Sunday, December 29, 2013

Hujan dan Perjalanan ke Worombera (Warna-warni Ende Part. 27)

Musim hujan datang. Sehari-hari basah...
Musim hujan datang bersamaan dengan datangnya akhir semester. Akhir semester berarti, penerimaan dan pembagian raport. Tahun ini, sama seperti tahun lalu, saya diharuskan untuk mengisi raport. Yap, tahun lalu saya menjadi wali kelas di I Kreatif—pengalaman yang wow banget, apalagi raport pertama, wah...amazing banget. Tahun ini, saya sudah lebih siap. Jauh-jauh hari sudah menghitung semua nilai tugas, nilai ulangan, dan sebagainya. Istilahnya, tinggal tunggu nilai UAS saja. Tapi, ada yang beda juga dengan tahun lalu, yaitu tahun ini saya membuat raport secara manual alias dengan tangan. Tahun lalu, saya membuatnya sudah otomatis di komputer lewat excel, jadi tinggal ketik-ketik-ketik, print, susun, sudah jadi. Praktis. Heemmm...dan beginilah sekarang, menulis dengan tinta ^^

Menulis Rapot
Tapi, ada satu hal lagi yang belum bisa diisikan dalam raport saya, yaitu belum ada KKM atau Kriteria Ketuntasan Minimal. Tahun-tahun sebelumnya, di Worombera, SD induk, pun belum punya KKM. Nah, kami pun, tiga SD (Worombera, Nakawara, dan Kekajodho—entah ini nulisnya bener tidak :p) berencana untuk bersama-sama menentukan KKM, yaitu pada hari Rabu kemarin.

SD Worombera letaknya 5 km dari dusun Ratenusa. Bersama dengan 3 orang guru lainnya, saya berangkat. Jalan kaki. Weiits...jangan disamakan perjalanan 5 km yang mulus dengan jalan aspal. Jalan yang kami lewati berkelok-kelok menyusuri tepian bukit, di samping jurang, sudah begitu becek, licin, dan harus ekstra hati-hati agar tidak (sengaja) terpelenting ke jurang, wkwkwk. Sebenarnya, kalau mau pakai flying fox itu cepat sekali, lho dari SD Worombera, karena SD itu terlihat dari dusun kami. Yaaaaahhh...hanya beda bukit saja lah :p, wkwkwkw...seadainya saya spiderman, sudah langsung loncat nih... Tapi, realitanya, kami pun jalan.... Semangat!! ^^

Long march long march adalah jalan jauh
Yang harus kita tempuh dengan semangat satria
Naik gunung turun gunung tiada mengenal lelah
Kaki lecet sepatu diseret tenggorokan haus dahaga
Siap untuk mengabdi
(OST. From Edisi AAU)

Selama perjalanan kami, lagu itu terus terngiang. Yah...setidaknya bikin semangat :p.
Selama di jalan, kami berpapasan dengan beberapa orang yang hendak pergi kebun. Jalan becek karena hujan. Setengah jam kemudian kami sampai. Capek. Panas. Berkeringat. Nafas habis. Dari jalan utama kami mengambil jalan pintas lewat gereja Worombera, artinya, mendaki setapak dengan kemiringan hampir 400 (hanya perkiraan, kan saya tidak bawa busur derajat :p).
Akhirnya kami sampai....Alhamdulillah...

Acara dimulai. Semacam kuliah evaluasi pembelajaran. Saya sempat dites lisan—untungnya bisa menjawab, tidak malu-maluin :p. Kemudian kerja KKM. Break sebentar makan siang dengan menu istimewa—tumis daun singkong, sayur bening bayam, telur rebus. Lanjut kerja KKM lagi, obrolan ringan, dan acara ditutup pada pukul 14.30 WITA.

Hujan menyambut...

Kami menunggu hujan agak reda, baru turun pulang. Sampai di gereja, hujan lebat. Kami berhenti di gereja. Gereja Worombera terbilang bangunan yang sangat besar di daerah itu—meski kalau saya amati, hampir seukuran dengan gereja Pijenan. Bangunannya belum jadi, baru pondasi dengan atap saja, serta bagian podium. Belum ada kursi, jendela, dinding, dsb. Kami berteduh selama setengah jam. Dari gereja, kalau cuaca cerah, saya yakin pemandangan yang terlihat pasti bagus sekali. Sebab, gereja ini berada di salah satu puncak, sehingga deretan pegunungan lainnya pun terlihat di sejauh mata memandang. Jajaran pegunungan di balik bukit Ratenusa dan Nakawara pun terlihat. Wah, saya salah besar kalau bilang puncak tertinggi itu di Nakawara, karena deretan pegunungan di baliknya terlihat menjulang tinggi. Ratenusa terlihat pendek. Sayang, kabut menutup semuanya. Kami hanya bisa melihat hujan dan kabut serta siluet pegunungan dari kejauhan.

Hujan tidak kunjung berhenti. Kami pun berlari ke rumah Ibu Len, Ibu Kepsek. Kami singgah untuk berteduh dan minum kopi—khusus saya adalah teh  ^^. Hangat...nikmat...baju saya sudah basah. Dingin.

10 menit kemudian hujan berhenti. Kami berjalan pulang. Selama perjalanan, saya dikagetkan oleh sesosok makhluk yang sering dijumpai di Jawa dengan ukuran yang lebih nano—cacing tanah. Tapi, jangan menjerit, karena cacing tanah di sini, ukurannya XLLLL—ekstra looooonnnng dan big. Benar-benar mirip ular sawah. Seukuran jari telunjuk manusia dewasa.

Cacing Tanah Ekstra Long

Saya tidak menjerit. Hanya geli dan jijik.
Kata Pak Al, ukurannya bisa berbeda karena struktur tanahnya berbeda. Pak Al memungut cacing-cacing itu untuk dijadikan umpan memancing belut di kali. Jangan bayangkan belut di Jawa yang seukuran jari telunjuk itu, ya. Ukuran belut pun XLLLL di sini, seukuran jari jempol kaki dewasa. Mirip ular dewasa. Tapi, dagingnya, super enak sekali, mirip daging lele. Saya pernah makan, dibuat mangut, dan rasanya memang mirip mangut lele. Pasti Bapak suka sekali ini *kangen Bapak... :*

Kami sampai di rumah jam 5 sore dalam keadaan basah, capek, dan kaki berlumuran lumpur dan tanah liat. Tidak apa-apa, pengalaman hari ini super sekali ^^.

#Satu tahun untuk selamanya.
20 Desember 2013

No comments:

Post a Comment