Wednesday, July 18, 2012

Di Hari yang Bertoga Ini 2

Aku menatap punggung mas hasbi menjauh. Tak terasa, lelehan air mata ini mengaburkan pandanganku. Dia pergi. Dia pergi. Tak sekadar pergi ke Temanggung, seperti ketika dia mudik 2 kali sebulan. Tak sekadar pergi untuk mudik satu atau dua hari. Setidaknya aku akan bertemu dia lagi dalam waktu dekat. Tapi, kali ini, dia pergi. Pergi untuk selamanya.

“Maaf, kita sudah tak bisa bersama lagi.”

Itu adalah kata-kata paling sederhana yang menterjemahkan semua yang baru saja dia katakan. Dan ketika itulah air mataku mengalir deras. Dia tega. Dia jahat. Ya, bagaimana dia tega untuk mengatakannya bahkan di depan banyak orang. Demi Tuhan, ini itu di Perempatan Kantor Pos Jogja. Titik Nol. Jantung kota Jogja. Aku konyol karena aku barusan menangis. Dan memang tak ada kuasa aku bisa menahan air mata itu. Tapi dia kejam karena mengatakannya di tengah keramaian seperti ini.

Mungkin, dia takut aku bakal ngamuk kalau kita bertemu di tempat yang private dan tak ada orang. Dasar cowok. Aku teringat dengan bulan-bulan penuh ketidakjelasan dengannya. Teringat dengan dia yang sibuk dengan skripsinya. Teringat dengan aku yang datang di hari wisudanya. Tapi tetap saja, aku yakin dan percaya. Aku memegang komitmen ini. Bagiku, pacaran dengan mas Hasbi adalah satu langkah awal untuk suatu perjalanan yang lebih jauh lagi.

Dan sekarang semuanya berakhir di sini.

Ini tak adil.

Ini tak adil.

Punggung itu menjauh. Menjauh pergi. Meski bekasnya masih ada di hatiku.

Aku segera memacu motorku. Ku pacu hingga kecepatan tertinggi. Terserahlah, aku mau jatuh, kecelakaan, disambar truk pun, aku tak peduli. Bahkan rasanya aku menginginkan itu. Rasa sakit dan kecewa ini memenuhiku. Mataku buram, terututup oleh air mata.

Sayang, aku sampai di kamar dengan selamat. Untung di rumah sepi, tak ada orang. Aku mengurung diri di kamar hari itu. Memuntahkan bergalon-galon air mata, sekaligus mengutuk mas Hasbi berulang kali. Apa yang dia pikirkan sebenarnya?

***

Sudah sebulan sejak hari terburuk dalam sejarah kehidupanku bergulir. Well, sebenarnya aku sudah beberapa kali diputusin cowok, tapi yang ini beda. Aku merasa bahwa mas Hasbi itu jodoh yang sudah dikirimkan oleh Tuhan. Dia yang sempurna—bahkan ketika ku cari kekurangannya pun, semua kelebihannya selalu menutupi kekurangannya.

Ah…sudahlah. Mengingatnya hanya akan membuatku sesak.

Dan begitulah, aku mengisi hari-hariku dengan hal yang baru. Aku mulai bekerja di sekolah, menjadi guru, banyak persiapan untuk melakukan segalanya, banyak kegiatan di sana-sini, hingga aku bahkan tak sempat untuk memikirkannya (lagi). Syukurlah, itu artinya semua doaku tiap malam dikabulkan.

Waktu berlari dengan cepat. Tak terasa, sudah waktunya aku mengenakan toga. Ya, hari ini akan ada prosesi wisuda. Seluruh persiapan sudah dilakukan, kebaya sudah dipesan. Meski ada selempang cum laude melingkar di tubuhku, aku tak pede hari ini. Ada semacam ‘prestige’ tersendiri bagi wisudawan dan wisudawati membawa ‘seseorang’ yang spesial. Dan hari ini tak ada orang yang akan hadir. Ada beberapa sahabat dekat, tapi ‘dia’ yang benar-benar ku harapkan untuk hadir, sepertinya tidak akan hadir.

Detik berlalu dengan cepat.  Prosesi wisuda selesai dengan cepat. Aku buru-buru keluar. Mengenakan high heels, jilbab, dan toga membuatku sesak dan tak nyaman. Tapi aku terkaget-kaget ketika keluar dari pintu gedung. Ada mas Hasbi di sana. Tersenyum. Ke arahku?

Deg!

Jantungku mencelos. Kaget. Aku buru-buru membuang muka. Ah, tidak, aku pasti salah lihat. Itu bukan mas Hasbi. Ngapain juga di sini. Dan kalaupun itu dia, tentu dia tak menungguku. Pasti ada pacar baru.

Aku mempercepat langkahku. Ada bapak, ibuk, mbak, dan adikku sudah menungguku. Pelukan, senyum, tawa, dan foto-foto melupakan sejenak apa yang baru saja terjadi.

“Fa…,” sapa seseorang.

Aku menoleh. Hanya satu orang yang memanggilku dengan panggilan itu. Dan benar, mas Hasbi ada di sana. Tersenyum lebar.

“Selamat, ya,” katanya sambil mengangsurkan rangkaian bunga yang indah, “kamu cantik hari ini…”

Ada rasa tertohok di hatiku. Entah, ada rasa haru, tangis, marah, tapi juga senang. Dia menyapa seluruh orang yang ada di sana. Sementara aku masih shock—tak mampu mengatakan apa-apa.

“Udah ya aku pergi dulu,” katanya kemudian. Dan dia pergi begitu saja.

Aku bingung tapi aku berusaha untuk mengacuhkannya. “Ayo Fa, tak boleh sedih. Dia mungkin hanya ingin memberikan selamat saja. Jangan berpikir yang tidak-tidak,” kataku dalam hati. Aku berusaha melupakan kejadian barusan.

Tiba-tiba, ponselku bergetar pelan. Ada sms masuk.

“Aku datang karena aku masih sayang kamu. Aku tahu aku sudah jahat. Kamu mau kan maafin aku? Bila masih ada kesempatan, aku ingin kita memperbaiki apa yang pernah terjadi di antara kita.”

Setetes air mata jatuh. Dan seketika, aku bingung.

**bersambung**

#ada yg mau ngasih ide buat endingnya?

2 comments:

  1. Seketika aku pun bingung, harus berkomentar apa terhadap tulisan ini:"#ada yg mau ngasih ide buat endingnya?" hehe

    ReplyDelete
  2. ini apa maksudnya ya...hehehe...
    silahkan, ditunggu ide untuk endingnya.
    (sekali lagi ditegaskan bahwa ini adalah fiksi semata, bila ada kesamaan tokoh, keadaan, dan cerita, harap dimaklumi, hehehehe)

    ReplyDelete