Monday, December 30, 2013

Cooking with My Family Edisi Natal H-1 (Warna-warni Ende Part. 29)

Akhirnya, semua tart yang kemarin dibuat habis dalam hitungan jam, tidak jadi buat natal.
Akhirnya, rencananya mau bikin lagi buat nanti malam.
Akhirnya, karena suatu hal, jadi gagal, tapi malah beli ayam.
Akhirnya, saya memotong 3 ekor ayam dalam dua hari.
Akhirnya, saya makan ayam selama 2 hari berturut-turut.
Sebagai seorang penggemar ayam (banget), benar-benar nikmat (banget), hehehe...

Ceritanya, Mama menyuruh saya memotong ayam. Seekor ayam kampung kurus kami potong. Mama membuatnya dengan santan. Khas Ende. Tapi enak...apalagi kalau dipotong sendiri, lebih nyuss kan, hehehe...

Sorenya, Mama membeli ayam pedaging dan kami pun potong ayam di jam 8 malam. Tambah lagi seekor ayam milik Mama Rina, ayam jago buesar sekali. Ayam pedagingnya langsung selesai. Ayam jagonya, uhukkk, butuh perjuangan ekstra. Apalagi pisaunya kecil -_-.

Sumber Gambar

Sebenarnya, mengolah ayam, mulai dari memotong, mencabut bulu, hingga matang itu belum pernah saya lakukan. Saya agak ngik ngik kalau mau bersentuhan dengan ayam mati. Tapi, hari itu, saya cabut juga bulunya (fyi, bukan pengalaman pertama). Lalu, bikin bumbu sementara Mama memotong-motongnya. Heeemmm...potongnya acak nggak seperti Ibuk di rumah. (miss you Mom :*)

Dan akhirnya, acara masak malam itu selesai jam 10 malam, bertepatan dengan kepulangan keluarga lainnya yang pergi misa. Saya bikin Ayam Goreng Tepung (begitu dicoba, enak juga, tapi masih bau ayam mati, bikin ngik ngik -_-). Saya makan (lagi)—bukan dengan ayam, tapi sayur nangka, ayamnya disimpan untuk besok. Lalu tidur. Hari itu saya tidur terlambat, tidak bisa tidur (lagi).

#satu tahun untuk selamanya, 24 Desember 2013, Christmas Eve

Cooking with My Family Edisi Natal H-2 (Warna-warni Ende Part. 28)


Liburan kali ini, saya stay di bukit selama beberapa hari. Saya natal di sini. Well, agak rikuh juga karena saya kan muslim. Kata Mas Aziz, niatnya difokuskan untuk ‘menghormati’. Sudah itu saja. Jadi, begitulah, niatnya hanya sebatas itu.

Hari-hari pertama liburan saya geje di kamar. Niat awalnya tentu saja adalah mengerjakan semua administrasi kelas selama semester 1. Jadilah, saya mulai membabat silabus, RPP, prota, promes, dan juga semua kawan-kawannya. Boring. Serasa kembali ke rumah, tapi berbeda kondisi. Jadi kangen rumah; menikmati di dalam kamar sambil ngemil oishi dengan satu gelas goodday coolin panas, nikmat...

Lalu, H-2 natal, saya pun memasak.
Yap, saya memasak tart natal bersama dengan keluarga saya. Agak lebay, karena ini hanyalah roti biasa saja, roti paling sederhana tanpa topping dan campuran apapun. Well, saya memang berencana untuk membuat roti yang sederhana, supaya ketika orang-orang di sini praktik, maka tidak terlalu sulit dan makan biaya banyak. Kemarin, Mama turun Ende dan belanja untuk roti ini sampai habis 50ribu lebih. Makanya, saya bertekad untuk membuat tart yang oke punya.

Bahan-bahannya cukup sederhana saja, 4 butir telur, ovalet satu sendok, gula pasir satu gelas, tepung terigu 3 gelas, margarin 200 gram (sekitar 4 sendok) dilelehkan, vanili bubuk, dan coklat bubuk satu sendok saja. Resep ini saya sarikan dari beberapa sumber—memang tanpa takaran pasti sih. Cara membuatnya mudah. Alhamdulillah dapat pinjaman mixer dari Ibu Astin. Kami mulai memasak. Dan harus saya katakan, pada sesi pertama kami gagal. Kegagalannya disebabkan oleh, ovalet yang hanya satu sendok kecil, telur hanya 4 butir, dan tepung terigu yang terlalu banyak. Meski masih bisa dimakan, tapi lebih mirip brownies yang tidak pakai coklat. Ditambah lagi, loyangnya bueeeeesssar sekali, alhasil terlihat kecil sekali.

Lalu, pada sesi kedua, saya pun membuat banyak perubahan. Saya memasukkan 6 telur, ovalet banyak, dan mengurangi terigu. Saya juga memasukkan semua coklat yang tersedia.

Baiklah, beginilah cara memasaknya.
Pertama, margarin/mentega dilelehkan terlebih dahulu. Oles loyang dengan margarin/mentega. Panaskan dandang. Setelah itu, kocok telur dengan ovalet hingga mengembang. Setelah hampir berwarna putih, masukkan gula pasir, kocok terus sampai berwarna putih. Setelah itu, kecilkan mixer dan masukkan tepung terigu, tambahkan sedikit vanili. Masukkan tepung terigu sedikit demi sedikit agar tercampur rata dan tidak terlalu banyak (kalau sudah terlalu kental, harus di-stop). Terakhir, beri coklat bubuk. Campur rata, masukkan ke dalam loyang, lalu kukus selama 20 menit. Ohya, jangan lupa tutup dandang diberi kain lap agar uap yang menetes tidak sampai mengenai roti sehingga jadi jelek—semacam ada kawahnya.


Dan akhirnya, jadilah tart sederhana dengan rasa coklat ^^. Saya sebut saja Tart Coklat Natal.

Ohya, bahan-bahannya memang sederhana sekali, justru yang paling urgen dalam membuat kue/roti. Setelah ini, nanti bisa diberi aneka topping sesuai selera, misalnya coklat diganti kopi, ditambah kismis, ditambah meses, ditambah coklat blok, diberi ganache, diberi krim, dan sebagainya. Hanya saja, agar tidak terlalu kelihatan sulit, maka saya buat yang paling simpel ^^

Setelah tart yang sukses itu, saya masih memasak 2 sesi lagi untuk Kak Marta dan Kak Calita. Alhamdulillah sukses besar. Semuanya ‘terlihat’ enak—meski saya tidak nyicip. Tapi, semua orang yang memakannya sepakat: enak sekali. alhamdulillah ^^

Ada beberapa poin yang harus digarisbawahi kalau mau memasak di sini. Pertama, harus menyesuaikan dengan kondisi, terutama peralatan yang seadanya. Saya agak shock melihat ukuran loyang yang besar, sehingga ada kekhawatiran tart yang dibuat menjadi terlihat ‘mini’ (dan memang demikian). Peralatan yang sederhana itu juga membuat pengukuran resep yang sudah paten harus dikira-kira agar hasilnya tetap enak—saya agak galau menakar tepung dan gula, untungnya tidak terlalu manis ataupun terlalu encer. Sudah pas. Kedua, jangan membuat terlalu sulit, maksudnya baik dari bahan ataupun variasinya. Yang biasa dan simpel saja, paling mudah.
Satu tambahan lagi, kalau memasak roti itu, bukan tepung terigu yang terpenting, melainkan telur dan ovalet.

Begitulah, pengalaman kesekian kalinya saya memasak di dapur Ende. Saya sebenarnya berniat ingin membuat cake talas, tapi kata Mama tidak usah, akhirnya ya sudah membuat cake sederhana. Kapan hari lagi saya buat cake talas, lalu biar Mama dan Bapak mencoba dan kami praktik lagi.

Well, postingan saya memang aneh. Yap, saya memang aneh. Bukan karena kurang kerjaan, lebih pada keinginan untuk menulis saja. Menulis. Apapun. Karena apa yang sudah ditulis, saat itu, tidak akan bisa terhapus kecuali dihapus. *tambah ngaco....

#satu tahun untuk selamanya.
23 Desember 2013, @bukit Ratenusa

Homesick

Rasanya sesak, tidak tahu harus berbuat apa
Mau keluar salah, tetap di dalam pun rikuh
Perut melilit, mengejan
Sebentar-sebentar, menengok layar ponsel yang tidak bersinyal
Lalu tangis meleleh dengan deras
Rindu...adalah kata yang tepat untuk semua kegalauan ini
Rindu dengan Bapak, Ibuk, dan semuanya
Rindu dengan obrolan, tawa, dan kebebasan
Dinding ini seperti penjara yang mengukungku
Pulau ini seperti rumah yang mengunciku rapat
Tiada jalan keluar
Hanya bertahan
11 bulan lamanya...terhitung masih 8 bulan lamanya
Hanya bertahan
Menahan kepenatan, kegejean, kebosanan, dan semua denting yang ada dalam kamar kayu
Melapangkan hati untuk semua ketidaknyamanan ini
Segalanya akan segera berakhir, pasti
Demi bangsa, ku rela berkorban
Terkadang, retorika itu tetap menguatkanku
Iya, demi bangsa, ku rela berjuang
Bersabar...
Karena Alloh tetap di sampingku!

Sunday, December 29, 2013

Hujan dan Perjalanan ke Worombera (Warna-warni Ende Part. 27)

Musim hujan datang. Sehari-hari basah...
Musim hujan datang bersamaan dengan datangnya akhir semester. Akhir semester berarti, penerimaan dan pembagian raport. Tahun ini, sama seperti tahun lalu, saya diharuskan untuk mengisi raport. Yap, tahun lalu saya menjadi wali kelas di I Kreatif—pengalaman yang wow banget, apalagi raport pertama, wah...amazing banget. Tahun ini, saya sudah lebih siap. Jauh-jauh hari sudah menghitung semua nilai tugas, nilai ulangan, dan sebagainya. Istilahnya, tinggal tunggu nilai UAS saja. Tapi, ada yang beda juga dengan tahun lalu, yaitu tahun ini saya membuat raport secara manual alias dengan tangan. Tahun lalu, saya membuatnya sudah otomatis di komputer lewat excel, jadi tinggal ketik-ketik-ketik, print, susun, sudah jadi. Praktis. Heemmm...dan beginilah sekarang, menulis dengan tinta ^^

Menulis Rapot
Tapi, ada satu hal lagi yang belum bisa diisikan dalam raport saya, yaitu belum ada KKM atau Kriteria Ketuntasan Minimal. Tahun-tahun sebelumnya, di Worombera, SD induk, pun belum punya KKM. Nah, kami pun, tiga SD (Worombera, Nakawara, dan Kekajodho—entah ini nulisnya bener tidak :p) berencana untuk bersama-sama menentukan KKM, yaitu pada hari Rabu kemarin.

SD Worombera letaknya 5 km dari dusun Ratenusa. Bersama dengan 3 orang guru lainnya, saya berangkat. Jalan kaki. Weiits...jangan disamakan perjalanan 5 km yang mulus dengan jalan aspal. Jalan yang kami lewati berkelok-kelok menyusuri tepian bukit, di samping jurang, sudah begitu becek, licin, dan harus ekstra hati-hati agar tidak (sengaja) terpelenting ke jurang, wkwkwk. Sebenarnya, kalau mau pakai flying fox itu cepat sekali, lho dari SD Worombera, karena SD itu terlihat dari dusun kami. Yaaaaahhh...hanya beda bukit saja lah :p, wkwkwkw...seadainya saya spiderman, sudah langsung loncat nih... Tapi, realitanya, kami pun jalan.... Semangat!! ^^

Long march long march adalah jalan jauh
Yang harus kita tempuh dengan semangat satria
Naik gunung turun gunung tiada mengenal lelah
Kaki lecet sepatu diseret tenggorokan haus dahaga
Siap untuk mengabdi
(OST. From Edisi AAU)

Selama perjalanan kami, lagu itu terus terngiang. Yah...setidaknya bikin semangat :p.
Selama di jalan, kami berpapasan dengan beberapa orang yang hendak pergi kebun. Jalan becek karena hujan. Setengah jam kemudian kami sampai. Capek. Panas. Berkeringat. Nafas habis. Dari jalan utama kami mengambil jalan pintas lewat gereja Worombera, artinya, mendaki setapak dengan kemiringan hampir 400 (hanya perkiraan, kan saya tidak bawa busur derajat :p).
Akhirnya kami sampai....Alhamdulillah...

Acara dimulai. Semacam kuliah evaluasi pembelajaran. Saya sempat dites lisan—untungnya bisa menjawab, tidak malu-maluin :p. Kemudian kerja KKM. Break sebentar makan siang dengan menu istimewa—tumis daun singkong, sayur bening bayam, telur rebus. Lanjut kerja KKM lagi, obrolan ringan, dan acara ditutup pada pukul 14.30 WITA.

Hujan menyambut...

Kami menunggu hujan agak reda, baru turun pulang. Sampai di gereja, hujan lebat. Kami berhenti di gereja. Gereja Worombera terbilang bangunan yang sangat besar di daerah itu—meski kalau saya amati, hampir seukuran dengan gereja Pijenan. Bangunannya belum jadi, baru pondasi dengan atap saja, serta bagian podium. Belum ada kursi, jendela, dinding, dsb. Kami berteduh selama setengah jam. Dari gereja, kalau cuaca cerah, saya yakin pemandangan yang terlihat pasti bagus sekali. Sebab, gereja ini berada di salah satu puncak, sehingga deretan pegunungan lainnya pun terlihat di sejauh mata memandang. Jajaran pegunungan di balik bukit Ratenusa dan Nakawara pun terlihat. Wah, saya salah besar kalau bilang puncak tertinggi itu di Nakawara, karena deretan pegunungan di baliknya terlihat menjulang tinggi. Ratenusa terlihat pendek. Sayang, kabut menutup semuanya. Kami hanya bisa melihat hujan dan kabut serta siluet pegunungan dari kejauhan.

Hujan tidak kunjung berhenti. Kami pun berlari ke rumah Ibu Len, Ibu Kepsek. Kami singgah untuk berteduh dan minum kopi—khusus saya adalah teh  ^^. Hangat...nikmat...baju saya sudah basah. Dingin.

10 menit kemudian hujan berhenti. Kami berjalan pulang. Selama perjalanan, saya dikagetkan oleh sesosok makhluk yang sering dijumpai di Jawa dengan ukuran yang lebih nano—cacing tanah. Tapi, jangan menjerit, karena cacing tanah di sini, ukurannya XLLLL—ekstra looooonnnng dan big. Benar-benar mirip ular sawah. Seukuran jari telunjuk manusia dewasa.

Cacing Tanah Ekstra Long

Saya tidak menjerit. Hanya geli dan jijik.
Kata Pak Al, ukurannya bisa berbeda karena struktur tanahnya berbeda. Pak Al memungut cacing-cacing itu untuk dijadikan umpan memancing belut di kali. Jangan bayangkan belut di Jawa yang seukuran jari telunjuk itu, ya. Ukuran belut pun XLLLL di sini, seukuran jari jempol kaki dewasa. Mirip ular dewasa. Tapi, dagingnya, super enak sekali, mirip daging lele. Saya pernah makan, dibuat mangut, dan rasanya memang mirip mangut lele. Pasti Bapak suka sekali ini *kangen Bapak... :*

Kami sampai di rumah jam 5 sore dalam keadaan basah, capek, dan kaki berlumuran lumpur dan tanah liat. Tidak apa-apa, pengalaman hari ini super sekali ^^.

#Satu tahun untuk selamanya.
20 Desember 2013

Saturday, December 14, 2013

Ku Panggil Dia Pussy (Warna-warni Ende Part. 26)


Ada teman baru di rumah. Dia sudah bersama dengan kami sejak satu minggu yang lalu. Dia adalah seekor kucing.

Honestly, saya itu paling takut dengan yang namanya kucing. Entah takut apanya. Apakah taringnya, cakarnya, isi dalam telinganya yang bikin jijik, atau karena virus toksoplasma yang ada di bulunya. Yang jelas, saya tidak mau dekat-dekat dengan kucing. Itu sudah terjadi sejak saya masih kecil. Jadi, di rumah itu tidak ada yang namanya hewan peliharan. Kalau ada kucing mendekat, saya lantas memasang tampang ngeri dan takut. Yap...saya tidak suka kucing!

Tapi, si kucing tiba-tiba ada di rumah saya ini—di Ende. Seekor kucing belang kuning-hitan-putih menyambut saya saat saya dari kota tempo hari. Bapak bilang, kucing ini untuk mengusir tikus yang ada di rumah. FYI, tikus di sini ukurannya tidak seperti tikus di Bantul yang segedhe kucing—hasilnya, si kucing malah takut dengan si tikus, wkwkwk. Tikus di sini masih kecil-kecil.

Comot dari Internet di Sini
Ketika kali pertama dia mendekati saya, saya harus benar-benar menahan diri untuk tidak menjerit. Dia menggelendot manja di kaki saya, saya coba menahan diri agar tidak menendangnya. Saya menahan diri supaya tidak dipandang aneh oleh keluarga saya. Nggak lucu juga kan, saya sudah takut anjing, eh takut kucing juga -_- . Ah...saya memang takut. Tapi, pada akhirnya saya pun mulai terbiasa dengan si kucing yang mengelus kaki saya, bermain di seputar kaki saya, dsb.

Dan memang, sejak ada si kucing, jarang sekali ada suara tikus di sini.

Dan saya harus akui, di sini, saya tidak terlalu takut kucing. Mungkin hal ini disebabkan oleh ketiadaan hewan itu di sekitar saya selama 3 bulan, karena mayoritas di sini adalah anjing. Jadi, jika harus memilih hewan mana yang masuk rumah, jelas saya lebih memilih kucing.

Saya pun memanggil si kucing dengan sebutan Pussy ^^

#Satu tahun untuk selamanya, 8 November 2013

Cooking with Children (Warna-warni Ende Part. 25)


Praktik pendidikan di Ende dengan tempat kelahiran saya itu berbeda. Di Bantul, ujian semester diadakan selama hampir 2 minggu. Untuk SD saya dulu, ujian tertulis dilaksanakan dalam hari-hari pertama ujian, lanjut ujian praktik di akhir minggu, barulah ujian diniyah setelahnya. Berbeda dengan praktik di sini. Ujian praktik dilaksanakan satu minggu sebelum ujian tertulis—atau yang pernah disebut juga dengan minggu tenang. Jadi, tidak ada KBM, hanya ujian begitu saja.

Untuk ujian praktik tidak terlalu beda dengan di Bantul. Kami ujian praktik Bahasa Indonesia, SBK, Penjaskes, Agama Katolik, dan Mulok. Mulok inilah yang paling saya tunggu-tunggu. Mengapa? Karena di hari itu saya akan memasak.

Sumber Gambar
Okelah, saya kan cukup hobi memasak. Maksud saya, saya sudah menghabiskan masa-masa terdahulu saya dengan menonton acara memasak. Mulai dari gula-gula, dapur kita, selera nusantara, dan aneka acara TV yang bertema memasak. Saya juga suka membaca majalah memasak, melihat gambar-gambar masakan, dan sambil membayangkan saya membuat masakan seperti ini. Hanya saja, karena keterbatasan bahan dan alat masak, saya pun jarang praktiknya. Meski, untuk urusan memasak, saya lebih jago dibandingkan kakak perempuan saya, wkwkwwkk... :P

Tapi sejak di sini, saya memiliki sense yang berbeda soal memasak. Maksud saya, agak sulit memasak di dapur orang lain. Saya amati, memang, ketika saya memasak di dapur lain, selalu terlihat kikuk dan hasilnya tidak seyahud ketika di dapur sendiri. Hasilnya, beberapa masakan saya gagal di sini. Misalnya, bikin sayur yang keasinan, onde yang belum masak dalamnya, ikan yang aneh, dsb....Makanya saya agak deg-degan ketika ada praktik memasak.

Berdasarkan kesepakatan dengan Ibu Astin, kami pun berencana untuk membuat nasi kuning. Awalnya kami mau buat Onde, tapi kelas 2 bilang, mereka sudah mau bikin Onde. Kami pun mengalah (FYI, akhirnya, kelas 2 ikut-ikutan bikin nasi kuning -____- saya agak dongkol tapi ya sudahlah). Berita buruknya, saya belum pernah bikin nasi kuning. Pokoknya, makanan yang berhubungan dengan nasi itu saya tidak mau dekat-dekat. Alasannya simpel, takut gosong dan tidak masak. Karena nasi itu urgen, kalau nasi tidak enak tapi lauknya enak pasti tetap enak. Tapi, kalau nasi masak tapi lauk tidak enak, tidak terlalu masalah juga.

H-3 anak Ibu Asti sakit. Saya mulai bingung. Ibu Astin turun ke kota.

Hari H, Ibu Astin tidak berangkat. Saya grogi. Seadanya saja, saya memasak nasi kuning itu. Dengan panduan singkat dari Ibu Emi dan Ibu Herlin, saya memasak bersama kesembilan anak di kelas. Memasaknya memang mudah, menyalakan apinyalah yang setengah mati. Soalnya anak-anak bawa kayu api yang beberapa masih basah dan susah menyala. Memasak yang maksimal hanya butuh waktu 2 jam, kali ini sampai jam setengah 12 baru matang. Itupun, masak ada sesi kedua nasi kuning yang belum matang.

Anak-anak Sibuk Menyalakan Api...Bullll!!! Asep tok...
Alhamdulillah, untuk produk pertama, saya merasa tidak terlalu gagal. Wangi daun pandan dan gurihnya santan tetap terasa. Rasanya tetap enak kok, meski telur dadar yang kami buat juga terlalu asin.

Sayang, saya tidak sempat menfoto selama kegiatan. Makhlumlah, saya sendiri bersama 9 orang anak yang sama bingungnya dengan saya. Jadi, saya tidak ada waktu untuk pegang ponsel ataupun menfoto. Hanya satu jepreten saja.

Lain kali, di akhir semester mendatang, saya mau memasak apa yang sudah saya bisa saja, misalnya nasi goreng spesial, tart ubi, dan sebagainya. Pokoknya, yang saya tidak bisa, saya tidak mau... ^^

#Satu tahun untuk selamanya, 8 November 2013.

Selembar Daun Pisang (Warna-warni Ende Part. 24)


Hujan datang setiap hari. Desember benar-benar menjadi hari yang basah. Bahkan ketika saya turun tempo hari, setiap hari basah. Beruntung, pada hari dimana saya harus naik, mendadak langit cerah. Dan saya pun bisa naik hari itu. Alhamdulillah...Alloh benar-benar memberikan waktu yang tepat ^^

Daun Pisang untuk Menutup Baju Bersih
Beberapa hari ini, bukit mulai dipenuhi kabut. Kabut yang turun saat hujan turun. Pagi, siang, sore, malam, sering sekali ada kabut. Anehnya, kabut itu tidak terasa dingin seperti kabut-kabut yang ada di Jawa. Misalnya, ketika kapan hari saya menjelajah Dieng dan Wonosobo, ternyata cukup banyak kabut yang berhawa dingin. Magelang pun juga demikian. Bahkan, Bantul yang jarang berkabut, ada kalanya satu atau dua kali saat pagi-pagi jam 6 begitu, ada kabut yang hawanya dingin. Tapi di sini, kabut tidak dingin. Suhunya nyaris seperti biasanya. Hangat dan tidak dingin. Mereka juga datang dan pergi dengan cepat. Misalnya, sekarang berkabut, tapi 5 menit kemudian sudah tidak. Entah apa penyebabnya.

Satu keunikan lainnya dari bukit ini adalah adanya kali dadakan di dekat sekolah. Kali itu hanya mengalir saat hujan deras. Jadi, sudah beberapa hari ini air di situ mengalir. Penduduk pun memanfaatkannya untuk cuci dan mandi.

Hari ini saya berkesempatan untuk jalan-jalan mengunjungi si kali bersama Fario. Baru sekitar 50 meter dari rumah, hujan turun. Bersama tiga orang anak, salah satunya Fario, dengan Hedwin dan entah lupa siapa yang satunya. Mereka berbondong-bondong mencarikan daun pisang biar saya tidak kehujanan. Jadi payung begitu. Dan karena tidak ada yang bawa parang, mereka menggunakan jepit rambut salah satu anak. Saya yang memotongnya. Dan tadadadaaaaaa payung alami pun berhasil dipotong.

Mereka dengan polos menyerahkan daun pisang itu dan memilih untuk kehujanan—memberikannya pada saya. So switt...

Anak-anak Cuci dan Mandi di Kali

Kami pun melanjutkan perjalanan. Sampai di kali, mereka lantas cuci dan mandi. Air terlihat keruh, sama sekali tidak jernih. Pengaruh tanah ikut terbawa sehingga warnanya keruh. Mereka dengan polos menanyai saya kenapa tidak mandi. Saya jawab, saya mandi di kakus. Tidak biasa saja untuk mandi di kali terbuka begitu, hehe...

Eh, ternyata sampai di sana, si sinyal mampir. Jadilah selama 20 menit mereka beraktivitas, saya pun asyik ber-SMS, membalas beberapa SMS yang baru masuk. Selepas mereka selesai kami pulang. Saya agak takut nanti Bapak dan Mama marah karena saya hujan-hujanan, hehe...

Begitulah hari itu...Saya memahami kesederhanaan mereka. Mandi dan cuci di kali... ^^
Hari yang menyenangkan, bukan? Rencananya saya mau goreng ubi talas habis ini. Nikmat sekali...hujan-hujan sambil ngemil yang panas-panas ^^

#Satu Tahun untuk Selamanya

Sunday, December 1, 2013

Lagu untuk yang Rindu Rumah (Warna-warni Ende Part.23)

Another summer day
Has come and gone away
In Paris and Rome
But I wanna go home, mmm
May be surrounded by
A million people I
Still feel all alone
I just wanna go home
Oh, I miss you, you know
And I've been keeping all the letters
That I wrote to you
Each one a line or two
I'm fine baby, how are you?
Well I would send them but I know
That it's just not enough
My words were cold and flat
And you deserve more than that
Another aeroplane
Another sunny place
I'm lucky I know
But I wanna go home
Mmm, I got to go home
Let me go home
I'm just too far
From where you are
I wanna come home
And I feel just like
I'm living someone else's life
It's like I just stepped outside
When everything was going right
And I know just why you could not
Come along with me
That this was not your dream
But you always believed in me
Another winter day
Has come and gone away
In even Paris and Rome
And I wanna go home
Let me go home
And I'm surrounded by
A million people I
I still feel alone
Oh, let me go home
Oh, I miss you, you know
Let me go home
I've had my run
Baby, I'm done
I gotta go home
Let me go home
It'll all be all right
I'll be home tonight
I'm coming back home

Capturing Ende Part. 3

Jajaran Rumah di Nakawara

Mama dan Sirih Pinang

Mendaki Setelah Mencuci di Kali

Naju, Kumbang yang Ditangkap Oppo

Pemandangan dari Puncank Ratenusa, Kampungku. Di Kejauhan Tampak Gunung Ia, Gunung Meja, Kota Ende, Laut Sawu

Pemandangan Dermaga Ende saat Hujan di Pagi Hari