Sunday, November 10, 2013

Simbahku, I Love You Full (Warna-warni Ende Part. 13)


Ini adalah postingan dan catatan pertama saya untuk Simbah tercinta. Sebenarnya agak tak berhubungan dengan Ende. Jadi yang mau skip, boleh langsung baca postingan selanjutnya saja ^^.

Cerita ini berkisah tentang Mbah Uti dan Mbah Kakung tercinta. Well, saya sebenarnya masih punya Simbah lain dari Bapak, Mbak Kaji Putri dan Mbah Kaji Kakung. Tapi, keduanya sudah wafat jauh sebelum saya bisa merasakan cinta mereka. Jauh sebelum saya bisa mengenal mereka.

Mbah Kaji Putri lebih dulu wafat ketika saya masih usia 5 atau 6—entah saya tidak ingat kapan tepatnya Simbah meninggal. Tak banyak memori tentang beliau—kecuali saya sering diajak ke pasar oleh Ibuk dan masuk ke toko Simbah yang padat dan bau manis gula batu. Bau gula batu itulah yang ada di memori saya. Mbah Kaji Kakung wafat ketika saya kelas 4 SD. Memori tentang beliau ada, hanya sebatas ketika saya minta uang recehan pada Simbah untuk beli es dong-dong. Dan saya masih ingat, Simbah membuka laci lemarinya yang berisi buaaaannnyak sekali uang receh. Jaman itu, recehan sama berharganya dengan uang lima ribu atau sepuluh ribu sekarang ini. Lalu memori lain saat Simbah sakit dan tinggal di rumah lor pun ada. Saya masih ingat juga, ranjang tempat saya tidur selama 10 tahun lebih adalah ranjang Simbah Kaji selama dirawat di rumah lor.

Lalu, saya pun hanya tinggal punya 2 Simbah, Mbak Uti dan Mbah Kakung. Simbah dari pihak Ibuk. Mereka orang tua Ibuk. Mereka tinggal di Tajeman.

Saya cukup dekat dengan Mbah Uti dan Mbah Kakung. Mungkin karena saya sering sekali ke Tajeman. Saya menganggapnya sudah seperti rumah kedua. Setiap weekend saya selalu ke sana, main dengan Mas Khan, Mas Min, dan sebagainya. Kalau mereka pergi, saya tinggal di rumah Simbah. Semasa SMP, saya lebih banyak tinggal di sana karena SMP saya di dekat sana. Saya sering memasak dengan Mbah Uti, mengobrol ala kadarnya (coba deh, mana bisa saya ngobrol dengan Mbah Uti, saya kan masih SMP -_-), bantu-bantu Simbah, dsb.

Ya, saya sering berinteraksi dengan Mbah Uti.

Lalu, beberapa tahun kemudian Simbah wafat, saya lupa ketika saya usia berapa. Ketika saya SMA kelas 1 mungkin. Sunday morning rain is falling. Saya kehilangan beliau. Saya menangis.

Dan kemudian saya pun hanya tinggal punya Simbah Kakung saja. Saya jarang berinteraksi dengan beliau. Apalagi ketika saya kuliah pun semakin jarang berkunjung. Kemudian saya mulai mengajar di SDIT dan saya sering bertemu Simbah. Simbah semakin tidak sehat, mungkin karena usia yang sudah menua. Katanya Simbah sudah 100 tahun lebih. Kadang dengan saya pun sudah tidak ingat.

Beberapa waktu lalu, Mas Aziz bercerita tentang Simbah. Simbah bercerita tentang seorang temannya yang heran kenapa Simbah betah sendiri setelah Mbah Uti meninggal—tidak mencari penggantinya.

“Lha wong aku ikhlas kok ngene ki,” kata Mbah Kakung (redaksinya mungkin agak berubah ya, kan sudah dari sumber kedua, artinya ‘saya sudah ikhlas’).

Saya menangis dan bergetar ketika Mas Aziz berkata begitu. Dengan bahasa yang sesederhana itu, Mbah Kakung menunjukkan keromantisannya. Ya, karena Mbah Kakung ikhlas dengan kepergian Mbah Uti jadinya beliau masih tetap setia. Setia untuk tidak menduakan Simbah Uti. (Gusti, semoga Engkau memberikan surga pada Mbah Uti, amin :*)

Ah, Mbah Akung keren banget... Love you full, Mbah Akung :*

Beberapa hari lalu, saya dengar Mbah Akung jatuh (entah terpeleset atau tidak) dan luka ringan. Sejak saat itu, keseimbangan beliau sepertinya berkurang. Ya, Mbah Akung sudah tua. Mungkin waktu Simbah di dunia tidak akan lama lagi.

Ah...Gusti, jagalah Mbah Akung selalu, semoga selalu sehat. Semoga Engkau masih berkenan untuk memberikan kesempatan pada saya untuk bertemu Mbah Akung tahun depan, ketika saya kembali ke rumah. Semoga Engkau memberikan kesempatan pada beliau untuk menimang cicitnya. Semoga Engkau memberikan kesempatan pada beliau untuk menjadi saksi dalam pernikahan saya kelak. Aminn... *berdoa khusyuk.

Postingan saya kali ini...entahlah...saya hanya merasa bahwa saya benar-benar menyayangi Simbah. Mbah Akungku... :* (nangis seember)

1 comment:

  1. Update: simbah kakung wafat pada tahun 2017. Sedih? Iya. Saking sedihnya air mata saya TIDAK menetes. Semoga surga untuk beliau, lahal fatihah

    ReplyDelete