Sunday, February 16, 2014

Buku Terbaru (Oktober 2013)

Ini dia salah satu buku yang kami garap ramai-ramai. Buku yang recommended banget. Penulis-penulisnya benar-benar memang sesuai dengan bidangnya.

Kalau ingin tahu lebih jauh tentang isinya, cek di SINI ya.

Buku Terbaru (Januari 2014)

Setelah absen menulis selama 6 bulan, saya masih saja menemukan karya-karya yang saya buat pada tahun sebelumnya diterbikan dengan 'cantik'.

Well, inilah salah satunya ^^


Kalau ingin mengetahui lebih lanjut tentang buku ini, cek di website komunitas saya di SINI.

Ohya, buku ini sudah bisa didapatkan di toko-toko buku di kota Anda ^^

Capturing Ende Part. 4

Longmarch Nangaba-Kota, Terlihat Pulau Ende di Kejauhan


Mengetik di Bawah Lentera ketika Listrik Mati dan Malam Datang

Kios Ikan di Nangaba

Beginilah Suasana Kebun Ketika Berkabut

Semacam Fogtail di Langit Ende Suatu Jumat Mubarak, Really Amazing

Sungai Nangaba Saat Surut


Oja, Dimana Kota Ende, Pulau Ende, dan Laut Maukaro Bisa Terlihat (Warna-warni Ende Part. 38)


Sesuai dengan apa yang pernah saya janjikan pada diri saya sendiri untuk mengunjungi berbagai lokasi penempatan teman-teman dari UNY, maka pada kesempatan ini saya ingin menuliskan sedikit catatan perjalanan saya ke daerah Oja, Nanga Panda.

Pada awalnya, rencana ke Oja masih dalam status diawang-awang alias belum ada kepastian kapan berangkat. Ada niat, meski belum ada jalan. Tetapi, Oja menjadi salah satu dari tempat-tempat yang berada dalam daftar tempat yang ingin saya kunjungi.

Oja merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Letaknya adalah di Jalan Puukunga – Maukaro. Menurut penunjuk jalan yang ada, Kota Ende-Oja berjarak 47 KM. Berdasarkan informasi dari salah satu teman yang berada di penempatan Malawaru (sekitar setengah jam lebih jauh dari Oja), kami bisa memilih oto untuk transportasi menuju ke Oja. Ada 3 oto yang beroperasi, tetapi biasanya berangkat hanya datang dan pergi satu kali sehari dengan biaya Rp 20.000,00 sampai di Oja atau Malawaru. Perjalanan bisa memakan waktu 4 jam bila cuaca buruk (hujan), tetapi bisa hanya 2 jam bila cuaca cerah. Selain oto, motor juga bisa menjadi salah satu alternatifnya. Selain lebih fleksibel, jarak tempuhnya paling lama hanya 2 jam saja.

Setelah pertimbangan matang, kami memutuskan untuk menggunakan motor. Saya berangkat bersama 3 orang teman lainnya, Mbak Eka, Mas Purbo, dan Tarom. Kami start dari Kota Ende pada jam 10 pagi—setelah sebelumnya mampir di Magengura, menjemput Mbak Eka.

Sebuah Puncak Gunung yang Entah Apa Namanya
Cuaca hari itu kurang bersahabat. Tidak ada biru. Mungkin hal itu juga diakibatkan oleh adanya letusan Gunung Kelud yang malam sebelumnya terjadi di Jawa Timur. Memang tidak ada hujan abu seperti yang terjadi di daerah Jawa bagian selatan, tetapi cuaca yang mendung bisa jadi salah satu imbasnya. Lihat saja, dari kejauhan tidak tampak lagi jajaran pegunungan Nangapanda ataupun Nagekeo, melainkan kabut tebal pertanda daerah itu hujan turun dengan lebat. Kami sudah memakai mantel, meski dua pasangnya tanpa celana. Dan dimulailah perjalanan itu.

Rintik menyapa sepanjang perjalanan. Dari jalan kabupaten di Nangapanda, memang gerimis tidak lebat. Hawa pantai menguar di sepanjang perjalanan. Ombak terlihat ngeri. Motor dipacu dengan kencang menembus udara dingin. Di tengah perjalanan kami berhenti sebentar untuk memakai mantel kemudian melanjutkan perjalanan. Salah satu keunikan jalan di Kabupaten Ende adalah sepanjang jalur selatannya dekat dengan pantai. Dan itu salah satu hal yang pastinya akan saya rindukan ketika saya tidak di Ende lagi (nglebay -_-).

Setelah satu jam berjalan, kami sampai di Cabang atau persimpangan jalan, lurus ke arah Nagekeo, sementara belok ke kanan arah Maukaro. Kami berhenti membeli bensin dan roti, bertanya arah jalan, dan melanjutkan perjalanan. Perut yang belum terisi sejak pagi akhirnya mendapat asupan yang cukup. Perjalanan berlanjut, kami mulai memasuki daerah hutan. Well, sebenarnya agak ekstrim ketika disebut hutan, karena sebenarnya itu adalah kebun. Tetapi, tanahnya berbukit-bukit dan ditanami tanaman kayu seperti kelapa, kemiri, alpukat, dsb. sehingga lebih mirip hutan dibandingkan kebun.

Setelah 15 menit berjalan, hujan mulai mengguyur dengan lebat. Kabut terlihat di kanan atas bukit yang menjulang di depan kami, atau di jurang yang ada di samping kiri atau kanan. Jalanan memang lebar dan sudah diaspal, akan tetapi beberapa jalannya sudah rusak. Ingat dengan Petungkriyono? Nah, nyaris mirip dengan jalan di daerah itu.

Ada beberapa kampung yang kami lewati. Karena memang kami belum tahu arahnya, kami sempat berhenti beberapa saat untuk bertanya. Pemandangan yang terlihat sangat stagnan: kebun dan kabut. Cuaca yang buruk sebenarnya untuk melakukan perjalanan. Apalagi dengan medan yang jauh dari kata ‘menyenangkan’. Tapi, karena sudah diniatkan, maka tidak boleh mengeluh. Setelah beberapa waktu, terkadang ada anak sekolah yang baru pulang. Beberapa tersenyum dan menyapa kami ‘Selamat siang!’ dengan ramah. Kami membalasnya, kadang juga berhenti dan bertanya pada mereka. Kasihan sekali, baju mereka basah oleh hujan dan mereka tidak terlihat sedih sama sekali, justru gembira. Pemandangan itu membuat saya semakin berpikir, ‘Well, tidak adil kalau saya mengeluh sekarang di saat saya masih bisa pakai mantel dan naik motor’.

Setelah perjalanan yang sangaaaat lama sekali, hujan mulai berkurang, meskipun kabut masih menutupi lembah di kanan atau kiri kami. Perjalanan terus dilanjutkan. Kami bertemu serombongan anak-anak kecil yang memakai seragam pramuka dengan label ‘SDN Oja’. Alhamdulillah, kami hampir sampai.

“Iya, Ibu, Oja sudah dekat, tinggal 3 km saja,” kata mereka. Alhamdulillah...

Suasana Oja
Kami memacu motor. Dibalik tikungan, ku lihat sebuah bangunan tak begitu jauh. Mungkin itu gedung sekolahnya. Ya, tak sampai 10 menit, kami sampai di sekolah itu, SMPN 3 Nangapanda. Dua teman kami yang berada di terlihat tidak percaya ketika kami sampai.

Kami disambut dengan gembira. Duduk, berganti pakaian, ngopi, ngobrol, sholat, makan, dan sebagainya. Hujan kadang masih rintik, tetapi kami merasa tidak masalah karena berada di dalam ruangan. Angin terlihat bertiup kencang. Beberapa saat kemudian, kami turun untuk melihat tempat penampungan air yang ada di desa itu. Besar sekali, entah berapa kubik air yang ada di dalamnya.

Setelah pertimbangan matang, kami memutuskan untuk pulang—tidak berani melanjutkan perjalanan ke Malawaru—karena faktor cuaca. Perjalanan pulang terasa lebih cepat. Mungkin faktor cuaca menjadi salah satu penyebabnya. Langit terlihat biru dan kabut sudah hilang. Jadi, hamparan perbukitan di sejauh mata memandang menjadi pemandangan yang menyenangkan. Kami bahkan bisa melihat Kota Ende, Pulau Ende, dan Maukaro dari atas bukit. Kami berhenti beberapa kali untuk berfoto dan mampir sholat di SMPN 6 Nangapanda (penempatan Mbak Sri Bekti). Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.

Alhamdulillah, kami sampai di kota jam 18.45 WITA, saat matahari baru saja terbenam. Badan memang terlihat terasa capek, tetapi melihat rumah kami di kota, maka rasanya sungguh melegakan.

Perjalanan itu hanya merogoh kocek sebesar @50ribu. Memang, ada yang kami sesalkan karena kami belum sempat mengunjungi Malawaru. Tetapi, next time kami pasti akan ke sana.

Oke, itulah perjalanan kami hari itu mengunjungi Oja. Kemana lagi kami akan pergi? tunggu cerita selanjutnya ^^

#Satu tahun untuk selamanya.
@Basecamp Ikan Duyung, 15 Februari 2014

Postingan Gunung Kelud (Tidak Bermaksud Latah)


Hari Kamis, jam 11 malam, Gunung Kelud di Jawa Timur tidak hanya batuk, tetapi benar-benar sudah njebluk alias meletus. Saya, yang berjarak ribuan kilometer dari sana, baru tahu kabarnya pagi ini, setelah cek di facebook. Yap, Gunung yang pernah—seingat saya—meletus beberapa tahun yang lalu waktu saya kecil, akhirnya meletus juga setelah beberapa waktu lalu dikabarkan batuk-batuk.

Well, saya kaget dan lantas berada pada kekhawatiran berlebih karena keluarga saya berada di Malang (tepatnya di Gunung Kawi) dan Kediri (tepatnya di Lirboyo). Tetapi, saya merasa berbahagia karena mereka berada dalam keadaan yang aman dan under control (meski di Lirboyo katanya hujan kerikil sampai setengah meter—ngeri memang e?!).

Sumber Gambar
Tapi, hari ini saya memang secara khusus menulis tentang Gunung Kelud yang pasti sudah menjadi trending topic dadakan yang mewarnai hampir seluruh berita di Indonesia. Well, bagaimana tidak, Gunung Kelud memang terbilang ‘kecil’, tetapi akibat letusannya bisa mengakibatkan berbagai kerugian seperti gagalnya berbagai penerbangan skala nasional dan internasional ke hampir semua bandara di Pulau Jawa, sebaran asap yang memenuhi jalur Jawa Timur ke arah Jogja dan sekitarnya (yang ngeri banget), hingga akibat regional di sekitar Kelud sendiri. Belum lagi, diperkirakan, ledakan Kelud itu memicu berbagai gunung api lainnya untuk ikut-ikutan batuk-batuk, misalnya gempa yang menggoyang Bantul yang berasal dari gunung api bawah laut di selatan bantul, gunung Merapi, maupun gunung-gunung di area Jawa.

Well, tujuan saya menulis artikel ini bukanlah untuk menghadirkan informasi berbagai sejarah tentang Gunung Kelud, karena pasti sudah banyak berserakan info tersebut di dunia maya. Tetapi, saya ingin menuliskan tentang berbagai hal yang terjadi pada Indonesia akhir-akhir ini. Kita bisa amati bahwa berbagai ‘musibah’ datang di Indonesia. Sebut saja Sinabung, banjir di berbagai daerah, hingga gunung meletus (informasi terbatas jadi saya tidak bisa menyebutkan berbagai daerah lain di Indonesia). Menurut salah seorang informan yang tidak mau disebutkan, tahun 2014 memang katanya akan ‘menjungkirbalikkan’ Indonesia dengan berbagai bencana. Setelah itu, memasuki 2015, sudah kembali baik lagi. Nah, pertanyaannya adalah apalagi yang akan terjadi di Indonesia selama 2014? Secara, masih ada 10 bulan lagi hingga berganti tahun menjadi 2015.

Ada satu hal yang harus digarisbawahi di sini. Bahwa, berbagai bencana tersebut harus menuntut kesiapan pribadi secara maksimal, dalam segi apapun. Maksudnya, kesiapan fisik, rohani, hingga finansial. Saya secara pribadi lebih menyarankan untuk memperbanyak doa dan berserah diri pada Tuhan YME. Yakinlah bahwa semua yang ditetapkan oleh Alloh itu tidaklah salah. Percayalah bahwa segalanya adalah yang terbaik untuk kita. Selalu berpositif thinking, tetapi juga selalu siap siaga. Dengan begitu, setiap bencana yang datang, akan disikapi dengan bijak dan penuh kesiapan. Semoga, Indonesia tetap baik. Amin.

Heeemmm...postingan saya kali ini memang geje. Hehehe...

Untukmu Sahabatku...


Teman dekat atau sahabat adalah seseorang yang akan selalu hadir ketika kita membutuhkannya.
Well, definisi itu tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak sepenuhnya benar (untuk sudut pandang tertentu, tentu keluarga dan calon suami/istri menduduki tempat istimewa ini).

Selama beberapa tahun saya hidup di beberapa jenjang pendidikan, teman memiliki arti yang lebih dibandingkan sebagai seseorang yang akan selalu hadir ketika kita membutuhkannya. Lebih dari itu, teman memiliki tempat di hati, bersanding dengan jajaran nama yang familiar seperti Bapak, Ibuk, Mbak, Adek, dan (bahkan) Mas Pacar. Untuk keluarga besar, saya rasa orang-orang ini memiliki peran tersendiri, dan tidak selalu menjadi ‘seseorang yang akan selalu hadir ketika kita membutuhkannya’.

Entah sejak kapan terjadi, sekolah menjadi satu institusi yang paling mewajibkan seseorang untuk memiliki teman dekat atau sahabat. Well, mari kita sebuh mereka dengan istilah ‘sahabat’ saja supaya tidak terlalu panjang pas ngetiknya, wkwkwk...

Balik lagi ke topik kita, sekolah menjadi tempat dimana memiliki sahabat adalah hal yang wajib. Cobalah bayangkan, apa yang akan terjadi pada kita tatkala tidak punya teman di sekolah? Makan di kantin sendirian, menjadi orang yang paling akhir dipilih dalam tugas kelompok, weekend yang boring karena tidak bisa pijamas party, dan berkutat hanya dengan tugas dan perpustakaan saja. Bahkan memiliki pacar pun masih menjadi hal yang lumrah dibandingkan tidak memiliki teman atau sahabat. Jelas, orang akan dicap aneh apabila kemana-mana sendirian saja—terlepas apakah dia punya pacar atau tidak.

Sumber Gambar
Dan, well, saya pernah mengalami hal-hal seperti, entah di jenjang TK, SD, SMP, SMA, bahkan saat kuliah. Saya selalu kesulitan untuk memiliki teman (karena beberapa hal), sehingga hanya bersisa segelintir teman saja yang cukup dekat di hati yang hingga sekarang masih tetap dekat. Sebut saja di TK dan SD yang hampir tidak ada, SMP yang menyisakan satu orang saja, SMA yang hanya berkisar tak lebih dari 3, dan lebih banyak kuliah yang berkisar 5 orang saja.

Memang, memiliki teman adalah sesuatu yang amazing,.

Pernah saya menonton film ‘One Litre of Tears’ (versi asli yang dari Jepang itu), dimana tokoh utama begitu sangat mencintai dua sahabat yang dengan setia selalu bersamanya ketika si tokoh utama sakit. Saya bisa merasakan betapa hebatnya peran sahabat dalam masa-masa yang menggembirakan dan menyedihkan.

Saya pernah mengalaminya. Ketika saya berdarah-darah (oke, yang ini nglebay tingkat dewa) nangisin cowok, ketika saya bahagia tingkat dewa ketika merasakan kencan pertama, ketika terharu karena buku saya akhirnya selesai (dan terbit), ketika galau ngerjain skripsi, ketika tidak ada tempat untuk pergi, maka merekalah yang membuka pintu kos dengan tangan terbuka—selalu siap ketika saya mengalami hal-hal yang warna-warni. Merekalah teman dan sahabat saya yang hadir ketika saya butuhkan. Well, hal ini tentu saja terlepas dari peran keluarga, karena ada hal-hal tertentu yang pastinya tidak bisa kita bagi dengan keluarga.

Terimakasih, untuk segelintir orang yang mau berbagi dunianya dengan saya, yang dengan bangga saya sebut sahabat saya. Terimakasih untuk hadir dalam salah satu masa dalam hidup saya, memberikan berbagai pelajaran terbaik bagi saya. Ketahuilah, tanpa kalian, tentu saya tidak bisa sampai seperti ini. Dengan cara kalian masing-masing, benar-benar memberi makna tersendiri bagi saya dan kehidupan saya saat ini.

Dan saat ini, ketika melihat kalian mencapai cita-cita kalian, menikah dan akhirnya melahirkan, memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari masa-masa lalu kita, maka saya akan turut berbahagia. Bahagia untuk keberhasilan kalian. Bahagia untuk masa depan yang indah.

Selamat. Selamat untuk pencapaian ini.

Senantiasa saya doakan semoga hidup kita sama-sama barakah dan mampu menjalani kehidupan sesuai dengan tugas kita.
Saya sungguh mencintai kalian.

#spesial postingan untuk orang-orang yang saya sebut sahabat, yang paling spesial untuk sahabat yang kini berbagi sepotong hati.

Monev: The Biggest Day Ever (Warna-warni Ende Part. 37)


Matahari pagi datang. Mata terasa berat untuk dibuka, tapi tetap harus dibuka. Pusing melanda. Sisa-sisa mite semalam masih terasa. Saya melirik jam di layar ponsel: jam 5 pagi. Sinyal iwa ratu semalaman, sehingga tidak ada SMS yang masuk. Saya pun keluar dan mandi. Yap...rumah masih sepi, di sekitar rumah juga masih sepi—belum banyak orang yang bangun. Selesai mandi dan sholat, saya pun segera beres-beres dapur kemudian bersiap-siap. Saya coba mencari sinyal dan menghubungi Pak Korkab dan tersambung dengan penghuni basecamp: Bang Fe. Info terbaru, mereka akan datang sekitar jam 9. Saya pun segera bersiap-siap.

Rumah menjadi agak ramai, begitupun sekolah. Guru-guru mulai terlihat sibuk. Alhamdulillah, semua persiapan sudah selesai. Papan SD sudah terpasang aman dan bagus—meski beberapa hurufnya bisa tiba-tiba terlepas, pasalnya mereka menempelnya di balik baliho kampanye dengan lem kertas yang jelas-jelas tidak akan lengket dengan sempurna, yap, lagi-lagi masalah kondisi yang seadanya. Meski demikian, saya tetap bersyukur. Alhamdulillah.

Jam 9 lebih, rombongan datang dengan sebuah otokol. Otokol adalah transportasi unik dari NTT, yaitu sebuah truk yang dibuat semacam bus, diberi kursi duduk dan atap. Hampir 30 orang ada di dalamnya—termasuk Bapak WR 3, Staff, dan seorang wakil dari Dinas PPO. Ramai-ramai dan terlihat wow banget. Kami segera naik ke sekolah. Dan selama 1 jam berikutnya, teman-teman asyik melakukan berbagai kegiatan: foto-foto, masuk kelas, buat video, dan makan snack. Bapak WR 3, yang berkesempatan mengunjungi tempat itu, segera mengobrol dengan Ibu Kepsek dan guru-guru. Keadaannya terlihat semrawut tapi terlihat terkendali ^^

Selama 1 jam berikutnya, saya sibuk wira-wiri menjadi guide teman-teman dan Bapak WR, menyiapkan snack dan minum, foto-foto, dan sebagainya. Endingnya, kami foto-foto bersama-sama. Teman-teman saya menikmati kunjungan ke sekolah karena kondisi sekolah yang terlihat ‘M’ (baca: mengenaskan) itu. Jadi, terlihat wow ketika di foto dan dipasang di media sosial (well, i can’t say anything about it, rite -_-). Selesai sesi foto-foto, kami bersiap turun. Saya ikut.

Next Destination is Wologai

Wologai, Desa Berkabut yang Kekurangan Air
Saya sudah mendengar buuuuaaaannnyaaak sekali kabar seliweran tentang Wologai. Diantaranya adalah oto yang menjadi sarana transportasi utama hanya ada 2 kali dalam satu minggu, jalan yang jauh dan aduhai sekali, bahkan hampir menyeberangi seluruh Kab. Ende Selatan-Utara, dan juga udara yang dingin dan berkabut, bahkan di siang hari yang panas. Laut di pantai Utara bisa terlihat dari puncak Wologai. Wow banget kan. Istilah yang ada dibayangan saya adalah Negeri-di-Atas-Awan-nya Ende.

Perjalanan hari itu ditempuh selama 3 jam, kami sampai pada pukul 2 siang. Cuaca buruk selama di jalan: hujan angin beberapa kali ditambah kondisi jalan yang sudah rusak. Perut terasa lapar, udara terasa dingin. Hujan deras menyambut ketika kami sampai di Sekolah SATAP Wologai. Kami berteduh sambil mengantri kamar mandi untuk BAK (yang airnya sangat minim meskipun hujan deras).

Beberapa saat kemudian, kami sepakat untuk turun ke arah Mbani, karena hujan tinggal rintiknya saja. Beberapa orang memilih untuk tidak turun karena jauh—dan memang sudah pernah turun juga. Saya belum pernah, sehingga saya bersikeras ikut. Bagaimana buruknya daerah ini sih? Saya menganggap tempat tinggal saya sudah merupakan tempat ter-wow selama ini.

Mbani, Oh Wow Banget

Mbani, Hujaunya Lembah Ende
Baiklah, satu kata yang sederhana untuk Mbani adalah ‘wow!’ (dengan tanda seru). Jalannya wow! banget. Untuk arah ke Mbani dari Wologai sih tentu saja tidak terlalu sulit karena hanya jalan menurun saja. Jalan sudah setapak (dicor), bahkan lebih besar dari jalan saya menuju Ranoramba. Kabut menyapa. Meskipun suasana dingin dan berkabut, badan terasa panas karena rasa capek.

Setelah 30 menit, kami mengambil jalan pintas, yaitu turun bukit dengan kemiringan 450 (kira-kira nih, kan saya tidak bawa busur derajat :p). Setelah turun bukit, kami melintasi sebuah dusun kecil, kemudian menuruni bukit (lebih tepatnya, tidak ada jalan, hanya satu tapak saja yang menurun curam), yang berakhir di jalan utama. Terlihat 3 motor berjejer, salah satunya yang dipakai oleh Bapak WR 3. Rupanya, setelah jalan ini, motor tidak bisa masuk lagi karena menyeberang sungai. Kami menerobos kebun jagung kemudian menyeberang sungai. Air sedang deras-derasnya karena baru saja turun hujan, sehingga kami harus berpegangan erat satu sama lain—terutama berpegangan pada teman-teman yang laki-laki. Selepas sungai, kami menerobos ladang jagung (lagi), barulah sampai di tanah lapang (tanah lapang yang miring, tentu saja, karena di sini tidak ada tanah lapang yang datar seperti di Jawa). SD Wologai II terletak di sebelah kiri tanah lapang, sementara rumah Wahyu, teman kami, terletak di sebelah kanannya. Kami mengunjugi rumah itu—alih-alih ke SD.

Kami singgah di rumah selama setengah jam, makan siang dan snack, kemudian pamit karena mengejar waktu. Rencananya, sesampainya di Ende, kami masih harus melakukan monev sehingga harus sampai di Ende maksimal jam 8 malam. Nah, perjalanan naik ke Wologai lah yang paling amazing. Jalannya tidak ada yang datar, mendaki semua. Badan sudah capek, dan nafas sudah hampir habis. Saya berasa tidak kuat—tapi meneguhkan kekuatan: harus kuat, tidak boleh menyerah, tidak boleh merepotkan orang lain. Saya sampai dengan selamat, meski kata teman-teman muka saya sudah mirip kepiting rebus, hehehe...

Well, kalau ada daerah yang disebut sebagai 3T, maka Mbani terlihat lebih 3T dibandingkan sekolah saya. Nilai plusnya, Mbani sudah memiliki sekolah berdinding tembok, hehehe...

Setelah semua berkumpul, kami pun segera naik otokol. Perjalanan pulang. Alhamdulillah tidak hujan.

Monev: Dinner with Bapak WR 3

Di Resto Padang
Monev pertama kami berlokasi di sebuah rumah makan padang di Jalan Kelimutu. Rumah makannya terlihat eksklusif dan mahal. Bapak WR 3 segera memesan banyak menu istimewa. Kami makan dengan lahap, karena menunya memang istimewa sekali. Baru kali ini kami makan makanan seistimewa ini pada satu waktu: ayam goreng, rendang, telur malbi, telur goreng, sop sapi, kikil, sayur sawi, aneka jus, dan sebagainya.

Selesai makan, tibalah sesi diskusi kami. Beberapa teman mengajukan beberapa pertanyaan, diantaranya penempatan yang harus didampingi, asuransi kesehatan, dsb. Saya bertanya tentang format laporan. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, sehingga pertemuan ditutup dan kami pulang. Kami mengucapkan selamat jalan pada Bapak WR 3—beliau akan pulang hari Selasa.

Begitulah akhir perjalanan kami hari itu. Begitulah endingnya, 2 hari yang begitu roller coaster dalam hidup saya. Rasanya, ada beban berat yang terangkat, ada kegembiraan ketika pihak kampus datang dan melakukan sarasehan seperti tadi. Kerinduan pada kampung halaman rasanya sedikit terobati—yah, meskipun Bapak tidak berkunjung ke basecamp tercinta, tapi setidaknya beliau menyempatkan hadir menemui kami, para anak-anaknya, bahkan mengunjungi sekolah saya. Terimakasih Bapak WR 3.

*Satu tahun untuk selamanya, 20 Januari 2014 @basecamp tercinta.

The Day Before Monev (Warna-warni Ende Part. 36)


Monev, itulah hari yang paling ditunggu setelah sekian bulan kami di sini. Terhitung sudah bulan keempat kami di sini dan belum sekali pun ada dosen yang berkunjung untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev). Kata teman-teman yang ada di penempatan daerah Malinau dan Ngada, sudah dikunjungi oleh dosen—sementara Gayo Lues, saya dengar belakangan ternyata juga dikunjungi bersamaan dengan Ende. Makanya, kami yang ada di Ende berasa dianaktirikan karena sampai bulan keempat belum ada kabar adanya monev. Berdasarkan rapat pada awal bulan Januari lalu, alhamdulillah sudah ada kepastian bahwa monev akan diadakan pada akhir bulan. Yeeeiiiy. Berita bagusnya, pak rektor akan datang sendiri untuk mengunjungi kami. How amazing, rite? Hehehe...tersanjung banget bisa ditemui oleh Bapak yang satu itu—terlepas dari fakta bahwa dia adalah rektor saya dan ketua PWNU juga. Seolah bertemu dengan Bapak sendiri.

Hari berganti hari, kabar tentang monev pun datang pada hari kamis minggu ketiga. Tanpa tedeng aling-aling, SMS hari itu mengagetkan saya: sekolah saya terpilih akan dikunjungi.  Oh wow. Saya sempat shock selama beberapa saat, speechless tidak bisa mengatakan apapun. Memang, sudah ada perbincangan pada beberapa waktu lalu kalau sekolah saya akan dikunjungi, tapi masih dalam status pertimbangan. Dan ketika diputuskan bahwa sekolah saya yang dikunjungi itu adalah amazing. Mengapa amazing? Pertama, karena lokasinya yang harus ditempuh dengan melipir bukit dan tidak semua oto mau sampai di sana. Kedua, karena gedungnya yang merupakan gedung sekolah TERmengenaskan diantara teman-teman yang lainnya. Ralat: gedung sementara.

Well, apa yang akan mereka katakan ketika melihat sekolah saya? Bagaimana mereka bisa mendaki sampai di puncak bukit saya? Bagaimana mereka bisa ‘selamat’ melewati jalan yang saya rasa sangat ngeri itu? Well, jujur saja, saya takut ketika mereka harus naik ke tempat saya.

Tapi, karena itu adalah keputusan sementara maka saya menerimanya juga. Rencana kunjungannya adalah di SD K Magengura, SD N Nakawara, dan dua SD di daerah Wologai dan Mbani (namanya lupa, hehehe).

Hari Sabtu, 4 orang secara tiba-tiba datang ke rumah saya. Tujuan mereka sederhana: survey lokasi kunjungan untuk memutuskan apakah sekolah saya layak untuk dikunjungi, terutama dari sarana transportasinya. Mendadak rumah menjadi sangat ramai, memasak dan mengobrol. Ending kunjungan itu cukup sederhana, saya ikut turun. Saya dengan ojek setia saya.

Insiden kecil terjadi ketika kami turun bukit. Sebuah batu di tengah jalan terhempas ban sepeda motor sehingga mengenai sambungan knalpot di bawah stang. Knalpotnya pecah. Bunyinya keras (sempat saya pikir Bang Fe—si pengendara, terjatuh karena bunyi dentuman yang cukup keras). Kami turun dengan lebih hati-hati, berhenti di Puudombo sejenak (tempat KorKec saya). Ternyata si empunya rumah tidak ada, sedang mencuci oto pickup di Sungai Nangaba. Kami ngeteh dan mbiskuit sejenak, membicarakan rencana selanjutnya. Rencana awalnya adalah ketiga laki-laki itu: Bang Fe, Wira, dan Purbo menurunkan kami di Puudombo dan mereka melaju ke Mbani, sementara saya dan Mbak Eka lanjut ke basecamp. Tapi, rencana itu gagal karena motornya rusak. Kami pun memutuskan untuk pulang ke basecamp. Ke Mbani untuk sementara di pending hingga besok pagi. Kami pun cabut menuju ke basecamp.

Sesampainya kami di basecamp terjadi berbagai obrolah dan pertimbangan terkait lokasi kunjungan. Belum ada keputusan resmi bahwa sekolah saya akan dikunjungi, tetapi hampir semua orang berkeinginan untuk mengunjunginya—karena sekolah yang mengenaskan itu -_-“

Pagi datang, saya pun menagih jawaban pada KorKab. Kepastiannya adalah sekolah saya akan dikunjungi. Saya pun segera menghubungi ojek saya agar dijemput pada siang hari, agar dapat mengunjungi Ibu Kepala dan melakukan persiapan. Saya ke pasar dan berbelanja. Namun, siang hingga sore hari, saya galau sekali. Sederhana: ojek saya belum menjemput.

Hari itu, saya naik ke bukit lagi jam 7 malam. Yap, jam 7 malam. MALAM. Bisa dibayangkan? Saya? Naik? Jam? 7? MALAM? Memang horor dan ngeri. Siang saja sudah horor dan ngeri, apalagi malam kan ya??? Tetapi karena keadaan terpaksa saya pun memutuskan naik. Tentu saja saya terus berdoa sepanjang. Ada pesan khusus dari Mas Aziz untuk saya.

Jalan meliuk, cahaya motor menembus kegelapan.
Kegelapan tertinggal, titik-titik cahaya lain menandakan kehidupan di beberapa sudut malam.
Doa terlantun dalam diam.
Alloh bersamaku.

Alhamdulillah, setelah perjalanan yang cukup singkat, kami sampai di rumah Ibu Len. Setelah mengobrol dan membuat rencana sederhana, kami pun pulang. Bapak sudah menunggu di depan pintu dengan was-was—ekspresinya tampak gugup karena saya belum pulang. Ah, mendadak saya merindukan Bapak saya nun jauh di sana :*

Malam itu, saya mite hingga jam 2 malam. Kerjaan saya adalah menggoreng keripik dan membuat papan nama SD. Sebenarnya agak amazing juga ketika mereka membantu saya. Maksud saya, saya selalu melembur semuanya sendirian selama ini dan mereka bersedia untuk melembur untuk saya adalah sesuatu yang amazing sekali. dan guess what, itu adalah kali pertama saya begadang di atas bukit, hehehe *nggak penting banget.

Selama melembur itu, saya tidak tahan untuk bersikap tidak biasa. Beberapa kali saya berkata pedas—karena memang acara membuat papan SD tersebut terlalu perfeksionis. Saya bermaksud membuatnya sesederhana mungkin: dengan papan dan kapur. Tapi, beberapa dari mereka berpendapat untuk menggunakan kertas yang diprint kemudian dipotong barulah ditempel. Itulah yang membuat saya agak jengkel—yang belakangan saya sesali. Well, mereka sudah sebaik itu menemani saya begadang dan membuat papan SD, bagaimana mungkin saya menjadi begitu jahat??? Ketika akhirnya papan itu selesai, saya merasa gembira: hasilnya bagus dan sesuai dengan keinginan semua orang. Yap, terkadang, kita harus mengalah dengan pendapat kita dan mengutamakan pendapat bersama.

Well, bagaimana saat hari H monev? Tunggu postingan selanjutnya ^^
*Satu tahun untuk selamanya, 19 Januari 2014, Minggu

=Foto Belum Terpasang=