Saturday, December 14, 2013

Cooking with Children (Warna-warni Ende Part. 25)


Praktik pendidikan di Ende dengan tempat kelahiran saya itu berbeda. Di Bantul, ujian semester diadakan selama hampir 2 minggu. Untuk SD saya dulu, ujian tertulis dilaksanakan dalam hari-hari pertama ujian, lanjut ujian praktik di akhir minggu, barulah ujian diniyah setelahnya. Berbeda dengan praktik di sini. Ujian praktik dilaksanakan satu minggu sebelum ujian tertulis—atau yang pernah disebut juga dengan minggu tenang. Jadi, tidak ada KBM, hanya ujian begitu saja.

Untuk ujian praktik tidak terlalu beda dengan di Bantul. Kami ujian praktik Bahasa Indonesia, SBK, Penjaskes, Agama Katolik, dan Mulok. Mulok inilah yang paling saya tunggu-tunggu. Mengapa? Karena di hari itu saya akan memasak.

Sumber Gambar
Okelah, saya kan cukup hobi memasak. Maksud saya, saya sudah menghabiskan masa-masa terdahulu saya dengan menonton acara memasak. Mulai dari gula-gula, dapur kita, selera nusantara, dan aneka acara TV yang bertema memasak. Saya juga suka membaca majalah memasak, melihat gambar-gambar masakan, dan sambil membayangkan saya membuat masakan seperti ini. Hanya saja, karena keterbatasan bahan dan alat masak, saya pun jarang praktiknya. Meski, untuk urusan memasak, saya lebih jago dibandingkan kakak perempuan saya, wkwkwwkk... :P

Tapi sejak di sini, saya memiliki sense yang berbeda soal memasak. Maksud saya, agak sulit memasak di dapur orang lain. Saya amati, memang, ketika saya memasak di dapur lain, selalu terlihat kikuk dan hasilnya tidak seyahud ketika di dapur sendiri. Hasilnya, beberapa masakan saya gagal di sini. Misalnya, bikin sayur yang keasinan, onde yang belum masak dalamnya, ikan yang aneh, dsb....Makanya saya agak deg-degan ketika ada praktik memasak.

Berdasarkan kesepakatan dengan Ibu Astin, kami pun berencana untuk membuat nasi kuning. Awalnya kami mau buat Onde, tapi kelas 2 bilang, mereka sudah mau bikin Onde. Kami pun mengalah (FYI, akhirnya, kelas 2 ikut-ikutan bikin nasi kuning -____- saya agak dongkol tapi ya sudahlah). Berita buruknya, saya belum pernah bikin nasi kuning. Pokoknya, makanan yang berhubungan dengan nasi itu saya tidak mau dekat-dekat. Alasannya simpel, takut gosong dan tidak masak. Karena nasi itu urgen, kalau nasi tidak enak tapi lauknya enak pasti tetap enak. Tapi, kalau nasi masak tapi lauk tidak enak, tidak terlalu masalah juga.

H-3 anak Ibu Asti sakit. Saya mulai bingung. Ibu Astin turun ke kota.

Hari H, Ibu Astin tidak berangkat. Saya grogi. Seadanya saja, saya memasak nasi kuning itu. Dengan panduan singkat dari Ibu Emi dan Ibu Herlin, saya memasak bersama kesembilan anak di kelas. Memasaknya memang mudah, menyalakan apinyalah yang setengah mati. Soalnya anak-anak bawa kayu api yang beberapa masih basah dan susah menyala. Memasak yang maksimal hanya butuh waktu 2 jam, kali ini sampai jam setengah 12 baru matang. Itupun, masak ada sesi kedua nasi kuning yang belum matang.

Anak-anak Sibuk Menyalakan Api...Bullll!!! Asep tok...
Alhamdulillah, untuk produk pertama, saya merasa tidak terlalu gagal. Wangi daun pandan dan gurihnya santan tetap terasa. Rasanya tetap enak kok, meski telur dadar yang kami buat juga terlalu asin.

Sayang, saya tidak sempat menfoto selama kegiatan. Makhlumlah, saya sendiri bersama 9 orang anak yang sama bingungnya dengan saya. Jadi, saya tidak ada waktu untuk pegang ponsel ataupun menfoto. Hanya satu jepreten saja.

Lain kali, di akhir semester mendatang, saya mau memasak apa yang sudah saya bisa saja, misalnya nasi goreng spesial, tart ubi, dan sebagainya. Pokoknya, yang saya tidak bisa, saya tidak mau... ^^

#Satu tahun untuk selamanya, 8 November 2013.

No comments:

Post a Comment