Monday, July 14, 2014

Setelah Satu Tahun Berlalu (Warna-warni Ende part. 50)


Mengikuti SM-3T adalah pilihan yang tepat bagi saya. Mungkin, ketika saya mendaftar dulu, banyak hal yang menjadi pertimbangan ketika akan pergi. Bagaimana dengan kelas saya, murid-murid saya, buku-buku, naskah yang menunggu untuk digarap, organisasi ini dan itu, pernikahan, dan sebagainya. Juga tentang tes CPNS yang akan dibuka. Saya bahkan tidak banyak memikirkan apa yang akan saya alami di daerah tujuan saya, apakah saya akan diterima, apakah saya akan hidup menyenangkan atau tidak, dan sebagainya. Mungkin, saya memikirkannya, tapi hanya beberapa saat saja, tidak banyak.

Dan sekarang, saat ini, saya menyadari satu hal penting tentang apa yang saya pertimbangkan ketika saya pergi. Adalah apakah saya siap untuk meninggalkan.

Ya, ini bukanlah tentang apakah kita siap untuk mengabdi di sana, siap untuk pergi atau tidak. Tetapi, apakah kita siap untuk meninggalkan semua yang ada di sini. Meninggalkan keluarga yang saling mengasihi, pekerjaan yang sudah diperjuangkan, teman-teman bercerita, organisasi tempat menimba ilmu, anak-anak, kelas, dan berbagai momen spesial lainnya: pernikahan, kematian, kelahiran, dan lain-lain. Apakah kita siap?

Dulu, ketika sebelum saya berangkat, saya terlalu sibuk dengan rutinitas harian saya. H-2 pra kondisi, saya baru ‘meninggalkan’ sekolah dan murid-murid saya. Perpisahan sederhana. Saya masih mengurus ini-itu, menyiapkan berbagai hal yang saya yakini tidak merepotkan orang lain apabila saya pergi. Dan H-1, saya baru mengurus keperluan saya sendiri, untuk perjalanan satu tahun ke depan.

Kelimutu, Rindu pada Satu Sudut di Pulau Jawa
Tantangan terberat adalah ketika pada akhirnya saya berada di sini. Mendengar kabar dari belahan Indonesia lainnya itu sungguh menyesakkan. Kabar gembira membuat saya sedih: ah, saya melewatkan moment ini. Kabar duka membuat saya sedih: mengapa saya tidak ada di sana untuk bersama-sama merasakan duka ini.

Dan kemudian, saya pun merasakan rindu.
Dulu, ketika saya menjalani hari-hari yang sangat sibuk: mengajar, mengetik, organisasi, ini-itu, hingga tak ada waktu untuk istirahat selain 2-3 jam saja, saya selalu berharap untuk bisa rehat sejenak saja. Tidak, bukan hanya sekadar hari Minggu atau hari libur, tapi benar-benar keluar dari semua itu. Saya selalu mengatakan: rehat sejenak untuk semua rutinitas ini, dan setelah itu, saya akan menjalani rutinitas ini LAGI dengan lebih semangat.

Dan di sini, saya merasakan itu. Saya berhenti dari kehidupan saya selama satu tahun untuk menjalani kehidupan lain.

Apa yang saya rasakan?
Ya, saya rindu.

Rindu pada rutinitas itu. Rindu pada rumah. Rindu pada orang-orang yang saya temui. Rindu pada murid-murid saya. Rindu pada kesibukan. Rindu pada begadang. Rindu pada kopi dan snack yang menemani saya di malam saya begadang. Rindu pada hawa pantai yang saya tuju ketika saya jengah. Rindu pada makanan yang membuat produksi air liur bertambah. Rindu pada sahabat-sahabat. Rindu pada suasana kota saya.

“Merantaulah, agar kau tahu kenapa kau harus pulang, agar kau tahu siapa yang kau rindu.”
Dan sekarang, saya memahami mengapa saya harus pulang, dan siapa yang saya rindu. Terimakasih Alloh, untuk menunjukkan jalan yang tepat bagi saya, membimbing saya untuk memilih berada di sini, meninggalkan banyak hal selama satu tahun: beberapa pernikahan, moment penting, kesempatan untuk berpetualang di sana, dan banyak lagi. Terutama, untuk memberikan kesempatan pada saya untuk pergi selama 1 tahun dan (bersiap untuk) kembali lagi.

Sesuai janji, saya akan menjalani semua yang harus saya jalani ketika saya kembali. Terimakasih.

8 Juni 2014, Minggu @Ratenusa

Memaknai Sebuah Kehilangan (Warna-warni Ende Part. 49)



Wahai Tuhan aku tak layak ke surga-Mu
Namun aku tidak sanggun ke neraka-Mu
Terimalah taubatku dan ampuni segala dosaku
Sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa besar


Setiap yang bernyawa pasti merasakan mati, begitulah yang tertulis di dalam Al Qur’an. Jadi, setiap orang di dunia ini pastilah suatu saat akan mengalami yang dinamakan kematian. Tua atau pun muda pasti akan merasakan mati. Mau bersembunyi ke dalam lubang paling dalam hingga di gedung paling tinggi pun, kalau sudah jatahnya mati ya pastilah akan mati. Kaya miskin pastilah akan tetap mati. Dan ketika kita mengalami kematian itu, kita tidak akan membawa apapun, hanya selembar kain kafan sebagai pembungkus. Nah, untuk itulah sering kita dengar bahwa harta yang kita miliki adalah titipan, tidak akan dibawa sampai mati.

Kehilangan akan sebuah kematian membawa duka bagi setiap orang yang ditinggalkan. Saya pernah menangis karena kematian, meski umur saya masih terbilang muda saat itu sehingga belum begitu memahami arti dari kehilangan. Saya kehilangan simbah (orang tua bapak) saat saya usia SD. Selanjutnya, simbah putri (orang tua ibuk) yang begitu saya sayangi meninggal ketika saya usia SMP, meninggalkan duka, tidak hanya untuk saya tetapi untuk Ibuk saya. Kemudian saya kehilangan kawan karib saya saat SMA karena bencana gempa bumi yang melanda di Yogyakarta beberapa tahun silam. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan saat itu hanyalah menangis.
Sumber Gambar

Dan kini, kejadian itu terulang, di saat saya jauh dari rumah. Bukan, bukan saya. Meski sering mendengar kerabat di belahan Indonesia lainnya sakit dan sebagainya, tapi saya selalu bersyukur Alloh masih menjaga mereka dan memperpanjang usia mereka (#Simbah&Pakdhe, I love you). Kejadian itu terjadi pada teman baik saya di tanah rantau ini. Mbak Eka adalah namanya. Kabar itu tanpa tedeng aling-aling, langsung datang dalam sekejab. Malam sebelumnya, mereka masih telfon-telfon dengan ceria, esok paginya Mamak dipanggil Yang Kuasa. Tidak sakit dan tidak ada persiapan. Setengah hari kemudian, pesawat terbang mengantar Mbak Eka ke Jogja. Malamnya, dengan diantar oleh pembimbing kami di kampus, dia sampai di Purworejo pukul 10 malam.

Selama sehari itu, segalanya tampak berjalan dengan cepat. Air mata meleleh, pesawat terbang, perpisahan, short messages, dsb. Satu tahun yang lalu, ketika Mbak Eka diantar Mamak untuk mengabdikan satu tahunnya di Ende, ternyata adalah pertemuan terakhir, perjumpaan terakhir. Dan kali ini kepulangannya adalah untuk menjenguk pusara Mamak. Tidak ada sambutan bahagia di bandara, tidak ada pelukan mesra. Hanya tangis dan sedih yang menyambutnya di rumah. Rasanya sungguh menyesakkan. Bahkan saya tidak bisa menahan untuk tidak meneteskan air mata membayangkan semua itu.

Kejadian itu membawa saya pada sebuah pemaknaan sederhana, bahwa kematian itu memang sangat dekat dengan kita. Hari ini sehat, namun bisa jadi 5 menit kemudian sudah tidak bernyawa. Tak ada yang tahu, hanya Alloh saja. Maka dari itulah, kita harus menyiapkan diri sebelum kematian menghampiri, baik itu kematian diri sendiri maupun kematian orang lain. Tentu saja, ketika menghadapi kematian kita harus mempersiapan bekal. Sering saya dengar sebuah quote, ‘Urip ning ndonya ki mung mampir dolan’, sedangkan hidup yang sesungguhnya ada di akhirat. Baik buruknya perbuatan kita akan menentukan dimana kita akan tinggal: di surga atau di neraka, itulah janji Alloh. Bekal perbuatan baik, Insya Alloh akan menempatkan kita di tempat terbaik pula. Begitupun sebaliknya. Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa berbuat baik. Semoga. Amin.

Jauh di dalam hati, saya sungguh masih takut dengan kematian. Saya merasa belum siap untuk ‘pulang’ ke akhirat, tetapi kapan waktu itu akan datang pun tidak ada yang tahu sehingga kita harus mempersiapan bekal sejak dini. Dan satu-satunya cara kita bisa ‘pulang’ adalah melalui kematian. Kematian adalah satu-satunya cara untuk bertemu dengan Sang Khaliq. Bukankah setiap manusia berkeinginan untuk berjumpa dengan Penciptanya? Lalu, mengapa masih takut akan sebuah kematian?


Dosa-dosaku bagaikan pepasir di pantai
Terimalah taubatku Wahai Tuhan yang Maha Tinggi
Dan usiaku berkurang setiap hari
Dan dosaku pula bertambah setiap masa


04 Juli 2014, @Kota Ende, selamat jalan untuk Mamak Mbak Eka, semoga segala amal dan perbuatan baiknya diterima di sisi-Nya serta mendapatkan tempat yang terbaik di sisiNya.

*) lyric: Al I’tirof, Haddad Alwi feat. Sulis
*) untuk Mbak Eka, saya sampai bingung harus mengatakan apa untuk menghiburkmu, karena satu-satunya kata yang bisa saya pikirkan adalah bersabarlah, mungkin kata ‘sabar’ terlalu sering kau dengar, tapi percayalah bahwa apa yang terjadi adalah untuk kebaikan kita. Maaf karena mungkin saya sok tahu karena saya pun belum pernah berada dalam posisimu. Tapi, percayalah, takdirNya tidak akan pernah salah.  Selalu percayalah akan ada hal baik karena kejadian ini. Dan waktu akan menyembuhkan segalanya. Jalanilah hari-hari setelah ini dengan baik. Di sini, masih banyak orang-orang yang menyayangimu.

Apa Impian Terbesarmu?

Impian setiap orang berbeda-beda. Perbedaan itu didapatkan dari berbagai pengalaman yang didapatkannya sejak masih bayi hingga dia memiliki impian itu. Misalnya saja, ada orang yang ketika bayi melihat Rumah Tongkonan. Beberapa tahun kemudian dia berkeinginan mengunjunginya. Itu impian. Ada juga yang sejak kecil ingin menjadi seorang pramugari karena bisa mengelilingi dunia dengan gratis. Maka ketika ia besar, pramugari menjadi salah satu pekerjaan impiannya, terlepas apakah impian itu bisa menjadi kenyataan atau tidak.

Sumber Gambar
Iya, impian itu bisa menjadi kenyataan atau tidak, itulah yang terkadang masih sulit dijawab.
Saya telah banyak melihat orang berjuang karena mimpi mereka. Tak sedikit orang yang berhasil menggapai impiannya, tak sedikit orang yang gagal. Berbagai buku menarik tentang ‘kekuatan mimpi’ banyak diterbitkan, yang kemudian memberikan ruh bagi setiap orang untuk terus bermimpi. Ya, saya telah banyak melihat orang berhasil menggapai mimpinya.

Tulisan itu masih tertempel di dinding kamar saya. Tulisan tentang impian untuk bisa mengajar di daerah pelosok. Tulisan itu saya tulis sekitar 3 tahun lalu sebagai target yang harus saya capai. Dan lihatlah, target itu pun tercapai.  Dulu, ketika saya masih SMP, saya bermimpi untuk bisa menerbitkan buku sendiri. Impian itu tercapai 4 tahun lalu, ketika saya bergabung dengan Komunitas Tinta Emas. Memang, rasanya begitu amazing dan melegakan, bisa mencapai target (atau mimpi) milik kita sendiri.

Beberapa waktu lalu saya sempat berdebat dengan seseorang tentang mencapai target (atau mimpi). Saya adalah tipe orang yang senang bermimpi dan berkeinginan impian itu tercapai. Istilahnya adalah mencapai target dari apa yang sudah saya tuliskan. Dia mengatakan bahwa hidupnya hanya mengalir bagai air saja, karena Tuhan yang nantinya akan mengatur. Jadi, tak ada target dalam hidupnya. Sungguh, saya agak sebal dengan tipe orang seperti ini. Tapi, saya pun tidak mempermasalahkannya, karena itu adalah ‘dia’.

Meski demikian, saya tetap memiliki target dan impian dalam hidup ini. Misalnya saja, saya sudah menuliskan 100 target hidup saya, yang belum sampai setengahnya tercapai. Selain itu, masih juga saya menuliskan beberapa target dan impian lainnya, seperti ingin mengambil S2 di luar negeri, short course di Jepang, hingga impian untuk mengunjungi semua masjid di wilayah Jawa. Iya, impian yang mungkin bagi sebagian besar orang tidak begitu penting dan ‘kok bisa?’. Dan terkadang, saya memiliki banyak perbedaan dengan ‘dia’. Meski demikian, jauh di dalam hati, apapun yang akan terjadi pada saya di masa yang akan datang adalah apa yang akan terjadi pada ‘kami’. Iya, kehidupan berumah tangga sangat berbeda dengan kehidupan dalam kesendirian.

Ah, postingan saya ngaco, hehehe...
Yang jelas, bagi semua orang yang membaca postingan saya ini, teruslah bermimpi dan tuliskanlah impian kalian itu. Berusahalah menggapai impian itu dan jangan sia-siakan kesempatan yang akan datang. Karena, setiap penyesalan itu pasti datangnya di akhir. Dan kelak, ketika sudah tua, maka akan tersisa banyak kepuasan karena telah menjalani kehidupan yang ‘menyenangkan’.

Jadi, apa impian terbesar anda?

#5 Juli 2014, @Kota Ende




Ramadhan di Tanah Rantau (Warna-warni Ende Part. 48)

Sumber Gambar


Ini adalah kali pertama saya menghabiskan bulan Ramadhan di tanah orang. Iya, selama ini saya selalu menghabiskan waktu di satu tempat saja: di Yogyakarta. Terkadang, saya pergi ke suatu tempat untuk satu atau dua hari saja, tapi tetap saja masih dalam teritori Yogyakarta.

Dulu, setiap ramadhan, selalu diwarnai dengan berbagai kegiatan yang menyenangkan: mempersiapkan berbuka puasa. Saya masih ingat, kenangan masa kecil saya ketika rumah tua kami masih berdiri. Kala itu saya masih seumuran jagung, baru menginjak usia 7 atau 8 tahun. Setiap sore kami memasak bersama kemudian menghidangkannya di atas meja ruang tamu. Setelah itu kami makan bersama-sama dengan riang. Meski hanya sayur sop dan tempe goreng, makanan yang dimasak ibuk selalu nomor satu.

Waktu berganti, rumah tua kami luluh lantak karena gempa 27 Mei. Setelah itu, ramadhan hanya diisi dengan makan bersama—tanpa meja makan. Hal itu terus berlanjut hingga saya SMA dan kuliah. Ramadhan lebih berbeda lagi saat kuliah, karena undangan dari ini dan itu membuat saya harus buka puasa di luar rumah. Hanya hitungan jari saja saya buka puasa di rumah, selebihnya saya menghabiskannya di luar.

Dan tahun ini, saya menghabiskan ramadhan di sebuah sudut kecil di Indonesia, yaitu Kota Ende.
Ada berbagai pengalaman menarik yang saya alami di sini. Mulai dari memasak untuk semua penghuni rumah, hingga buka puasa sendiri di puncak bukit. Ya, terlihat menyenangkan sekali. Meski terasa sepi, keakraban di sini membawa warna lain dalam cerita hidup saya. Setidaknya, kelak, akan ada cerita tentang ramadhan di kota Ende, yang pastinya akan saya rindukan suatu hari nanti.

Ohya, sedikit hal nonsense yang saya pikirkan, sekadar impian untuk diri saya sendiri. Saya berharap bahwa ramadhan ini adalah ramadhan terakhir bagi saya untuk kesendrian. Saya berharap, kelak, satu tahun mendatang, saya akan menghabiskan waktu bersama dia yang diciptakan untuk saya. Semoga.

5 Juli 2014, @Kota Ende

*)postingan edisi geje dan homesick tingkat dewa, hehehe