Friday, November 2, 2012

Setitik Rindu dalam Kata


Sumber Gambar
Dan cinta telah mengaburkan banyak hal dalam pandanganku.

Seolah tak akan ada yang lebih berarti dibandingkan cinta dia.

Dan aku salah…

Ah, Tuhan…

Betapa hatiku akhirnya terbuka dan menyesal lagi.

Betapa seketika Engkau menyadarkanku, bahwa Engkau lah yang Maha. Engkau pemilik segalanya, termasuk diriku dan dia. Dan tak ada kuasa bagi kami untuk melakukan apapun tanpa kehendakMu.

Ah Tuhan…

Terlambatkah diriku untuk menangis? Terlambatkah diriku untuk menyesali semuanya?

Terkadang bayangannya masih menyakiti dan menyesekkanku hingga ulu hatiku. Tapi ku coba untuk menepisnya, karena dunia masih tersenyum tanpa aku merasakan perasaan itu. Karena hidupku dan hidupnya akan berlanjut seperti roda yang berputar anggun. Karena kehidupan berjalan apa adanya ketika aku bahagia, sedih, kecewa, dsb. Karena aku harus menunaikan kewajiban sebagai hambaMu.

Ah Tuhan…

Aku tak akan menunggunya, sungguh. Karena ketika Kau berkehendak, maka apapun dapat terjadi. Karena ketika aku berdoa, doaku pasti akan dikabulkan. Hanya saja…entah aku tak tahu dengan cara bagaimana doa itu akan terkabul. Dunia masih memberikan warna yang lebih indah dibandingkan dengan harapan semu untuk cinta yang tiada akhir.

Ya, bagiku sekarang tak ada cinta yang sempurna, Tuhan.

Aku menyerahkan segala urusan ini hanya padaMu. Engkau yang Maha Kuasa dan Maha Membolak-balikkan hati. Dan hanya padaMu aku berserah.

_4 Juli 2012_

***

 
Kisah kita tak pernah akan seperti novel atau FTV, Mas.


Setiap membaca novel atau menonton FTV, ending yang terjadi dalam setiap kisah adalah bahagia. Jarang ada sedih. Bahkan tidak ada yang sedih. Semuanya berakhir bahagia. Meski, selalu ada ‘korban’ dari kebahagiaan itu. Tokoh jahat. Tokoh antagonis. Figuran tidak penting.

Kadang aku merasa kisah kita seperti di dalam novel. Dan kita berada dalam bagian tersedih. Dimana kita dihadapkan pada suatu pilihan, kenyataan yang menyakitkan, tapi karena kita saling mencintai, maka cinta kita akan menang. Dan ada orang lain terluka, tapi kita menang.

Tapi, kisah kita sekarang tidak seperti itu, Mas.

Atau kalaupun memang kisah kita seperti itu, berarti aku adalah ‘korban’ itu. Kau bahagia dan aku kalah. Aku kalah oleh kekuatan cinta kalian.

Tapi, cerita kita bukanlah novel atau FTV, Mas.

Tak ada sutradara, tak ada kru, tak ada romantisme, tak ada keajaiban tiba-tiba. Yang ada adalah kenyataan yang begitu menusuk hatiku.

Rasanya, sulit untuk menerima dengan ikhlas semua yang telah terjadi. Rasanya membahagiakan menjalani cerita kita bersama. Ataukah sebenarnya aku yang merasa bahagia, sedangkan kau tidak? Itu artinya aku menipu diri sendiri?

Aku berusaha menciptakan keajaiban sendiri dari cerita kita. Aku berdoa tiap malam dan pada akhirnya kau akan menyadari bahwa aku cinta sejatimu dan kita menikah. Happily ever after.

Tapi sayangnya, itu hanya dalam bayangan kepalaku saja. Kisah membahagiakan itu akan menjadi ide cerita hebat untuk novel, tapi tidak akan pernah terjadi dalam kehidupan nyata. Kenyataan yang terjadi adalan aku akan hidup sendiri sementara kau akan bahagia di sana—dengan orang lain.

Aku tak ikhlas, Mas.

Belum setidaknya.

Entah sampai kapan aku akan ikhlas.

Mas, aku masih menginginkanmu untuk menjadi suamiku.
 

Bolehkah aku memintanya?

_29 Juni 2012_

***

Ku niatkan hatiku untuk menyentuh dirimu lewat maya


Tapi rasa pedih dan luka karena kekosongan ini membiusku

Hingga aku melayang—lagi

Dan aku pun jatuh ke bayangmu—lagi

Tak kuasa hatiku mengeluh lagi

Karena apa yang ku rasa adalah apa yang ku tahu

Kau tak tahu, entah kau tak menahu

Ku tangkupkan rindu lewat sepotong malam dan hari-hari yang berputar bijak

Purnama silih berganti, musim tak pernah bersua hanya beranjak pergi

Dan lagi—segala yang terjadi hanya memori

Bisakah aku menguraikan kisah kita untuk tahun-tahun mendatang?
 

Kisahku dan kisahmu… 

_16 Oktober 2012_ 

***

Melihat kisah beberapa teman, membuatku menyadari banyak hal. Ah...ternyata pemahaman sesederhana ini membutuhkan banyak waktu, sakit hati, tangis, dan tawa. Pemahaman sesederhana ini sebenarnya sudah ku pahami di awal, tapi...hatiku yang tiba-tiba tergelincir menjadikan pemahaman ini menjadi buram, dan baru terlihat lebih nyata setelah aku bisa menata hatiku.

Mari, melupakan sejenak tentang perasaan ini.

Mari, memanfaatkan waktu 2 tahun ini untuk menjadi apa yang kau inginkan, yang kau bayangkan. 

:)   

Tuesday, September 11, 2012

Di Hari yang Bertoga Ini 3 (Ending?)


Baca Part. 1 dan Part. 2 lebih dulu.

***
Alhamdulillah…

Empat tahun telah berlalu.

Empat tahun yang ternyata singkat sudah berlalu. Rasanya baru kemarin aku wira-wiri Jogja-Bantul untuk mengurus pendaftaran Seleksi Mandiri (SM) UNY 2008. Rasanya baru kemarin ketika aku berteriak senang saat namaku ada di Kedaulatan Rakyat pagi itu. Rasanya baru kemarin ketika aku mengikuti OSPEK—sendirian tanpa kawan. Rasanya baru kemarin ketika aku bergabung dalam HIMA, dan bertemu dengan dia. Rasanya baru kemarin  ketika aku menjalani hari-hari bersama dia: rapat, mading, buletin, artikel, workshop, lomba, panitia ini dan itu, dsb. Rasanya baru kemarin ketika akhirnya aku menjadi Kabid (Ketua Bidang) menggantikan dia. Rasanya baru kemarin ketika akhirnya aku turun jabatan, menginjak semester 6. Rasanya baru kemarin ketika menjalani KKN-PPL di SD P*rcobaan 1. Rasanya baru kemarin ketika kita menapaki jalan di Semaki itu berdua. Rasanya baru kemarin menikmati masa-masa skripsi yang haru, biru, sendu, suka, dan bahagia.

Alhamdulillah.

Dan hari ini aku menerima ijasahku. Aku dinyatakan lulus. Aku diwisuda. Aku sudah bukan mahasiswa lagi.
Bukankah seharusnya aku bahagia dengan hari ini?

Ya, dibandingkan dengan puluhan teman-teman satu angkatanku yang belum lulus, sungguh, aku tak pantas untuk mengeluh. Namun, apa yang barusan terjadi padaku memang di luar dari kuasaku.

Dia, Mas Hasbi, dia mengatakan masih sayang padaku.

Padahal dia, Mas Hasbi, 3 bulan yang lalu memutuskanku.

Dan sekarang, dia, Mas Hasbi, memintaku untuk merajut cerita bersama kembali.

Apa yang harus ku jawab?

***

Mobil melaju menembus padatnya Jogja di siang hari. Ponsel masih ku pegang. SMS dari Mas Hasbi masih terpampang di layarnya. SMS itu dikirim sekitar 1 jam yang lalu, ketika aku masih ada di GOR UNY. Tapi, SMS itu belum ku balas.

“Aku datang karena aku masih sayang kamu. Aku tahu aku sudah jahat. Kamu mau kan maafin aku? Bila masih ada kesempatan, aku ingin kita memperbaiki apa yang pernah terjadi di antara kita.”

Dan aku harus membalas apa, coba? Aku harus bilang, iya kah, atau tidak kah?

Sebenarnya, aku sudah pernah memikirkan kemungkinan ini. Dan selalu, jawabannya adalah ‘iya’. Cowok berhak untuk memilih, cewek berhak untuk menolak. Dan tak ada alas an untuk menolak Mas Hasbi. Meski ia begitu sering menyakitiku, tapi ia memberikan kebahagiaan yang lebih besar lagi. Dan dia…kesempurnaan yang dia miliki, tak bisa ku cari kelemahannya. Justru kelemahannya menjadi kesempurnaan di mataku.

Tapi…

Bagaimana kalau ia kembali menyakitiku? Membayangkan hubungan yang akan jauh (dia di Temanggung dan aku di Bantul), pernikahan yang akan semakin lama terjadi karena dia masih 23 tahun, dan hal yang lainnya, sungguh menakutkan.

Tidak…itu semua di luar kuasa kami.

Solusi sementara dari tawarannya adalah kami pacaran—dan itu adalah sesuatu yang saat ini bukan aku inginkan. Bisakah aku menjalanai Long Distance Relationship? Bisakah aku hanya bertemua ia sebulan, dua bulan, atau bahkan tiga bulan sekali? Bisakah kami bertahan dalam tahun-tahun mendatang yang penuh ketidakjelasan? Apa ada jaminan bahwa hubungan ini akan tertuju pada satu titik bernama pernikahan?

Aku mengamati jalanan mulai lenggang…sudah memasuki daerah Bantul, kota kelahiranku. Di kursi depan, ku dengar Bapak dan Ibuk bercakap tentang kuliah adikku. Di sampingku, adik semata wayangku sedang asyik online. Di kursi belakang, ada Mbak dan pacarnya. Aku melihat Mas Rian dan membayangkan bila aku berada dalam posisi sebagai Mbakku.

Tidak, semuanya terlalu rumit.

Semuanya di luar kuasaku atau Mas Hasbi.

Semuanya penuh ketidakjelasan.

Aku menutup mataku sejenak, merasa lelah, dan tak terasa aku tertidur.

***

“Aku sudah memaafkan Mas Hasbi. Sungguh, akupun masih (sangat) menyayagi Mas Hasbi. Tapi, maaf Mas Hasbi, aku masih ingin menikmati masa-masa sendiriku untuk saat ini. Aku sudah 23 tahun dan di usia 25 tahun aku akan menikah. Bila Mas Hasbi jodohku, maka datanglah 2 tahun lagi. Bila bukan, maka masing-masing dari kita akan memiliki jodoh yang terbaik. Maaf dan terimakasih.”

SMS itu ku kirim 3 jam kemudian.

Tak sampai 5 menit, Mas Hasbi sudah membalasnya, “Amin. Ya, aku mengerti. Maaf dan terimakasih.”
Satu hari kemudian, aku membaca status facebook-nya.

“Bila jodoh tidak akan kemana.”

Aku tersenyum.

“Ya Allah, jodohkanlah aku dengannya. Amin.”


#emmm...kok ending-nya tetap menggantung ya? hehe...

Monday, September 10, 2012

Agar Balita Mau Mendengarkan

Mendengarkan dan mengikuti instruksi yang diberikan oleh bunda atau ayah memang bukan hal favorit balita terutama usia prasekolah. George Morison, Ed.D, professor Fakultas Pendidikan Usia Dini Universitas Texas, Denton, mengatakan, di saat yang sama, anak-anak usia 3-5 tahun menjadi sangat independent yang artinya tidak menyukai interupsi. Mengacuhkan Anda, orantuanya, adalah satu cara untuk menunjukkan ‘kekuasaanya.’

Namun memaklumi kebutuhan anak untuk mandiri bukan berarti mengijinkannya untuk tak mendengarkan Anda. Adalah sangat penting mengajarkan ia untuk mendengarkan, sebelum mengacuhkan Anda-dan orang lain-menjadi kebiasaan. Membangun ketrampilan sosial yang benar akan membantunya sukses di sekolah dan dalam pergaulan. Anda bisa mulai mendorong balita untuk mendengar dengan strategi ini:
  • Tunjukkan empati. Anak akan lebih mudah mengungkapkan masalahnya pada orangua yang mau mendengarkan mereka.
  • Hindari pembicaraan jarak jauh. Berteriak dari depan rumah untuk berbicara dengan anak yang sedang bermain di kamarnya tentu tidak akan ada hasilnya. Dekati ia, sentuh bahunya, panggil namanya dan katakan keinginan Anda. Jangan bicara sebelum balita melakukan kontak mata dengan Anda. Bila ia tak menjawab, minta dengan nada ramah untuk menatap Anda.
  • Kalimat pendek saja. Mengomel panjang lebar atau memberi petuah 200 kata sudah pasti membuat anak makin tak betah di dekat Anda. Buat kalimat yang mudah dipahami dan langsung sasaran, dan jadikan hanya dua atau tiga tahap dalam sekali perintah (“Pakai sepatumu, ambil tasmu, Ibu tunggu di mobil, ya!”). minta ia mengulang istruksi Anda sehingga ia ingat apa yang harus dikerjakan.
  • Turunkan volume. Teriakan membuat anak tak suka mendengarkan Anda karena mereka fokus pada kemarahan Anda, bukan pada kata-kata Anda. Kata-kata lembut, walu tetap tegas, akan lebih didengar karena mereka merasa diperhatikan.
  • Gunakan bahasa tubuh. Perkuat permintaan Anda dengan menggunakan gerakan, misalnya jari menunjuk ke arah kamar ketika Anda meminta balita tidur. Bisa juga Anda ciptakan kode rahasia bersama balita sebagai petunjuk bila Anda minta didengarkan, seperti mengerutkan hidung. Sudah pasti, humor lebih baik daripada pendekatan yang terlalu galak.
  • Lengkapi konsekuensi. Katakan permintaan Anda hanya sekali atau dua kali, dan tambahkan konsekuensinya. “Kalau kamu tidak membereskan bonekamu, kita tidak akan pergi ke rumah Oma.” Atau ketika Anda bertanya ingin es krim atau tidak dan ia tidak menjawab, singkirkan, dan jika kelak ia minta, jawab dengan,”Wah, maaf. Es krimnya sudah habis.” Ini mengajarkan anak untuk mendengarkan setiap kali Anda bicara.
  • Tidak memutus aktivitas. Terkadang orangtua perlu membiarkan balita asik dengan kegiatannya sebelum memintanya untuk mendengarkan Anda. Terlalu sering memutus kegiatannya hanya akan membuatnya makin cuek pada Anda. Bicaralag pada saat ia sedang tidak terlalu intens pada suatu aktivitas. Beri ia waktu beberapa saat sebelum ia harus menghentikan aktivitasnya dan melakukan hal lain. Jangan lupa, setelah ia mendengarkan Anda, berilah pujian dan apresiasi. 
#setelah saya amati, artikel ini sebenarnya tak hanya ditujukan untuk balita, tapi juga anak usia SD kelas rendah.

sumber: http://m.ayahbunda.co.id/article/mobArticleDetail.aspx?mc=001&smc=007&ar=444

Thursday, September 6, 2012

Sesuatu yang Hanya Mampu Ku Tuliskan dalam Blog



Untuk:

Ibuk
Bapak
Mbakku
Adekku
Budhe Dah
Pakdhe Tarom dan Mamak
Simbah Dawamah dan Mbah Muhdi
Kakak pertama sampe ke enam, Mas Ahid, Mas Ikhan, Mas Imim, Mas Sidiq, Mas Izud, Mas Muna
Dek Nana dan Tiwik, Bulek, Paklik
Fe, dan Bapak Ibuk
Nisayu, Dian, Hety, Pika, Tami, dan semua sahabat-sahabat
Mas Irham dan KomTE
Mas Ashim, Mas Ian, Mas Najib, Ali, Ino

Terimakasih untuk semua-semua-semua-semua-semua-semua-semua yang tak bisa disebutkan satu-satu. Semua yang ku dapatkan dalam 23 tahun ini tak ada artinya tanpa kalian. Dan sekarang adalah tanggungjawabku untuk menjadikan apa yang sudah ku peroleh itu berguna untuk semua orang—hanya itulah cara yang bisa ku lakukan untuk membalas semua itu. Terimakasih. Terimakasih. Terimakasih.

Semoga Allah membalas semua yang telah kalian berikan padaku dengan balasan yang LEBIH baik lagi. Amin ya Robbal ‘alamin.

"Dari Lubuk Hati yang Paling Dalam"
www.arifahfatih.tumblr.com