Saturday, November 30, 2013

Cerita tentang Uang Logam dan Pasar (Warna-warni Ende Part. 21)


Tahukah kalian, uang logam nominal 100 dan 200 rupiah di Ende itu TIDAK digunakan. Jadi, setiap kali kita melakukan transaksi yang bernominal itu, maka akan dibulatkan ke pecahan 500 rupiah.

Sumber Gambar
Pertama kali saya kaget sekali, karena saya belum pernah bertransaksi sama sekali dengan menggunakan uang pecahan itu (bahkan hingga tulisan ini saya posting). Maksudnya, saya selama ini menggunakan uang pecahan 1000, 2000, 5000, 10000, 20000 dan 50000 (bahkan tidak juga menggunakan nominal 500). Dan berdasarkan informasi dari teman saya—yang saya lupa siapa, ternyata pecahan 100 dan 200 itu tidak ada. Meskipun ada pecahan 200 dan 100 dengan nominal 500, tetap pedagang tidak mau menerima. Mereka hanya mau menerima pecahan 500 saja. Makanya, hampir semua harga di sini dipatok dengan harga 1000 atau 5000 atau 10000, dsb. Misalnya, harga permen 1000 dapat 3 biji. Harga 3 ikat sayur selada adalah 5000. Harga 1 ekor ayam adalah 60000. Harga 5 ekor ikan adalah 10000. Jadi, kalau mau beli sayur selada satu ikat ya tidak boleh, mau beli ayam hanya paha atau dadanya saja ya tidak boleh, mau beli ikan 1 ekor dengan harga 2000 ya tidak boleh.

Begitulah...
Tapi tenang saja kok, mengeluarkan uang di kota itu tidak seterasa ketika mengeluarkan uang di bukit atau di Bantul. Mengeluarkan uang 10000 di Bantul itu rasanya lebih eman-eman dibandingkan di sini, wkwkwkw. Pengaruh ketersediaan dana juga kan ya, hehehe...

Selain uang logam, saya ingin menceritakan keunikan dari daerah ini, terutama pasarnya. Saya sih baru menjumpai satu pasar saja, yaitu Pasar Bongawani di Ende Selatan. Pasalnya, hanya pasar inilah yang mampu ditempuh dengan jalan kaki dari kontrakan tercinta kami. Jadi, tempat inilah yang saya tuju untuk membeli kebutuhan ketika berada di kota.

Pasar Bongawani menyediakan apa saja. Benar-benar apa saja. Kalau dibandingkan, dengan pasar Bantul mungkin sama lah. Saking ramainya, di lorong-lorong jalan sampai penuh dengan orang. Kadang ojek pun menerabas hingga menutup jalan. Kadang, kalau habis habis hujan, jalan akan menjadi becek dan bikin ih banget... *sok kota, hahahay

Salah satu keunikan di pasar ini yang saya coba bandingkan dengan pasar di Bantul adalah bahwa pasar di sini itu tidak menggunakan satuan berat dalam bertransaksi. Maksudnya adalah untuk menjual dagangannya, para penjual tidak menggunakan timbangan. Misalnya, cabai tidak dijual dalam satuan kilogram seperti di pasar Bantul, tetapi menggunakan gelas. Gelas besar berisi cabai harganya 20000, gelas sedang 10000, dan gelas kecil 5000. Tomatpun juga demikian, satu kelompok tomat berisi 5-6 butir dijual 5000. Untuk sayur biasanya menggunakan ikat, misalnya bayam 2 ikat 5000, kangkung 3 ikat 5000. Untuk buah, terkadang menggunakan jumlahnya, misalnya terong 5000 dapat 3, mangga 10000 dapat 3, dsb. Pernah saya beli kubis dijual 10000 (beratnya sekitar 1 kg lebih) saya tawar dapet 8000. Beberapa bahan pokok tetap menggunakan satuan kilogram, misalnya bawang merah bawang putih, beras, gula, tepung, dsb.

Saya sih terkadang merasakan pemborosan dengan cara ini. Maksudnya, ketika saya dulu di rumah, biasanya mau beli sayur buat bikin sop, maka tinggal bayar 5000 saja sudah komplit kubis, daun bawang, wortel, seledri, dan buncis. Murah kan. Mau beli bawang merah bawang putih 10000 maka sudah dibungkuskan. Tidak perlu beli ini berapa rupiah, itu berapa rupiah, dsb. Boros.

Mungkin hal itu juga dipengaruhi oleh adat dan tradisi makan di tempat ini. Well, untuk bagian ini akan saya posting lain kali saja.

Meskipun kebiasaan di sini beda dengan daerah asal saya, tapi tetep harus dinikmati. Toh, berkat saya ikut program ini, saya jadi belajar manajemen rumah tangga alias pengeluaran pribadi, wkwkwk. Saya juga jadi tahu harga-harga barang di pasar karena satu bulan sekali pasti ke pasar. Saya jadi tahu lorong-lorong pasar Bongawani. Saya jadi punya toko langganan, punya orang malang yang gayanya gemulai, wkwkwk. Saya juga jadi tahu, bahwa lebih murah membeli tahu di pabriknya daripada di pasar. Saya juga jadi tahu, bahwa ikan ini pantasnya seharga 10000 atau 15000. Well...saya yakin, apa yang saya dapatkan ini akan berguna suatu hari nanti, ketika sudah kembali ke kampung halaman ^^

#satu tahun untuk selamanya, puncak nakawara, 18 November 2013.

No comments:

Post a Comment