Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Saturday, October 10, 2015

Tegar (Part. 1)



“Sudah, ini terakhir kalinya kamu bonceng aku. Aku nggak mau lagi,” kata Tegar dengan keras. Dingin, kaku, tanpa ekspresi.

Seperti yang sudah-sudah, lidahku kelu, tak bisa mengatakan apapun. Tapi, hatiku hancur. Dan sarafku merespon dengan cepat, kelenjar air mataku mengeluarkan bulir-bulir air mata yang segera memenuhi pelupuk mataku.

Aku segera berpaling dan menuju ke kamar. Ku dengar motor Tegar menderu menuju ke parkiran.
Ku buka pintu kamar dengan paksa, berusaha menenangkan debar hatiku yang tak menentu dan tangis yang sudah entah sejak kapan mengalir. Bersyukur, kedua teman sekamarku belum pulang, sehingga aku bisa leluasa menumpahkan air mataku.

Ku tutup pintu kamarku. Tangisku pecah seketika.

***

Tegar adalah kekasihku. Pacar, itu yang selalu dikatakan orang lain. Tahun ini adalah tahun keempat kami bersama. Bagiku, dia sudah lebih dari sekadar pacar. Bagiku, dia adalah calon imamku. Ganteng, cerdas, baik, sholeh, dan mampu menerimaku apa adanya. Mau menerima keluargaku yang hanya seadanya. Mau menerimaku yang tidak sempurna. Tapi, seperti yang selalu dikatakannya, ‘Bersamamu adalah melengkapi agar sempurna.’ Aku luluh.

Hubungan kami baik-baik saja, meskipun kami berstatus LDR alias luar daerah relationship. Tahun pertama pacaran, kami masih kuliah, aku di Jogja, ia di Solo. Tahun kedua dan ketiga, aku dan dia diterima bekerja di luar pulau dalam satu yayasan. Dia bekerja di Bima sementara aku di Padang. Tahun keempat, sekarang, kami terikat kontrak kuliah lagi di satu asrama yang sama. Setiap hari kami bertemu. Ah, sungguh membahagiakan bisa menatap wajahnya setiap hari, bertemu dengannya setiap hari, bercanda tawa dan mendengar senyumnya. Duhai Pangeranku, betapa sempurnanya kamu. Betapa beruntungnya aku yang sekarang ada di sampingmu.

***

Sumber
Ku tatap wajah Raisa yang tampak merah dengan lelehan air mata yang membanjir. Dia terisak sesenggukan. 

“Aku dan Mas Tegar saling sayang, Mbak,” tandas Raisa diantara isaknya.

Kalimat terakhirnya menikamku. Aku sudah mendengar dari banyak orang di asrama. Kalau Mas Tegar memang ada main dengan Raisa sejak di Bima—karena mereka memang cukup dekat di sana. Tapi aku tak menyangka mereka akan segamblang ini. Maksudku, aku dan Mas Tegar baik-baik saja selama ini. Mengapa Mas Tegar tiba-tiba memutuskanku? Untuk wanita ini? Yang sekarang menangis di hadapanku? Seolah meminta pengampunan dariku? Membenarkan setiap tindak-tanduk mereka yang sama sekali tidak berperikemanusiaan? Salah apa aku? Mengapa aku yang harus disakiti?
“Apa yang kamu harapkan, Rai?” jawabku dingin. Air mataku sudah terlalu kering. Hanya hatiku yang serasa dicabik.

“Pergilah, tinggalkan aku sendiri, untuk saat ini,” jawabku memalingkan wajahku.

Raisa masih sesenggukan. Ia telah mengaku dosa. Untuk saat ini, dia tidak ada artinya bagiku. Dia dan Mas Tegar—mereka.

Raisa keluar dari kamarku. Ku tatap fotoku dan Mas Tegar yang terpajang di meja belajarku. Foto satu bulan yang lalu ketika kami pergi ke rumahnya. Sudah beberapa kali aku menginap di rumahnya—hanya sekadar menginap saja. Ibu dan ayahnya sangat baik. Dalam frame itu, kami sangat bahagia sekali. Sungguh berbeda dengan apa yang terjadi saat ini.

Mas Tegar, dimana janji-janji yang sudah kau katakana untuk kita? Kita sudah membangun mimpi masa depan berdua. Mengapa semua gambaran itu sekarang sudah menghilang? Apa salahku?

***

“Aku sudah tidak nyaman.”
“Salah apa aku, Mas?”
“Aku sudah tidak nyaman. Aku sudah menemukan orang lain. Berhenti menghubungiku. Kita sudah tidak ada apa-apa lagi.”

SMS terakhirnya mencabik hatiku. Ku matikan ponselku. Kedua teman sekamarku sudah tidur. Aku tak bisa tidur. Pikiranku melanglang. Lelah berpikir, aku tertidur.

***

“Uwis, Nduk. Iki artine kowe lagi diuji. Sesuk bakal nemu sek luweh apik timbang wonge. Sek penting ikhlas,” ujar Ibuk. Matanya berkaca-kaca. (Arti: Sudahlah, Nak. Ini artinya kamu sedang diuji. Kelak, kamu akan menemukan orang yang lebih baik dari dia. Yang penting ikhlas).

Rasa sakit hatiku karena diputus Mas Tegar seolah tidak ada bandingannya dibandingkan rasa sakit hatiku mendengar ketegaran ibukku. Beliau sudah terlanjur menaruh banyak harapan pada Mas Tegar, bahwa ia yang akan mempersuntingku. Sekarang, semuanya tak berarti apapun lagi.

Aku hanya menangis sesenggukan.

***

Bersambung.
 
*) Terinspirasi oleh kisah masa silam dan kisah masa kini. Dari berbagai kisah-kisah orang lain. Semoga bisa belajar dari kisah-kisah ini.

Wednesday, July 18, 2012

Di Hari yang Bertoga Ini 2

Aku menatap punggung mas hasbi menjauh. Tak terasa, lelehan air mata ini mengaburkan pandanganku. Dia pergi. Dia pergi. Tak sekadar pergi ke Temanggung, seperti ketika dia mudik 2 kali sebulan. Tak sekadar pergi untuk mudik satu atau dua hari. Setidaknya aku akan bertemu dia lagi dalam waktu dekat. Tapi, kali ini, dia pergi. Pergi untuk selamanya.

“Maaf, kita sudah tak bisa bersama lagi.”

Itu adalah kata-kata paling sederhana yang menterjemahkan semua yang baru saja dia katakan. Dan ketika itulah air mataku mengalir deras. Dia tega. Dia jahat. Ya, bagaimana dia tega untuk mengatakannya bahkan di depan banyak orang. Demi Tuhan, ini itu di Perempatan Kantor Pos Jogja. Titik Nol. Jantung kota Jogja. Aku konyol karena aku barusan menangis. Dan memang tak ada kuasa aku bisa menahan air mata itu. Tapi dia kejam karena mengatakannya di tengah keramaian seperti ini.

Mungkin, dia takut aku bakal ngamuk kalau kita bertemu di tempat yang private dan tak ada orang. Dasar cowok. Aku teringat dengan bulan-bulan penuh ketidakjelasan dengannya. Teringat dengan dia yang sibuk dengan skripsinya. Teringat dengan aku yang datang di hari wisudanya. Tapi tetap saja, aku yakin dan percaya. Aku memegang komitmen ini. Bagiku, pacaran dengan mas Hasbi adalah satu langkah awal untuk suatu perjalanan yang lebih jauh lagi.

Dan sekarang semuanya berakhir di sini.

Ini tak adil.

Ini tak adil.

Punggung itu menjauh. Menjauh pergi. Meski bekasnya masih ada di hatiku.

Aku segera memacu motorku. Ku pacu hingga kecepatan tertinggi. Terserahlah, aku mau jatuh, kecelakaan, disambar truk pun, aku tak peduli. Bahkan rasanya aku menginginkan itu. Rasa sakit dan kecewa ini memenuhiku. Mataku buram, terututup oleh air mata.

Sayang, aku sampai di kamar dengan selamat. Untung di rumah sepi, tak ada orang. Aku mengurung diri di kamar hari itu. Memuntahkan bergalon-galon air mata, sekaligus mengutuk mas Hasbi berulang kali. Apa yang dia pikirkan sebenarnya?

***

Sudah sebulan sejak hari terburuk dalam sejarah kehidupanku bergulir. Well, sebenarnya aku sudah beberapa kali diputusin cowok, tapi yang ini beda. Aku merasa bahwa mas Hasbi itu jodoh yang sudah dikirimkan oleh Tuhan. Dia yang sempurna—bahkan ketika ku cari kekurangannya pun, semua kelebihannya selalu menutupi kekurangannya.

Ah…sudahlah. Mengingatnya hanya akan membuatku sesak.

Dan begitulah, aku mengisi hari-hariku dengan hal yang baru. Aku mulai bekerja di sekolah, menjadi guru, banyak persiapan untuk melakukan segalanya, banyak kegiatan di sana-sini, hingga aku bahkan tak sempat untuk memikirkannya (lagi). Syukurlah, itu artinya semua doaku tiap malam dikabulkan.

Waktu berlari dengan cepat. Tak terasa, sudah waktunya aku mengenakan toga. Ya, hari ini akan ada prosesi wisuda. Seluruh persiapan sudah dilakukan, kebaya sudah dipesan. Meski ada selempang cum laude melingkar di tubuhku, aku tak pede hari ini. Ada semacam ‘prestige’ tersendiri bagi wisudawan dan wisudawati membawa ‘seseorang’ yang spesial. Dan hari ini tak ada orang yang akan hadir. Ada beberapa sahabat dekat, tapi ‘dia’ yang benar-benar ku harapkan untuk hadir, sepertinya tidak akan hadir.

Detik berlalu dengan cepat.  Prosesi wisuda selesai dengan cepat. Aku buru-buru keluar. Mengenakan high heels, jilbab, dan toga membuatku sesak dan tak nyaman. Tapi aku terkaget-kaget ketika keluar dari pintu gedung. Ada mas Hasbi di sana. Tersenyum. Ke arahku?

Deg!

Jantungku mencelos. Kaget. Aku buru-buru membuang muka. Ah, tidak, aku pasti salah lihat. Itu bukan mas Hasbi. Ngapain juga di sini. Dan kalaupun itu dia, tentu dia tak menungguku. Pasti ada pacar baru.

Aku mempercepat langkahku. Ada bapak, ibuk, mbak, dan adikku sudah menungguku. Pelukan, senyum, tawa, dan foto-foto melupakan sejenak apa yang baru saja terjadi.

“Fa…,” sapa seseorang.

Aku menoleh. Hanya satu orang yang memanggilku dengan panggilan itu. Dan benar, mas Hasbi ada di sana. Tersenyum lebar.

“Selamat, ya,” katanya sambil mengangsurkan rangkaian bunga yang indah, “kamu cantik hari ini…”

Ada rasa tertohok di hatiku. Entah, ada rasa haru, tangis, marah, tapi juga senang. Dia menyapa seluruh orang yang ada di sana. Sementara aku masih shock—tak mampu mengatakan apa-apa.

“Udah ya aku pergi dulu,” katanya kemudian. Dan dia pergi begitu saja.

Aku bingung tapi aku berusaha untuk mengacuhkannya. “Ayo Fa, tak boleh sedih. Dia mungkin hanya ingin memberikan selamat saja. Jangan berpikir yang tidak-tidak,” kataku dalam hati. Aku berusaha melupakan kejadian barusan.

Tiba-tiba, ponselku bergetar pelan. Ada sms masuk.

“Aku datang karena aku masih sayang kamu. Aku tahu aku sudah jahat. Kamu mau kan maafin aku? Bila masih ada kesempatan, aku ingin kita memperbaiki apa yang pernah terjadi di antara kita.”

Setetes air mata jatuh. Dan seketika, aku bingung.

**bersambung**

#ada yg mau ngasih ide buat endingnya?

Di Hari yang Bertoga Ini 1

aku tergopoh-gopoh memakai helm, slayer, dan sarung tangan. kemudian menyalakan motor. tanpa ba-bi-bu, motor langsung ku pacu menuju kampus. hari ini hari sabtu, dan tidak seperti biasanya aku menuju kampus. ada acara wisuda hari ini. dan yang lebih menyenangkan, hari ini mas hasbi—pacar tercinta—diwisuda.

emm, sebenarnya tidak praktis dia pacarku sih. kita sudah lama tidak ada komunikasi. dia sibuk dengan skripsinya, kerjaannya, dsb., jadilah aku dicuekin, tidak ada komunikasi, dan hambar. tapi karena aku sayang dia, makanya aku mau datang ke wisudanya. pengen sih ketemu sama bapak, ibuk, mbaknya, adeknya, dan keluarga lainnya. pengen menjadi bagian dari ‘itu’. :)

tak sampai satu jam aku sudah sampai di GOR UNY.

banyak sekali orang di sini. padat mobil, orang, bus, motor, dsb. banyak tenda foto berjejer. semakin banyak yang berteriak, ‘bunga mbak bunga.’ sambil menyodorkan satu karangan bunga antara 10-20 ribu. ah, mahal, itu mah 5ribu juga dapet. untuk aku sudah sempat mampir ke kotabaru untuk membeli bunga.

ah, mas hasbi mana ya? batinku.

tidak sampai 5 detik, pintu GOR terbuka dan rombongan wisudawan dan wisudawati keluar. hanya ada warna hitam di sana, karena semuanya memakai toga. aku berlari menuju tempat yang agak tinggi, berusaha mengenali wajah mas hasbi diantara baju-baju hitam itu.

ah, sepertinya percuma saja. terlalu banyak orang.

10 menit kemudian, rombongan wisudawan berselempang ‘cum laude’ keluar. nah ini nih…batinku.
dan benar, aku menemukan wajahnya. tampak capek, tapi bahagia. aku mengunci pandanganku ke arahnya dan menerobos lautan massa di depanku. aku mengikutinya hingga terus, hingga dia berkumpul bersama dengan keluarganya—melihat bapak, ibu, adek, dan mbaknya.

aku mendekatinya dan mencolek bahunya. dia menoleh, dengan gerakan slow motion, lalu tersenyum melihatku. karangan bungaku berpindah ketangannya. bersalaman denganya, bapak, ibuk, dan semua keluarganya.
‘maaf ya kalau aku nyuekin kamu.’ bisiknya di telingaku.

aku tersenyum dan menggeleng pelan, ‘aku tahu kok mas, jangan berprasangka buruk. aku selalu tahu.’
mas hasbi tersenyum.

teringat berbulan-bulan tanpa kabarnya dan sekarang aku berada dalam keadaan seperti ini. ah, rasanya air mata, kekesalan, sakit hati, su’udzon yang terjadi dalam bulan-bulan itu terlihat sangat lebay sekali.

‘makasih ya, sudah datang.’

aku tersenyum lebar. makasih ya mas…sudah memberikan kesempatan padaku untuk bersabar, menabung rindu, setia, menghargai, dan percaya padamu.

#2 juni 2012, ketika ada keinginan ‘itu’, tapi logikaku meminta untuk tidak datang dan menuangkan adegan-adegan itu dalam tumblr.
so pathetic…!