Monday, July 14, 2014

Memaknai Sebuah Kehilangan (Warna-warni Ende Part. 49)



Wahai Tuhan aku tak layak ke surga-Mu
Namun aku tidak sanggun ke neraka-Mu
Terimalah taubatku dan ampuni segala dosaku
Sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa besar


Setiap yang bernyawa pasti merasakan mati, begitulah yang tertulis di dalam Al Qur’an. Jadi, setiap orang di dunia ini pastilah suatu saat akan mengalami yang dinamakan kematian. Tua atau pun muda pasti akan merasakan mati. Mau bersembunyi ke dalam lubang paling dalam hingga di gedung paling tinggi pun, kalau sudah jatahnya mati ya pastilah akan mati. Kaya miskin pastilah akan tetap mati. Dan ketika kita mengalami kematian itu, kita tidak akan membawa apapun, hanya selembar kain kafan sebagai pembungkus. Nah, untuk itulah sering kita dengar bahwa harta yang kita miliki adalah titipan, tidak akan dibawa sampai mati.

Kehilangan akan sebuah kematian membawa duka bagi setiap orang yang ditinggalkan. Saya pernah menangis karena kematian, meski umur saya masih terbilang muda saat itu sehingga belum begitu memahami arti dari kehilangan. Saya kehilangan simbah (orang tua bapak) saat saya usia SD. Selanjutnya, simbah putri (orang tua ibuk) yang begitu saya sayangi meninggal ketika saya usia SMP, meninggalkan duka, tidak hanya untuk saya tetapi untuk Ibuk saya. Kemudian saya kehilangan kawan karib saya saat SMA karena bencana gempa bumi yang melanda di Yogyakarta beberapa tahun silam. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan saat itu hanyalah menangis.
Sumber Gambar

Dan kini, kejadian itu terulang, di saat saya jauh dari rumah. Bukan, bukan saya. Meski sering mendengar kerabat di belahan Indonesia lainnya sakit dan sebagainya, tapi saya selalu bersyukur Alloh masih menjaga mereka dan memperpanjang usia mereka (#Simbah&Pakdhe, I love you). Kejadian itu terjadi pada teman baik saya di tanah rantau ini. Mbak Eka adalah namanya. Kabar itu tanpa tedeng aling-aling, langsung datang dalam sekejab. Malam sebelumnya, mereka masih telfon-telfon dengan ceria, esok paginya Mamak dipanggil Yang Kuasa. Tidak sakit dan tidak ada persiapan. Setengah hari kemudian, pesawat terbang mengantar Mbak Eka ke Jogja. Malamnya, dengan diantar oleh pembimbing kami di kampus, dia sampai di Purworejo pukul 10 malam.

Selama sehari itu, segalanya tampak berjalan dengan cepat. Air mata meleleh, pesawat terbang, perpisahan, short messages, dsb. Satu tahun yang lalu, ketika Mbak Eka diantar Mamak untuk mengabdikan satu tahunnya di Ende, ternyata adalah pertemuan terakhir, perjumpaan terakhir. Dan kali ini kepulangannya adalah untuk menjenguk pusara Mamak. Tidak ada sambutan bahagia di bandara, tidak ada pelukan mesra. Hanya tangis dan sedih yang menyambutnya di rumah. Rasanya sungguh menyesakkan. Bahkan saya tidak bisa menahan untuk tidak meneteskan air mata membayangkan semua itu.

Kejadian itu membawa saya pada sebuah pemaknaan sederhana, bahwa kematian itu memang sangat dekat dengan kita. Hari ini sehat, namun bisa jadi 5 menit kemudian sudah tidak bernyawa. Tak ada yang tahu, hanya Alloh saja. Maka dari itulah, kita harus menyiapkan diri sebelum kematian menghampiri, baik itu kematian diri sendiri maupun kematian orang lain. Tentu saja, ketika menghadapi kematian kita harus mempersiapan bekal. Sering saya dengar sebuah quote, ‘Urip ning ndonya ki mung mampir dolan’, sedangkan hidup yang sesungguhnya ada di akhirat. Baik buruknya perbuatan kita akan menentukan dimana kita akan tinggal: di surga atau di neraka, itulah janji Alloh. Bekal perbuatan baik, Insya Alloh akan menempatkan kita di tempat terbaik pula. Begitupun sebaliknya. Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa berbuat baik. Semoga. Amin.

Jauh di dalam hati, saya sungguh masih takut dengan kematian. Saya merasa belum siap untuk ‘pulang’ ke akhirat, tetapi kapan waktu itu akan datang pun tidak ada yang tahu sehingga kita harus mempersiapan bekal sejak dini. Dan satu-satunya cara kita bisa ‘pulang’ adalah melalui kematian. Kematian adalah satu-satunya cara untuk bertemu dengan Sang Khaliq. Bukankah setiap manusia berkeinginan untuk berjumpa dengan Penciptanya? Lalu, mengapa masih takut akan sebuah kematian?


Dosa-dosaku bagaikan pepasir di pantai
Terimalah taubatku Wahai Tuhan yang Maha Tinggi
Dan usiaku berkurang setiap hari
Dan dosaku pula bertambah setiap masa


04 Juli 2014, @Kota Ende, selamat jalan untuk Mamak Mbak Eka, semoga segala amal dan perbuatan baiknya diterima di sisi-Nya serta mendapatkan tempat yang terbaik di sisiNya.

*) lyric: Al I’tirof, Haddad Alwi feat. Sulis
*) untuk Mbak Eka, saya sampai bingung harus mengatakan apa untuk menghiburkmu, karena satu-satunya kata yang bisa saya pikirkan adalah bersabarlah, mungkin kata ‘sabar’ terlalu sering kau dengar, tapi percayalah bahwa apa yang terjadi adalah untuk kebaikan kita. Maaf karena mungkin saya sok tahu karena saya pun belum pernah berada dalam posisimu. Tapi, percayalah, takdirNya tidak akan pernah salah.  Selalu percayalah akan ada hal baik karena kejadian ini. Dan waktu akan menyembuhkan segalanya. Jalanilah hari-hari setelah ini dengan baik. Di sini, masih banyak orang-orang yang menyayangimu.

No comments:

Post a Comment