Sunday, February 16, 2014

Oja, Dimana Kota Ende, Pulau Ende, dan Laut Maukaro Bisa Terlihat (Warna-warni Ende Part. 38)


Sesuai dengan apa yang pernah saya janjikan pada diri saya sendiri untuk mengunjungi berbagai lokasi penempatan teman-teman dari UNY, maka pada kesempatan ini saya ingin menuliskan sedikit catatan perjalanan saya ke daerah Oja, Nanga Panda.

Pada awalnya, rencana ke Oja masih dalam status diawang-awang alias belum ada kepastian kapan berangkat. Ada niat, meski belum ada jalan. Tetapi, Oja menjadi salah satu dari tempat-tempat yang berada dalam daftar tempat yang ingin saya kunjungi.

Oja merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Letaknya adalah di Jalan Puukunga – Maukaro. Menurut penunjuk jalan yang ada, Kota Ende-Oja berjarak 47 KM. Berdasarkan informasi dari salah satu teman yang berada di penempatan Malawaru (sekitar setengah jam lebih jauh dari Oja), kami bisa memilih oto untuk transportasi menuju ke Oja. Ada 3 oto yang beroperasi, tetapi biasanya berangkat hanya datang dan pergi satu kali sehari dengan biaya Rp 20.000,00 sampai di Oja atau Malawaru. Perjalanan bisa memakan waktu 4 jam bila cuaca buruk (hujan), tetapi bisa hanya 2 jam bila cuaca cerah. Selain oto, motor juga bisa menjadi salah satu alternatifnya. Selain lebih fleksibel, jarak tempuhnya paling lama hanya 2 jam saja.

Setelah pertimbangan matang, kami memutuskan untuk menggunakan motor. Saya berangkat bersama 3 orang teman lainnya, Mbak Eka, Mas Purbo, dan Tarom. Kami start dari Kota Ende pada jam 10 pagi—setelah sebelumnya mampir di Magengura, menjemput Mbak Eka.

Sebuah Puncak Gunung yang Entah Apa Namanya
Cuaca hari itu kurang bersahabat. Tidak ada biru. Mungkin hal itu juga diakibatkan oleh adanya letusan Gunung Kelud yang malam sebelumnya terjadi di Jawa Timur. Memang tidak ada hujan abu seperti yang terjadi di daerah Jawa bagian selatan, tetapi cuaca yang mendung bisa jadi salah satu imbasnya. Lihat saja, dari kejauhan tidak tampak lagi jajaran pegunungan Nangapanda ataupun Nagekeo, melainkan kabut tebal pertanda daerah itu hujan turun dengan lebat. Kami sudah memakai mantel, meski dua pasangnya tanpa celana. Dan dimulailah perjalanan itu.

Rintik menyapa sepanjang perjalanan. Dari jalan kabupaten di Nangapanda, memang gerimis tidak lebat. Hawa pantai menguar di sepanjang perjalanan. Ombak terlihat ngeri. Motor dipacu dengan kencang menembus udara dingin. Di tengah perjalanan kami berhenti sebentar untuk memakai mantel kemudian melanjutkan perjalanan. Salah satu keunikan jalan di Kabupaten Ende adalah sepanjang jalur selatannya dekat dengan pantai. Dan itu salah satu hal yang pastinya akan saya rindukan ketika saya tidak di Ende lagi (nglebay -_-).

Setelah satu jam berjalan, kami sampai di Cabang atau persimpangan jalan, lurus ke arah Nagekeo, sementara belok ke kanan arah Maukaro. Kami berhenti membeli bensin dan roti, bertanya arah jalan, dan melanjutkan perjalanan. Perut yang belum terisi sejak pagi akhirnya mendapat asupan yang cukup. Perjalanan berlanjut, kami mulai memasuki daerah hutan. Well, sebenarnya agak ekstrim ketika disebut hutan, karena sebenarnya itu adalah kebun. Tetapi, tanahnya berbukit-bukit dan ditanami tanaman kayu seperti kelapa, kemiri, alpukat, dsb. sehingga lebih mirip hutan dibandingkan kebun.

Setelah 15 menit berjalan, hujan mulai mengguyur dengan lebat. Kabut terlihat di kanan atas bukit yang menjulang di depan kami, atau di jurang yang ada di samping kiri atau kanan. Jalanan memang lebar dan sudah diaspal, akan tetapi beberapa jalannya sudah rusak. Ingat dengan Petungkriyono? Nah, nyaris mirip dengan jalan di daerah itu.

Ada beberapa kampung yang kami lewati. Karena memang kami belum tahu arahnya, kami sempat berhenti beberapa saat untuk bertanya. Pemandangan yang terlihat sangat stagnan: kebun dan kabut. Cuaca yang buruk sebenarnya untuk melakukan perjalanan. Apalagi dengan medan yang jauh dari kata ‘menyenangkan’. Tapi, karena sudah diniatkan, maka tidak boleh mengeluh. Setelah beberapa waktu, terkadang ada anak sekolah yang baru pulang. Beberapa tersenyum dan menyapa kami ‘Selamat siang!’ dengan ramah. Kami membalasnya, kadang juga berhenti dan bertanya pada mereka. Kasihan sekali, baju mereka basah oleh hujan dan mereka tidak terlihat sedih sama sekali, justru gembira. Pemandangan itu membuat saya semakin berpikir, ‘Well, tidak adil kalau saya mengeluh sekarang di saat saya masih bisa pakai mantel dan naik motor’.

Setelah perjalanan yang sangaaaat lama sekali, hujan mulai berkurang, meskipun kabut masih menutupi lembah di kanan atau kiri kami. Perjalanan terus dilanjutkan. Kami bertemu serombongan anak-anak kecil yang memakai seragam pramuka dengan label ‘SDN Oja’. Alhamdulillah, kami hampir sampai.

“Iya, Ibu, Oja sudah dekat, tinggal 3 km saja,” kata mereka. Alhamdulillah...

Suasana Oja
Kami memacu motor. Dibalik tikungan, ku lihat sebuah bangunan tak begitu jauh. Mungkin itu gedung sekolahnya. Ya, tak sampai 10 menit, kami sampai di sekolah itu, SMPN 3 Nangapanda. Dua teman kami yang berada di terlihat tidak percaya ketika kami sampai.

Kami disambut dengan gembira. Duduk, berganti pakaian, ngopi, ngobrol, sholat, makan, dan sebagainya. Hujan kadang masih rintik, tetapi kami merasa tidak masalah karena berada di dalam ruangan. Angin terlihat bertiup kencang. Beberapa saat kemudian, kami turun untuk melihat tempat penampungan air yang ada di desa itu. Besar sekali, entah berapa kubik air yang ada di dalamnya.

Setelah pertimbangan matang, kami memutuskan untuk pulang—tidak berani melanjutkan perjalanan ke Malawaru—karena faktor cuaca. Perjalanan pulang terasa lebih cepat. Mungkin faktor cuaca menjadi salah satu penyebabnya. Langit terlihat biru dan kabut sudah hilang. Jadi, hamparan perbukitan di sejauh mata memandang menjadi pemandangan yang menyenangkan. Kami bahkan bisa melihat Kota Ende, Pulau Ende, dan Maukaro dari atas bukit. Kami berhenti beberapa kali untuk berfoto dan mampir sholat di SMPN 6 Nangapanda (penempatan Mbak Sri Bekti). Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.

Alhamdulillah, kami sampai di kota jam 18.45 WITA, saat matahari baru saja terbenam. Badan memang terlihat terasa capek, tetapi melihat rumah kami di kota, maka rasanya sungguh melegakan.

Perjalanan itu hanya merogoh kocek sebesar @50ribu. Memang, ada yang kami sesalkan karena kami belum sempat mengunjungi Malawaru. Tetapi, next time kami pasti akan ke sana.

Oke, itulah perjalanan kami hari itu mengunjungi Oja. Kemana lagi kami akan pergi? tunggu cerita selanjutnya ^^

#Satu tahun untuk selamanya.
@Basecamp Ikan Duyung, 15 Februari 2014

No comments:

Post a Comment