu tahun untuk selamanya!

No comments:

Post a Comment