Saturday, November 30, 2013

Capturing Ende Part. 2

Imunisasi di Sekolah

Istirahat Sambil Baca-baca

Lunch Sebelum Les Siang

Bikin Meja dan Kursi Sendiri

Tadah Air untuk Siram Bunga

Praktik Langsung Membuat Kursi dan Meja Kayu

Catatan Edisi Kampanye (Warna-warni Ende Part.23)


Tahun ini, Kabupaten Ende memiliki agenda besar, yaitu pesta demokrasi pemilihan bupati dan wakil bupati. Dan kebetulan sekali, tanggal pemilihannya adalah beberapa hari pasca saya berada di daerah penempatan. Setelah pilkada putaran pertama, di awal Desember dilakukan lagi pilkada putaran kedua.

Pada awalnya, saya tidak terlalu peduli dengan pilkada yang tengah berlangsung. Saya sedang gugup menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, sehingga tidak terlalu memperhatikan siapa saja yang maju menjadi calon bupati dan wakil bupati. Saya hanya paham, ada 8 paket saja yang kemudian menjadi 2 paket pada putaran kedua. Entah siapa saja namanya, ah...saya memang susah mengingat nama.

Tapi saya pun dipaksa harus mengingat. Karena ada satu kejadian yang benar-benar tidak akan saya alami kalau saya ada di Bantul.

Suatu hari Minggu, saya sedang bersantai di rumah. Tiba-tiba saja, sebuah mobil lewat, diikuti oleh kehebohan beberapa warga, termasuk Mama dan orang di rumah. Ternyata, ada salah satu calon yang akan berkampanye. Orang itu adalah Dominikus Mere, calon wakil bupati dari Don Wange.

Kampanye di Desa, Edisi Paket Madani, Malam Hari Jadi Gelap Memang
“Ayo Ibu, kita naik sebentar,” ajak Mama. Aku pun bersiap-siap. Ku sambar kaos kebangsaan SM3T (yang kemarin dipakai di sekolah) dan sudah siap dalam 5 menit. Kami mendaki ke dusun sebelah. Hanya 15 menit, tapi mampu membuat keringat mengalir deras.

Sampai di sana, acara sudah mulai.

Saya pun mengekor di belakang Mama, bersiap duduk di kursi di belakang, ketika tiba-tiba sebuah suara memanggil. Dan Bapak calon bupati itu meminta saya duduk di depan—di sampingnya. Oh God...saya menelah ludah, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi, mau tidak mau, tidak ada pilihan lain, saya pun maju dan duduk di sana. Yap, di hadapan semua orang. Di samping seorang calon wakil bupati. Di samping orang penting. Bersama orang-orang penting. Jauh di dalam hati, saya tidak merasa penting. Jauh di dalam hati, saya serasa ingin tenggelam saja.

Di kota saya, mana pernah kan saya seperti ini.

Well, kejadian setelahnya berlangsung dengan ackward banget. Saya hanya mendengarkan si Bapak berkampanye saja—setengah roaming dengan bahasa daerah dan Indonesia yang dicampur-campur. Tapi, saya memahami apa yang disampaikan si Bapak. Di akhir kampanye, saya mengobrol sekitar 5 menit dengan si Bapak, menyampaikan pengalaman di sini dan kekurangan dari sekolah yang saya tempati.

Hari itu berlalu...

Suatu hari yang lain, suatu maghrib, 4 hari sebelum acara pemilihan putaran kedua, sebuah mobil memasuki jalan desa. Saya yang baru mau sholat maghrib, melongok ke luar, karena tiba-tiba semua orang ribut. Selesai sholat, saya keluar. Orang-orang sudah heboh, ternyata ada Pak Marcel, calon bupati lainnya yang mau berkampanye. Mereka menuju ke Nakawara. Setelah dari Nakawara, mereka baru ke sini.

Selesai makan dan bersiap-siap, jam 8 lebih rombongan datang.
“Mau ke sana koh, Ibu?” tawar Mama.
“Ya, kalau Mama ke sana saya ikut juga,” jawabku.
“Ya sudah, kasih mati TV sekarang,” lanjut Mam. Kami pun menuju ke rumah Mama Erwin.

Saya mengekor Mama (lagi). Syukurlah, kali ini saya tidak diminta duduk di depan, tapi ikut di deretan penonton saja. Tapi tentu saja, sempat disapa. Hal yang tidak mengenakkannya adalah selama 1 jam lebih saya hanya menganga saja karena bahasa yang ekstra roaming. Si Bapak jarang menggunakan bahasa Indonesia sehingga saya menjadi semacam menonton film tanpa subtitle. Ketika mereka tertawa karena ada sesuatu yang lucu dan saya tidak memahami apa yang mereka tertawakan, hanya diam salah tingkah itu, adalah sesuatu yang benar-benar ackward. Hahaha...konyol banget.

Begitulah, dua pengalaman saya menghadiri kampanye dua cabup.
Saya pribadi agak heran dengan cara kampanye di sini. Secara, di kota saya kan kalau kampanye tidak datang ke desa terus berkumpul dan sharing begini. Tapi, secara massal di tempat terbuka begitu. Tapi, mungkin, karena demografi wilayah yang berjauhan dan terpencil, maka cara paling efektif untuk berkampanye ya dengan mendatangi setiap desa atau dusun satu per satu.

Satu hal lainnya yang begitu ackward adalah bahwa menjadi ‘seseorang’ di sini itu adalah sesuatu yang luar biasa. Saya mah tidak akan seperti ini di kota saya, sampai yang duduk satu ruangan dengan orang-orang penting, disapa dengan ramah, diajak mengobrol santai, dan sebagainya. Strata di sini dengan di sana berbeda. Saya hanya orang biasa di sana. Tapi di sini, saya benar-benar ‘serasa’ menjadi orang luar biasa.

Meski sebenarnya saya juga tetap biasa saja... ^^

#satu tahun untuk selamanya, 27 Nop. 13

Musim Hujan...Petualangan Penuh Kejutan Setiap Harinya (Warna-warni Ende Part. 22)


Setiap hari di sini itu selalu penuh dengan kejutan-kejuatan istimewa. Semua hal yang begitu biasa di tanah Jawa menjadi begitu amazing di sini. Hal-hal kecil yang tidak pernah terjadi, seperti mati listrik seharian, air habis seharian, dan sinyal hilang menjadi tidak bermasalah di sana, karena hanya berlangsung 1-2 jam saja. Tapi di sini...langsung heboh...pengaruh tidak tahu kapan akan berakhir, wkwkwk :p

Contohnya saja, ketika beberapa hari lalu air di sini tidak ada. Heemmm...lama kelamaan ternyata biasa saja. Setiap pagi akhirnya mengangkat air dengan derigen sampai 30 liter juga. Mencuci kadang di kali, kadang di tempat penampungan air. Kadang harus bareng dengan mama-mama lainnya, lalu mereka mulai bicara dengan bahasa roaming yang bikin saya pusing...hehehe... Atau ketika mati lampu dan saya gulang-guling geje di kamar saja. Atau ketika sinyal benar-benar hilang dan saya bingung bagaimana harus menghubungi orang-orang di belahan bumi Indonesia lainnya -_- (yang ini masih bener-bener butuh penyesuaian ekstra). Lama kelamaan semuanya akan biasa.

Hujan dari Jendela Kamar
Banyak kejutan minggu ini dengan datangnya musim hujan yang membuat awan mendung menjadi kawan sehari-hari. Ya...tiap pagi, mendung menyapa. Meski terkadang, mendung itu pun akan diusir oleh birunya langit. Lalu, jam 12 siang, awan bergulung-gulung datang dari balik bukit. Hujan pun datang. Sudah dua hari ini angin juga bertiup sangat kencang, sehingga derak-derak dahan pohon akan menambah seramnya suasana. Kadang, malam hari, dari balik jendela, pohon yang bergoyang akan membentuk bayangan yang aneh. Mirip film horor barat, hahaha... :p.
Angin di sini ngeri memang kalau musim hujan...hujan juga ngeri memang ^^


Tokek di Dalam Kamar

Itu belum cukup lho...
Kejutan lainnya adalah semakin banyaknya hewan-hewan aneh yang muncul di kamar saya. Jadi, semut-semut yang kapan hari ada di kamar saya mendadak hilang sudah. Well, saya sebenarnya tidak terlalu takut, soalnya di kamar saya yang dulu juga sering nemu hewan-hewan yang pastinya bikin kakak saya menjerit-jerit (hahahah...jadi inget :p). Contohnya, beberapa hari lalu adalah insiden kalajengking dan kaki seribu yang mampir di jilbab saya pagi-pagi buta setelah saya bangun. Saya heboh. Keluarga heboh. Tapi aman terkendali dengan tidak ada korban apapun. Hari berikutnya, ada kaki seribu di bawah sajadah saya, yang bikin saya super jijik, tapi akhirnya bisa dikendalikan dengan cara dibuang keluar (jangan tanya bagaimana proses membuangnya, karena itu menjijikkan sekali...hiiiy). Hari berikutnya, nemu hewan aneh mirip kecoak tapi pantatnya lebih lebar (saya kurung ditutup kanebo sampai pagi baru saya buang). Sampai hari ini sudah ada 2 tokek di kamar saya—menyisakan kotoran sebiji kacang yang bikin bau -_-. Ada juga entah serangga apa yang kalau di Jawa disebut sonthe. Sudah puluhan yang saya buang dari kamar—kadang juga menemani saya tidur. Kapan malam, ada setengah lusin kupu-kupu yang ada di kamar saya. Hinggap begitu saja, tapi juga tidak saya buang, karena mereka tidak ganggu saya juga. Kupu-kupu warna putih dengan bintik-bintik hitam.

Entahlah...mendadak kamar saya seperti kebun binatang, hahahaha...
Berharap saja, tidak akan nemu ular atau lintah, karena dua hewan itulah yang akan bikin saya berteriak, hehehe... Petualangan apa lagi yang akan saya temui di musim hujan ini? Well...kita tunggu saja cerita selanjutnya ^^

*Satu tahun untuk selamanya
16. 18 PM 22 November 2013

Cerita tentang Uang Logam dan Pasar (Warna-warni Ende Part. 21)


Tahukah kalian, uang logam nominal 100 dan 200 rupiah di Ende itu TIDAK digunakan. Jadi, setiap kali kita melakukan transaksi yang bernominal itu, maka akan dibulatkan ke pecahan 500 rupiah.

Sumber Gambar
Pertama kali saya kaget sekali, karena saya belum pernah bertransaksi sama sekali dengan menggunakan uang pecahan itu (bahkan hingga tulisan ini saya posting). Maksudnya, saya selama ini menggunakan uang pecahan 1000, 2000, 5000, 10000, 20000 dan 50000 (bahkan tidak juga menggunakan nominal 500). Dan berdasarkan informasi dari teman saya—yang saya lupa siapa, ternyata pecahan 100 dan 200 itu tidak ada. Meskipun ada pecahan 200 dan 100 dengan nominal 500, tetap pedagang tidak mau menerima. Mereka hanya mau menerima pecahan 500 saja. Makanya, hampir semua harga di sini dipatok dengan harga 1000 atau 5000 atau 10000, dsb. Misalnya, harga permen 1000 dapat 3 biji. Harga 3 ikat sayur selada adalah 5000. Harga 1 ekor ayam adalah 60000. Harga 5 ekor ikan adalah 10000. Jadi, kalau mau beli sayur selada satu ikat ya tidak boleh, mau beli ayam hanya paha atau dadanya saja ya tidak boleh, mau beli ikan 1 ekor dengan harga 2000 ya tidak boleh.

Begitulah...
Tapi tenang saja kok, mengeluarkan uang di kota itu tidak seterasa ketika mengeluarkan uang di bukit atau di Bantul. Mengeluarkan uang 10000 di Bantul itu rasanya lebih eman-eman dibandingkan di sini, wkwkwkw. Pengaruh ketersediaan dana juga kan ya, hehehe...

Selain uang logam, saya ingin menceritakan keunikan dari daerah ini, terutama pasarnya. Saya sih baru menjumpai satu pasar saja, yaitu Pasar Bongawani di Ende Selatan. Pasalnya, hanya pasar inilah yang mampu ditempuh dengan jalan kaki dari kontrakan tercinta kami. Jadi, tempat inilah yang saya tuju untuk membeli kebutuhan ketika berada di kota.

Pasar Bongawani menyediakan apa saja. Benar-benar apa saja. Kalau dibandingkan, dengan pasar Bantul mungkin sama lah. Saking ramainya, di lorong-lorong jalan sampai penuh dengan orang. Kadang ojek pun menerabas hingga menutup jalan. Kadang, kalau habis habis hujan, jalan akan menjadi becek dan bikin ih banget... *sok kota, hahahay

Salah satu keunikan di pasar ini yang saya coba bandingkan dengan pasar di Bantul adalah bahwa pasar di sini itu tidak menggunakan satuan berat dalam bertransaksi. Maksudnya adalah untuk menjual dagangannya, para penjual tidak menggunakan timbangan. Misalnya, cabai tidak dijual dalam satuan kilogram seperti di pasar Bantul, tetapi menggunakan gelas. Gelas besar berisi cabai harganya 20000, gelas sedang 10000, dan gelas kecil 5000. Tomatpun juga demikian, satu kelompok tomat berisi 5-6 butir dijual 5000. Untuk sayur biasanya menggunakan ikat, misalnya bayam 2 ikat 5000, kangkung 3 ikat 5000. Untuk buah, terkadang menggunakan jumlahnya, misalnya terong 5000 dapat 3, mangga 10000 dapat 3, dsb. Pernah saya beli kubis dijual 10000 (beratnya sekitar 1 kg lebih) saya tawar dapet 8000. Beberapa bahan pokok tetap menggunakan satuan kilogram, misalnya bawang merah bawang putih, beras, gula, tepung, dsb.

Saya sih terkadang merasakan pemborosan dengan cara ini. Maksudnya, ketika saya dulu di rumah, biasanya mau beli sayur buat bikin sop, maka tinggal bayar 5000 saja sudah komplit kubis, daun bawang, wortel, seledri, dan buncis. Murah kan. Mau beli bawang merah bawang putih 10000 maka sudah dibungkuskan. Tidak perlu beli ini berapa rupiah, itu berapa rupiah, dsb. Boros.

Mungkin hal itu juga dipengaruhi oleh adat dan tradisi makan di tempat ini. Well, untuk bagian ini akan saya posting lain kali saja.

Meskipun kebiasaan di sini beda dengan daerah asal saya, tapi tetep harus dinikmati. Toh, berkat saya ikut program ini, saya jadi belajar manajemen rumah tangga alias pengeluaran pribadi, wkwkwk. Saya juga jadi tahu harga-harga barang di pasar karena satu bulan sekali pasti ke pasar. Saya jadi tahu lorong-lorong pasar Bongawani. Saya jadi punya toko langganan, punya orang malang yang gayanya gemulai, wkwkwk. Saya juga jadi tahu, bahwa lebih murah membeli tahu di pabriknya daripada di pasar. Saya juga jadi tahu, bahwa ikan ini pantasnya seharga 10000 atau 15000. Well...saya yakin, apa yang saya dapatkan ini akan berguna suatu hari nanti, ketika sudah kembali ke kampung halaman ^^

#satu tahun untuk selamanya, puncak nakawara, 18 November 2013.

Cerita LDR-an... (Warna-warni Ende Part. 20)


LDR atau long distance relationship adalah hubungan jarak jauh dimana laki-laki dan wanita yang sudah berkomitmen tidak dapat bertemu selama beberapa waktu karena masalah jarak. Contohnya, LDR dari Jogja-Semarang. Si cowok di Jogja, si cewek di Semarang. Atau, LDR dari Jawa-Flores, si cowok di Jawa, si cewek di Flores (*curcol, hahaha)

Saya pernah mengalami LDR sebelumnya selama beberapa minggu (atau bulan). Jaman-jaman masih kuliah dulu, jaman-jaman masih pacar-pacaran, jaman-jaman masih ababil, wkwkwk... Dan saya berkesimpulan bahwa saya tidak pernah bersahabat dengan yang namanya LDR. Karena di beberapa keadaan itu, selalu hasilnya tidak sesuai harapan. Mungkin saya memang tipe yang setiap hari harus ketemu, atau minimal seminggu sekali.... (*curcol lagi, wkwkwkw).

Sumber Gambar
Dulu semasa teman-teman sedang kuliah, ada banyak orang yang LDR. Terutama ketika mereka berbeda tempat kuliah. Contohnya, antara UNY-UNS, antara UNY-UNES, antara Jogja-Jakarta, antara Jogja-Bandung, dan sebagainya. Dan saya selalu berpikir, kok bisa sih mereka bertahan dengan hubungan mereka? Ada yang satu minggu sekali ketemu. Ada yang satu bulan sekali ketemu. Bahkan, ada yang satu semester sekali baru ketemu. Oh My...beneran, saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka untuk bisa bertahan hanya pacaran dengan hape saja (*kasarnya kan kayak gitu, hehehe).

Tapi, akhirnya, saya terkena getahnya juga. Saya pun harus merasakan yang namanya LDR. Dan harus saya akui, itu sangat berat. Hanya telfon, hanya SMS, dan tidak bertemu muka. Dari yang setiap hari ketemu menjadi tidak ketemu selama satu tahun itu sangat gila sekali. Maka, tak heran saya kalau misalnya banyak teman-teman seperjuangan di sini yang kemudian mencari pelampiasan, yaitu melakukan pacaran kontrak. Intinya, mereka saling flirting satu sama lain, kemudian memutuskan untuk HTS-an, TTM-an, ataupun dengan terang-terangan selingkuhan, selama satu tahun di sini. Lepas dari sini, mereka akan kembali ke kehidupan normal sebelumnya, yaitu kembali ke pacar mereka masing-masing. Hal ini akan saya bahas lain kali... ^^

Kembali ke topik kita.
Sebenarnya, sebuah hubungan yang LDR itu, tidak seseram yang saya bayangkan dulu. Dulu, waktu kuliah, saya sering geje dan marah kalau SMS tidak dibalas mas pacar, telvon tidak diangkat, atau chattingan tidak bisa (masa masih ababil, wkwkwk). Tapi, sekarang, saya merasa mulai bersahabat dengan LDR. Meski tidak bisa SMS, ya sudah, tidak bisa telfon, ya sudah, tidak bisa fban, ya sudah, tidak bisa twitteran, ya sudah...pasrah saja, hehehhe.

Mengapa?
Karena menurut saya, ada dua faktor yang berkaitan dengan hal itu: tingkat kedewasaan dan tipe hubungan.

Sumber Gambar
Tingkat kedewasaan, yaitu ketika seseorang menjadi semakin dewasa, penerimaan akan apa yang terjadi padanya, lebih besar dibandingkan ketika ia masih muda. Istilahnya, lebih nrimo dan sudah tidak alay atau lebay lagi. Jadi, orang yang lebih dewasa cenderung menerima hubungan LDR itu dengan bijak. Artinya, dia tidak lagi melakukan hal-hal yang konyol seperti yang dilakukan oleh anak muda ababil, wkwkwk ^^

Tipe hubungan, yaitu seperti apa hubungan yang sedang dijalin. Apakah keduanya sudah yakin untuk berkomitmen membawa hubungan ini dengan dewasa dan serius, ataukah membuatnya menjadi mainan seperti anak-anak. Bagi yang membawa hubungan ini dewasa dan serius, mau LDR atau ketemu tiap hari, maka hubungan itu pasti tetap langgeng. Karena keduanya sudah komitmen untuk bersama. Tapi, bila hubungan itu dibuat seperti mainan, yang bisa disudahi kapan saja, yang bisa cari penggantinya kapan saja, lalu mulai main lagi, rasanya hubungan LDR pasti akan gagal...

Tambahan lainnya, adalah bagaimana sosok pasangan kita itu sendiri. Bila dia siap dengan kondisi kita, satu pemikiran dengan kita, maka hubungan itu pun tidak akan timpang. Artinya, LDR bisa dilalui.

Well, LDR itu tidak hanya bisa terjadi pra nikah saja lho, tapi juga setelah nikah. Saya ngeri membayangkan banyak orang yang berjuang dengan hubungan yang jarak jauh begitu. Misalnya, si cewek kerja di Jogja, jadi PNS, sementara si cowok kerja di Temanggung. Bisa jadi, si cewek harus pulang seminggu sekali ke Temanggung. Tak sedikit kisah haru biru yang berkaitan dengan LDR, yang luput dari pandangan banyak orang. Yang jelas, setiap kisah memiliki ceritanya sendiri.

Dan inilah cerita saya. Saya sudah bersahabat dengan LDR. Saya hanya perlu menghitung hari, minggu, bulan, dan pada akhirnya bertemu lagi. Kasihan juga dengan @Nisayu atau @Hety yang harus LDR dalam jangka waktu yang belum bisa dipastikan. Tapi, itulah jalan masing-masing. Jadi, penerimaan sajalah...karena pasti kalau diterima dengan ikhlas, hasilnya akan jauh dari apa yang dibayangkan sebelumnya.

*Satu tahun untuk selamanya.
16 November 2013, @puncak nakawara
Purnama ketiga...

Senam Yuk....! (Warna-warni Ende Part. 19)




Beberapa hari ini, anak-anak sedang hobi senam. Namanya senam riang anak Indonesia. Seru sih...

Tapi, karena kondisi gedung yang masih sementara, dan tidak memungkinkan untuk senam di luar, kami pun senam indoor. Hehehehe...


Jadi, kursi kantor pun digeser ke kanan dan ke kiri, kursi ditumpuk, dan hasilnya adalah ruang senam indoor, hehehe...


Anak-anak antusias banget lhoh...karena kondisi yang seadanya, senamnya pun digilir, kelas 1, kelas 2, baru kelas 3. Mereka senam 1 sesi 2 kali senam. Peralatannya juga sederhana, yaitu laptop.

ini dia jepretannya...

Anak Kelas 1 Senam

Anak Kelas III Senam

Nyasar di Kota Orang (Warna-warni Ende Part. 18)


Hari Minggu ini saya turun ke Ende. Pasalnya, ada rapat koordinai se Kabupaten Ende di basecamp tercinta, tepatnya di Ende Selatan, daerah Ujung Aspal (namanya lucu, mungkin karena daerah itu memang aspalnya sudah terujung, alias habis, selebihnya sudah jalan tanah/setapak, wkwkwk).  Jadi, sebulan sekali, kami memang ada rapat koordinasi di basecamp. Bahasannya tentu saja bermacam-macam, misalnya ada pengumuman penting, info-info, dan terutama membahas tentang agenda akbar dari kelompok kami (yang ini masih top secret, pssssttt..!)

Akhirnya, karena agenda itu hanya terjadi satu bulan sekali, moment itu pun juga digunakan bagi kami untuk belanja-belajan keperluan kami. Dan bulan ini, saya turun pada hari Jumat pagi. Saya ijin pada Ibu Kepsek bahwa saya akan ada keperluan di UPT Kecamatan dan di Ende, jadi ijin dua hari. Saya turun ke Nangaba, ke rumah ketiga di sini, yaitu kontrakannya Cahyo. Kami ke kecamatan untuk lapor diri. Setelah selesai lapor diri, kami liburan sebentar. Yaaa...ada diskusi singkat, cerita-cerita, hingga mencuci di Sungai Nangaba. Hari Sabtunya kami baru turun ke Ende.
Pantai di Nangaba

Saya, memanfaatkan hari itu untuk belanja. Shopping time!!!
Tapi tentu saja bukan shopping time ala saya di Jogja. Yang namanya shopping time di Jogja itu ya belanja baju atau sepatu, terus makan di SS. Tapi, kalau di Ende, ya hanya ke Hero Swalayan buat beli perlengkapan dapur dan keperluan diri. Pokoknya keluar uang buanyaaaaaakkk banget. Kalau di Jogja seperti mau kulakan saja.

Kami berangkat naik motor pinjaman dari Pak Korkab. Sementara yang lainnya jalan-jalan ke pantai, saya dan mbak Eka memilih ke Hero. Karena tidak tahu jalan, kami pun tanya pada Pak Polisi.
“Selamat sore, Pak. Arah Hero ke mana ya, Pak?” tanya Mbak Eka.
“Ini lurus saja,” kata Pak Polisi dengan ramah.
Kami agak sanksi sih, tapi mau tak mau ya nurut saja. Kami jalan mengikuti arah yang ditunjuk. Melewati dua lampu lalin. Sampai lampu lalin yang kedua kami tanya pada bapak-bapak yang kebetulan berhenti di samping kami, lampu merah. Bapak itu pun menegaskan bahwa Hero memang hanya lurus saja.
Kami pun sampai tanpa nyasar.

Lanjut, kami shopping. Beneran seperti anak ayam yang dilepas dari kurungan. Kami lantas sibuk dengan daftar belanjaan kami masing-masing. Dan saya memang buanyak banget belinya. Maklum lah, buat ransum satu bulan di kos an. Sayangnya, nyari chitato tidak pernah ada. Bulan lalu bisa nemu lays, bulan ini hanya dapet taro saja -_- *kangen taro.

Eh, pulang dari Hero, saya dan mbak Eka, karena tidak tahu jalan, akhirnya nyasar juga. Nyasar di kota orang. Jalan di kota Ende memang beberapa ada yang satu arah. Dan karena saya belum tahu arah, kami pun melewati jalan yang berbeda dengan jalan ketika berangkat. Finally, kami nyasar. Dari jalan beraspal, kami memasuki daerah perkampungan yang makin lama jalannya makin jelek. Hari sudah gelap. Kami semakin bingung. Putar balik atau tidak? Akhirnya kami pun putar balik ketika hampir mau masuk ke jalan setapak entah menuju ke mana.

Kami pun kembali ke jalan sebelum masuk perkampungan. Cari aman, kami pun akhirnya tanya orang dan bisa kembali ke jalan utama dengan selamat, hehehe.

Pengalaman pertama nyasar di kota Ende. Tapi tak mengapa, karena akibat nyasar itu, kami menemukan jalan yang benar. Kami mampir makan dan saya pesan nasi padangan dengan lauk ayam. Ya Tuhanku...rasanya benar-benar Jawa banget. Bikin tambah kangen dengan ayam goreng Ibuk, huks *nangis satu ember.

Esok harinya saya dan Mbak Eka belanja sayuran ke pasar kemudian pulang ke kontrakan dan rapat. Seneng dengan hari itu. Saya pulang sore harinya dengan bawaan seabrek dan ransum segunung. Berat. Tapi harus tetap semangat dan bertahan.

Satu tahun untuk selamanya.

*) 10 November 2013, selamat hari pahlawan...siapa pahlawan dalam hidupmu? Banyak...karena pahlawan dalam setiap segi itu berbeda-beda...ah mbuhlah, malah mbahas geje, wkwkwk...

Friday, November 22, 2013

Sweetest November (12 Bulan yang Telah Kita Lewati)


Jalan yang kita tempuh ini tidaklah semudah menjelajah Petungkriyono
Tak sepanjang perjalanan kita dari Panggang ke Wonosari
Tak sesingkat malam yang kita nantikan berakhir, lalu kita bertemu lagi esok paginya
Tak selama 1 menit kita bercakap di depan kelas I kreatif, mempertanyakan kabar satu malam lalu
Tak selama 12 bulan yang telah kita lewati dengan begitu banyak petualangan menakjubkan

Andai waktu bisa terulang, setiap kenangan itu benar-benar layak untuk membuat kita tersenyum
Meski terkadang tangis pun mempercantik perjalanan kita
Meski rasa cemburu yang menggelegak akan menambah kasih kita

Adalah 12 bulan yang penuh dengan rasa syukur telah kita lewati

Masih ingatkah kau pada ombak yang berkejaran di pantai-pantai yang kita singgahi?
Masih terasakah semilir angin pinggir sawah di jalan Kulon Progo selepas kita pergi ke Purworejo?
Masihkah dinginnya Pekalongan, Batang, Kendal, Temanggung, Wonosobo, Magelang, Sleman, Jogja, dan Bantul dini hari terasa menusuk ke sumsum tulang?
Masihkan teringat malam terakhir sebelum aku meninggalkan Jogja?
Atau, terasa lembutkah semua hal manis dan sederhana yang pernah kita lakukan berdua?

Duhai kekasih hati,
Bersamamu tak pernah ku temukan jalan buntu
Bersamamu seluruh doa-doaku terjawab sudah tanpa keraguan
Bersamamu tak ada yang terasa berat untuk ku jalani
Bersamamu segalanya terasa begitu berwarna merah jambu

Meski sekarang kita berjauhan
Hingga rindu terasa menusuk setiap detiknya

Hanya angin yang bertiup saja seolah mampu menyampaikan rinduku
Hanya langit biru saja yang seolah mendamaikan hatiku untuk bertemu dengamu
Berharap esok hari adalah hari dimana kita bertemu setelah sekian purnama kita terpisah
Meski waktu bergulir terlampau lambat

Cinta, berapa purnama lagi harus ku hitung untuk kita bertemu
Ya, masih ada begitu banyak purnama
Tapi tak mengapa...
Aku masih di sini
Menghitung dengan sabar setiap purnama
Menanti datangnya hari itu

Rabbi, kami pintakan mahabbah yang tiada kering mengalir dalam hati kami
Agar setiap cinta yang kami rasakan, adalah cinta yang Engkau anugerahkan dengan sempurna
Syukur tiada terperi kami lantunkan atas kuasaMu
KarenaMu, ya Rabb, setiap pertemuan dan perpisahan kami terjadi
Maka, senantiasa jagalah hati kami
Untuk setia...

Menanti masa dimana dapat bertemu kembali
Kemudian menautkan cinta dalam ikatanMu
Untuk satu rindu, satu cinta, dan satu masa depan
Untuk kami.
Hanya kami berdua.

*untuk mengingat pertemuan kita 1 tahun yang lalu...
the sweetest november that i’ve ever had.
Just being with you is so wonderfull, My Dearest.
*22112012-22112013, 12 purnama pertama.