Tuesday, September 11, 2012

Di Hari yang Bertoga Ini 3 (Ending?)


Baca Part. 1 dan Part. 2 lebih dulu.

***
Alhamdulillah…

Empat tahun telah berlalu.

Empat tahun yang ternyata singkat sudah berlalu. Rasanya baru kemarin aku wira-wiri Jogja-Bantul untuk mengurus pendaftaran Seleksi Mandiri (SM) UNY 2008. Rasanya baru kemarin ketika aku berteriak senang saat namaku ada di Kedaulatan Rakyat pagi itu. Rasanya baru kemarin ketika aku mengikuti OSPEK—sendirian tanpa kawan. Rasanya baru kemarin ketika aku bergabung dalam HIMA, dan bertemu dengan dia. Rasanya baru kemarin  ketika aku menjalani hari-hari bersama dia: rapat, mading, buletin, artikel, workshop, lomba, panitia ini dan itu, dsb. Rasanya baru kemarin ketika akhirnya aku menjadi Kabid (Ketua Bidang) menggantikan dia. Rasanya baru kemarin ketika akhirnya aku turun jabatan, menginjak semester 6. Rasanya baru kemarin ketika menjalani KKN-PPL di SD P*rcobaan 1. Rasanya baru kemarin ketika kita menapaki jalan di Semaki itu berdua. Rasanya baru kemarin menikmati masa-masa skripsi yang haru, biru, sendu, suka, dan bahagia.

Alhamdulillah.

Dan hari ini aku menerima ijasahku. Aku dinyatakan lulus. Aku diwisuda. Aku sudah bukan mahasiswa lagi.
Bukankah seharusnya aku bahagia dengan hari ini?

Ya, dibandingkan dengan puluhan teman-teman satu angkatanku yang belum lulus, sungguh, aku tak pantas untuk mengeluh. Namun, apa yang barusan terjadi padaku memang di luar dari kuasaku.

Dia, Mas Hasbi, dia mengatakan masih sayang padaku.

Padahal dia, Mas Hasbi, 3 bulan yang lalu memutuskanku.

Dan sekarang, dia, Mas Hasbi, memintaku untuk merajut cerita bersama kembali.

Apa yang harus ku jawab?

***

Mobil melaju menembus padatnya Jogja di siang hari. Ponsel masih ku pegang. SMS dari Mas Hasbi masih terpampang di layarnya. SMS itu dikirim sekitar 1 jam yang lalu, ketika aku masih ada di GOR UNY. Tapi, SMS itu belum ku balas.

“Aku datang karena aku masih sayang kamu. Aku tahu aku sudah jahat. Kamu mau kan maafin aku? Bila masih ada kesempatan, aku ingin kita memperbaiki apa yang pernah terjadi di antara kita.”

Dan aku harus membalas apa, coba? Aku harus bilang, iya kah, atau tidak kah?

Sebenarnya, aku sudah pernah memikirkan kemungkinan ini. Dan selalu, jawabannya adalah ‘iya’. Cowok berhak untuk memilih, cewek berhak untuk menolak. Dan tak ada alas an untuk menolak Mas Hasbi. Meski ia begitu sering menyakitiku, tapi ia memberikan kebahagiaan yang lebih besar lagi. Dan dia…kesempurnaan yang dia miliki, tak bisa ku cari kelemahannya. Justru kelemahannya menjadi kesempurnaan di mataku.

Tapi…

Bagaimana kalau ia kembali menyakitiku? Membayangkan hubungan yang akan jauh (dia di Temanggung dan aku di Bantul), pernikahan yang akan semakin lama terjadi karena dia masih 23 tahun, dan hal yang lainnya, sungguh menakutkan.

Tidak…itu semua di luar kuasa kami.

Solusi sementara dari tawarannya adalah kami pacaran—dan itu adalah sesuatu yang saat ini bukan aku inginkan. Bisakah aku menjalanai Long Distance Relationship? Bisakah aku hanya bertemua ia sebulan, dua bulan, atau bahkan tiga bulan sekali? Bisakah kami bertahan dalam tahun-tahun mendatang yang penuh ketidakjelasan? Apa ada jaminan bahwa hubungan ini akan tertuju pada satu titik bernama pernikahan?

Aku mengamati jalanan mulai lenggang…sudah memasuki daerah Bantul, kota kelahiranku. Di kursi depan, ku dengar Bapak dan Ibuk bercakap tentang kuliah adikku. Di sampingku, adik semata wayangku sedang asyik online. Di kursi belakang, ada Mbak dan pacarnya. Aku melihat Mas Rian dan membayangkan bila aku berada dalam posisi sebagai Mbakku.

Tidak, semuanya terlalu rumit.

Semuanya di luar kuasaku atau Mas Hasbi.

Semuanya penuh ketidakjelasan.

Aku menutup mataku sejenak, merasa lelah, dan tak terasa aku tertidur.

***

“Aku sudah memaafkan Mas Hasbi. Sungguh, akupun masih (sangat) menyayagi Mas Hasbi. Tapi, maaf Mas Hasbi, aku masih ingin menikmati masa-masa sendiriku untuk saat ini. Aku sudah 23 tahun dan di usia 25 tahun aku akan menikah. Bila Mas Hasbi jodohku, maka datanglah 2 tahun lagi. Bila bukan, maka masing-masing dari kita akan memiliki jodoh yang terbaik. Maaf dan terimakasih.”

SMS itu ku kirim 3 jam kemudian.

Tak sampai 5 menit, Mas Hasbi sudah membalasnya, “Amin. Ya, aku mengerti. Maaf dan terimakasih.”
Satu hari kemudian, aku membaca status facebook-nya.

“Bila jodoh tidak akan kemana.”

Aku tersenyum.

“Ya Allah, jodohkanlah aku dengannya. Amin.”


#emmm...kok ending-nya tetap menggantung ya? hehe...

6 comments:

  1. ya salam....segitu nya mbak...hanya stu kata mbk buat jenengan...temuilah dia lewat do'a,terimalah dia karna ALLAH...pasti ending nya gak gantung....bahagia itu indah...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sippp....
      Menemui lewat doa mas/pak...
      Endingnya pasti yang terbaik...
      Bahagia itu sederhana: bersyukur ^^

      Delete
  2. Replies
    1. Sedang mencari tulang rusuknya, @Kota di Atas Awan ^^

      Delete
  3. blog nya dah bagus ya, ayo di update dan di bagusin :D di tunggu tulisan dan kisah2 lain nya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Trimakasih sudah mampir...
      Hehehe...
      Semoga bisa segera update lagi :D

      Delete