Sunday, February 16, 2014

Monev: The Biggest Day Ever (Warna-warni Ende Part. 37)


Matahari pagi datang. Mata terasa berat untuk dibuka, tapi tetap harus dibuka. Pusing melanda. Sisa-sisa mite semalam masih terasa. Saya melirik jam di layar ponsel: jam 5 pagi. Sinyal iwa ratu semalaman, sehingga tidak ada SMS yang masuk. Saya pun keluar dan mandi. Yap...rumah masih sepi, di sekitar rumah juga masih sepi—belum banyak orang yang bangun. Selesai mandi dan sholat, saya pun segera beres-beres dapur kemudian bersiap-siap. Saya coba mencari sinyal dan menghubungi Pak Korkab dan tersambung dengan penghuni basecamp: Bang Fe. Info terbaru, mereka akan datang sekitar jam 9. Saya pun segera bersiap-siap.

Rumah menjadi agak ramai, begitupun sekolah. Guru-guru mulai terlihat sibuk. Alhamdulillah, semua persiapan sudah selesai. Papan SD sudah terpasang aman dan bagus—meski beberapa hurufnya bisa tiba-tiba terlepas, pasalnya mereka menempelnya di balik baliho kampanye dengan lem kertas yang jelas-jelas tidak akan lengket dengan sempurna, yap, lagi-lagi masalah kondisi yang seadanya. Meski demikian, saya tetap bersyukur. Alhamdulillah.

Jam 9 lebih, rombongan datang dengan sebuah otokol. Otokol adalah transportasi unik dari NTT, yaitu sebuah truk yang dibuat semacam bus, diberi kursi duduk dan atap. Hampir 30 orang ada di dalamnya—termasuk Bapak WR 3, Staff, dan seorang wakil dari Dinas PPO. Ramai-ramai dan terlihat wow banget. Kami segera naik ke sekolah. Dan selama 1 jam berikutnya, teman-teman asyik melakukan berbagai kegiatan: foto-foto, masuk kelas, buat video, dan makan snack. Bapak WR 3, yang berkesempatan mengunjungi tempat itu, segera mengobrol dengan Ibu Kepsek dan guru-guru. Keadaannya terlihat semrawut tapi terlihat terkendali ^^

Selama 1 jam berikutnya, saya sibuk wira-wiri menjadi guide teman-teman dan Bapak WR, menyiapkan snack dan minum, foto-foto, dan sebagainya. Endingnya, kami foto-foto bersama-sama. Teman-teman saya menikmati kunjungan ke sekolah karena kondisi sekolah yang terlihat ‘M’ (baca: mengenaskan) itu. Jadi, terlihat wow ketika di foto dan dipasang di media sosial (well, i can’t say anything about it, rite -_-). Selesai sesi foto-foto, kami bersiap turun. Saya ikut.

Next Destination is Wologai

Wologai, Desa Berkabut yang Kekurangan Air
Saya sudah mendengar buuuuaaaannnyaaak sekali kabar seliweran tentang Wologai. Diantaranya adalah oto yang menjadi sarana transportasi utama hanya ada 2 kali dalam satu minggu, jalan yang jauh dan aduhai sekali, bahkan hampir menyeberangi seluruh Kab. Ende Selatan-Utara, dan juga udara yang dingin dan berkabut, bahkan di siang hari yang panas. Laut di pantai Utara bisa terlihat dari puncak Wologai. Wow banget kan. Istilah yang ada dibayangan saya adalah Negeri-di-Atas-Awan-nya Ende.

Perjalanan hari itu ditempuh selama 3 jam, kami sampai pada pukul 2 siang. Cuaca buruk selama di jalan: hujan angin beberapa kali ditambah kondisi jalan yang sudah rusak. Perut terasa lapar, udara terasa dingin. Hujan deras menyambut ketika kami sampai di Sekolah SATAP Wologai. Kami berteduh sambil mengantri kamar mandi untuk BAK (yang airnya sangat minim meskipun hujan deras).

Beberapa saat kemudian, kami sepakat untuk turun ke arah Mbani, karena hujan tinggal rintiknya saja. Beberapa orang memilih untuk tidak turun karena jauh—dan memang sudah pernah turun juga. Saya belum pernah, sehingga saya bersikeras ikut. Bagaimana buruknya daerah ini sih? Saya menganggap tempat tinggal saya sudah merupakan tempat ter-wow selama ini.

Mbani, Oh Wow Banget

Mbani, Hujaunya Lembah Ende
Baiklah, satu kata yang sederhana untuk Mbani adalah ‘wow!’ (dengan tanda seru). Jalannya wow! banget. Untuk arah ke Mbani dari Wologai sih tentu saja tidak terlalu sulit karena hanya jalan menurun saja. Jalan sudah setapak (dicor), bahkan lebih besar dari jalan saya menuju Ranoramba. Kabut menyapa. Meskipun suasana dingin dan berkabut, badan terasa panas karena rasa capek.

Setelah 30 menit, kami mengambil jalan pintas, yaitu turun bukit dengan kemiringan 450 (kira-kira nih, kan saya tidak bawa busur derajat :p). Setelah turun bukit, kami melintasi sebuah dusun kecil, kemudian menuruni bukit (lebih tepatnya, tidak ada jalan, hanya satu tapak saja yang menurun curam), yang berakhir di jalan utama. Terlihat 3 motor berjejer, salah satunya yang dipakai oleh Bapak WR 3. Rupanya, setelah jalan ini, motor tidak bisa masuk lagi karena menyeberang sungai. Kami menerobos kebun jagung kemudian menyeberang sungai. Air sedang deras-derasnya karena baru saja turun hujan, sehingga kami harus berpegangan erat satu sama lain—terutama berpegangan pada teman-teman yang laki-laki. Selepas sungai, kami menerobos ladang jagung (lagi), barulah sampai di tanah lapang (tanah lapang yang miring, tentu saja, karena di sini tidak ada tanah lapang yang datar seperti di Jawa). SD Wologai II terletak di sebelah kiri tanah lapang, sementara rumah Wahyu, teman kami, terletak di sebelah kanannya. Kami mengunjugi rumah itu—alih-alih ke SD.

Kami singgah di rumah selama setengah jam, makan siang dan snack, kemudian pamit karena mengejar waktu. Rencananya, sesampainya di Ende, kami masih harus melakukan monev sehingga harus sampai di Ende maksimal jam 8 malam. Nah, perjalanan naik ke Wologai lah yang paling amazing. Jalannya tidak ada yang datar, mendaki semua. Badan sudah capek, dan nafas sudah hampir habis. Saya berasa tidak kuat—tapi meneguhkan kekuatan: harus kuat, tidak boleh menyerah, tidak boleh merepotkan orang lain. Saya sampai dengan selamat, meski kata teman-teman muka saya sudah mirip kepiting rebus, hehehe...

Well, kalau ada daerah yang disebut sebagai 3T, maka Mbani terlihat lebih 3T dibandingkan sekolah saya. Nilai plusnya, Mbani sudah memiliki sekolah berdinding tembok, hehehe...

Setelah semua berkumpul, kami pun segera naik otokol. Perjalanan pulang. Alhamdulillah tidak hujan.

Monev: Dinner with Bapak WR 3

Di Resto Padang
Monev pertama kami berlokasi di sebuah rumah makan padang di Jalan Kelimutu. Rumah makannya terlihat eksklusif dan mahal. Bapak WR 3 segera memesan banyak menu istimewa. Kami makan dengan lahap, karena menunya memang istimewa sekali. Baru kali ini kami makan makanan seistimewa ini pada satu waktu: ayam goreng, rendang, telur malbi, telur goreng, sop sapi, kikil, sayur sawi, aneka jus, dan sebagainya.

Selesai makan, tibalah sesi diskusi kami. Beberapa teman mengajukan beberapa pertanyaan, diantaranya penempatan yang harus didampingi, asuransi kesehatan, dsb. Saya bertanya tentang format laporan. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, sehingga pertemuan ditutup dan kami pulang. Kami mengucapkan selamat jalan pada Bapak WR 3—beliau akan pulang hari Selasa.

Begitulah akhir perjalanan kami hari itu. Begitulah endingnya, 2 hari yang begitu roller coaster dalam hidup saya. Rasanya, ada beban berat yang terangkat, ada kegembiraan ketika pihak kampus datang dan melakukan sarasehan seperti tadi. Kerinduan pada kampung halaman rasanya sedikit terobati—yah, meskipun Bapak tidak berkunjung ke basecamp tercinta, tapi setidaknya beliau menyempatkan hadir menemui kami, para anak-anaknya, bahkan mengunjungi sekolah saya. Terimakasih Bapak WR 3.

*Satu tahun untuk selamanya, 20 Januari 2014 @basecamp tercinta.

3 comments:

  1. mba jadi kangen wologai aku, aku alumni sm-3t di smpn satap wologai. trims

    ReplyDelete
  2. mba jadi kangen wologai aku, aku alumni sm-3t di smpn satap wologai. trims.muzaki mahar p

    ReplyDelete
    Replies
    1. owh dulu di sana ya mas, hehehe. ada teman juga yang di sana. kami sedang menikmati hari-hari terakhir sebelum penarikan. katanya sih, akhir bulan ini sudah ditarik :)

      Delete