Saturday, October 10, 2015

Mengobati Tomcat



Serangga yang satu ini benar-benar sudah bikin banyak orang tersiksa. Terhitung dalam 8 bulan terakhir ini sudah 3 kali saya kena. Pertama, bulan pertama di Wates. Saat itu kaki saya yang kena. Entah bagaimana ceritanya. Saya ngerasa nyeri-nyeri setelah keluar dari kamar mandi. Diteliti lebih jauh ternyata sudah ada kawah tomcat di betis saya. Alamak!!! Kali kedua, sama kejadiannya, dari kamar mandi pagi-pagi sekali, saya ngerasa ada yang nyeri di pelipis kanan saya. Saya ambil cermin dan menemukan satu kawah kecil gigitan tomcat. Aduh…wajah saya v.v.  Nah, kali ketiga saya kena tomcat adalah 3 hari lalu, saat saya sedang di sekolah. Di lipatan lengan atas dan bawah, tiba-tiba terasa nyeri. Kayaknya sih kenal. Soalnya, saya sudah pernah kena herpes di tempat yang sama beberapa tahun silam. Saya lihat, eh ternyata benar, si tomcat entah darimana datangnya berhasil menyengat lengan saya.

Mengingat saya sudah pernah kena herpes dan sebenarnya rasanya 11-12 dengan tomcat, ketika pertama kali saya kena tomcat, saya pun langsung mengasumsikan bahwa saya butuh lidah buaya. Baca postingan saya di sini, ya. Eh, bagaimana mungkin saya bisa mendapatkan lidah buaya kalau saya di asrama? Kalau di rumah, mah, saya bisa minta Ibuk yang nyariin. Kalau di sini? Aih, boro-boro dapat lidah buaya.

Tegar (Part. 1)



“Sudah, ini terakhir kalinya kamu bonceng aku. Aku nggak mau lagi,” kata Tegar dengan keras. Dingin, kaku, tanpa ekspresi.

Seperti yang sudah-sudah, lidahku kelu, tak bisa mengatakan apapun. Tapi, hatiku hancur. Dan sarafku merespon dengan cepat, kelenjar air mataku mengeluarkan bulir-bulir air mata yang segera memenuhi pelupuk mataku.

Aku segera berpaling dan menuju ke kamar. Ku dengar motor Tegar menderu menuju ke parkiran.
Ku buka pintu kamar dengan paksa, berusaha menenangkan debar hatiku yang tak menentu dan tangis yang sudah entah sejak kapan mengalir. Bersyukur, kedua teman sekamarku belum pulang, sehingga aku bisa leluasa menumpahkan air mataku.

Ku tutup pintu kamarku. Tangisku pecah seketika.

***

Tegar adalah kekasihku. Pacar, itu yang selalu dikatakan orang lain. Tahun ini adalah tahun keempat kami bersama. Bagiku, dia sudah lebih dari sekadar pacar. Bagiku, dia adalah calon imamku. Ganteng, cerdas, baik, sholeh, dan mampu menerimaku apa adanya. Mau menerima keluargaku yang hanya seadanya. Mau menerimaku yang tidak sempurna. Tapi, seperti yang selalu dikatakannya, ‘Bersamamu adalah melengkapi agar sempurna.’ Aku luluh.

Hubungan kami baik-baik saja, meskipun kami berstatus LDR alias luar daerah relationship. Tahun pertama pacaran, kami masih kuliah, aku di Jogja, ia di Solo. Tahun kedua dan ketiga, aku dan dia diterima bekerja di luar pulau dalam satu yayasan. Dia bekerja di Bima sementara aku di Padang. Tahun keempat, sekarang, kami terikat kontrak kuliah lagi di satu asrama yang sama. Setiap hari kami bertemu. Ah, sungguh membahagiakan bisa menatap wajahnya setiap hari, bertemu dengannya setiap hari, bercanda tawa dan mendengar senyumnya. Duhai Pangeranku, betapa sempurnanya kamu. Betapa beruntungnya aku yang sekarang ada di sampingmu.

***

Sumber
Ku tatap wajah Raisa yang tampak merah dengan lelehan air mata yang membanjir. Dia terisak sesenggukan. 

“Aku dan Mas Tegar saling sayang, Mbak,” tandas Raisa diantara isaknya.

Kalimat terakhirnya menikamku. Aku sudah mendengar dari banyak orang di asrama. Kalau Mas Tegar memang ada main dengan Raisa sejak di Bima—karena mereka memang cukup dekat di sana. Tapi aku tak menyangka mereka akan segamblang ini. Maksudku, aku dan Mas Tegar baik-baik saja selama ini. Mengapa Mas Tegar tiba-tiba memutuskanku? Untuk wanita ini? Yang sekarang menangis di hadapanku? Seolah meminta pengampunan dariku? Membenarkan setiap tindak-tanduk mereka yang sama sekali tidak berperikemanusiaan? Salah apa aku? Mengapa aku yang harus disakiti?
“Apa yang kamu harapkan, Rai?” jawabku dingin. Air mataku sudah terlalu kering. Hanya hatiku yang serasa dicabik.

“Pergilah, tinggalkan aku sendiri, untuk saat ini,” jawabku memalingkan wajahku.

Raisa masih sesenggukan. Ia telah mengaku dosa. Untuk saat ini, dia tidak ada artinya bagiku. Dia dan Mas Tegar—mereka.

Raisa keluar dari kamarku. Ku tatap fotoku dan Mas Tegar yang terpajang di meja belajarku. Foto satu bulan yang lalu ketika kami pergi ke rumahnya. Sudah beberapa kali aku menginap di rumahnya—hanya sekadar menginap saja. Ibu dan ayahnya sangat baik. Dalam frame itu, kami sangat bahagia sekali. Sungguh berbeda dengan apa yang terjadi saat ini.

Mas Tegar, dimana janji-janji yang sudah kau katakana untuk kita? Kita sudah membangun mimpi masa depan berdua. Mengapa semua gambaran itu sekarang sudah menghilang? Apa salahku?

***

“Aku sudah tidak nyaman.”
“Salah apa aku, Mas?”
“Aku sudah tidak nyaman. Aku sudah menemukan orang lain. Berhenti menghubungiku. Kita sudah tidak ada apa-apa lagi.”

SMS terakhirnya mencabik hatiku. Ku matikan ponselku. Kedua teman sekamarku sudah tidur. Aku tak bisa tidur. Pikiranku melanglang. Lelah berpikir, aku tertidur.

***

“Uwis, Nduk. Iki artine kowe lagi diuji. Sesuk bakal nemu sek luweh apik timbang wonge. Sek penting ikhlas,” ujar Ibuk. Matanya berkaca-kaca. (Arti: Sudahlah, Nak. Ini artinya kamu sedang diuji. Kelak, kamu akan menemukan orang yang lebih baik dari dia. Yang penting ikhlas).

Rasa sakit hatiku karena diputus Mas Tegar seolah tidak ada bandingannya dibandingkan rasa sakit hatiku mendengar ketegaran ibukku. Beliau sudah terlanjur menaruh banyak harapan pada Mas Tegar, bahwa ia yang akan mempersuntingku. Sekarang, semuanya tak berarti apapun lagi.

Aku hanya menangis sesenggukan.

***

Bersambung.
 
*) Terinspirasi oleh kisah masa silam dan kisah masa kini. Dari berbagai kisah-kisah orang lain. Semoga bisa belajar dari kisah-kisah ini.