Wednesday, January 22, 2014

New Year’s Eve ala Ende (Warna-warni Ende Part. 33)


Malam tahun baru pastilah diisi dengan satu agenda wajib: melihat kembang api. Tapi, karena dari tahun ke tahun pesta kembang api yang saya nikmati hanyalah seputar jam 9-10 malam kemudian tidur dan terbangun pada pagi hari tanggal 1 dengan keadaan yang biasa—maka pada tahun ini pun saya tidak begitu menginginkan malam tahun baru yang amazing. Cukup menghabiskannya dengan kawan-kawan saja. Sederhana, tapi bermakna. Toh, tahun baru yang terpenting bukan jalan-jalan dan perayaannya, tapi resolusi yang perlu dibuat ^^

Setelah seharian kemarin menggila di pantai tak bernama dan bakar-bakar ikan, hari ini saya berencana untuk pergi ke Puudombo dan merayakan malam tahun baru di sana. Memang, sudah ada undangan resmi dari para penghuni rumah agar kami datang. Karena di kontrakan masih ada beberapa orang yang galau tidak ada acara, saya bersama enam orang lainnya berangkat naik bemo ke Puudombo.

Sesampainya di sana, kami memasak. Menunya adalah nasi kuning, ayam goreng, tumis buncis,  ikan bakar, sambal tomat, dan kerupuk. Selesai memasak, kami pun bersih diri dan bersiap  untuk doa. Kami doa bersama dengan Pak Haji. Ada semacam sesaji yang terdiri atas dua nampan. Satu nampan berisi ayam goreng dan nasi, sedangkan nampan lainnya berisi biskuit roma dan sirih pinang. Ada juga teh dan kopi di masing-masing nampan. Kaleng berisi kemenyan yang baunya harum tapi menyengat diletakkan tak jauh dari sesaji. Sesaji diletakkan di tengah, di hadapan Pak Haji. Kami berkumpul mengelilingi sesaji. Pak Haji memimpin berdoa selama kurang lebih 10 menit.

Selesai berdoa, kami pindah rumah dan mulai pesta. Benar-benar makanan yang wow banget lah. Enak iya. Kami semua makan dengan lahap. Eh, pas sedang makan, listrik mati. Terpaksalah kami makan dalam kegelapan. Tak masalah, tetap nikmat ^^. Kelar makan, kami mengobrol.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam ketika kami keluar rumah. Kami berencana untuk Gawi. Gawi adalah nama tarian tradisional di area Ende. Gawi biasanya dilakukan saat ada perayaan/pesta, semisal arisan pendidikan, ae petu, nikahan, orang meninggal, bangun rumah, dsb. Apapun yang penting ada pesta, maka gawi pasti akan dilakukan sambil mite alias begadang semalaman.

Musik sudah diputar. Mama, kakak, dan beberapa tetangga sudah turun di tengah lapangan, menari gawi. Saya tetap diam, memperhatikan. Well, sebenarnya, meskipun sudah beberapa kali saya pergi ke pesta, saya tetap belum pernah melakukan gawi. Bukan apa-apa sih, saya hanya malu saja untuk melakukan beberapa tarian tradisional. Malu salah. Malu karena tidak sesuai dengan adat yang biasa. Setelah 1 jam, akhirnya saya pun ikut bergabung dengan mereka. DIPAKSA. Dan, kami pun menggawi bersama. Well, bisa dikatakan bahwa menggawi lebih mirip poco-poco Jawa. Gerakannya cukup simpel.

Snapshot at New Year's Eve

Setelah  satu jam lebih menggawi, jam sudah menunjukkan pukul setengah 11, artinya setengah jam lagi tahun akan berubah. Maka, kami pun segera naik pick up untuk melihat keadaan kota pada saat pergantian tahun. Pick up berjalan cepat menembus kegelapan malam. Hawa dingin menyapa. Bau anyir pantai memenuhi udara. Dari kejauhan, tampak titik-titik lampu di tengah samudra, menandakan adanya kehidupan di Pulau Ende. Di sisi yang lain, tampak deretan lampu kelap-kelip dan gemerlap kembang api: Kota Ende. Takjub. Pemandangan malam hari di Kota Ende memang berbeda dengan kota-kota lain yang pernah saya datangi. Saya memang belum pernah melihat kota di pinggir pantai, jadi melihat Ende di saat malam tahun baru merupakan hal yang sangat berbeda.

Kota mulai terlihat lebih dekat. Pick up berjalan dengan pelan namun pasti. Kembang api mulai terlihat semakin dekat. Bunyi-bunyian musik mulai terdengar semakin keras. Yap, salah satu keunikan dari Kota Ende adalah deretan sound system yang diletakkan di pinggir jalan dan semua orang berjoget. Dentuman musik terdengar hampir di sepanjang jalan. Ramai. Pick up semakin mendekati pusat kota. Kembang api bersahut-sahutan dinyalakan.

Sampai di pusat kota, banyak motor melakukan konvoi, menyalakan kembang api, dan sebagainya. Di setiap perempatan terlihat seragam polisi yang berjaga, mengamankan apabila terjadi hal-hal di luar batas.

Setelah 20 menit berputar dan melihat pemandangan yang memang benar-benar ramai—seolah semua penduduk kota Ende keluar dari rumah, kami pun menuju ke Puudombo lagi. Hari itu, saya mendapatkan pengalaman yang pasti hanya terjadi sekali seumur hidup.

Ada beberapa hal yang saya cermati dalam pesta perayaan tahun baru. Jika dibandingkan dengan keadaan pesta tahun baru di Jogja, pemusatan pesta terjadi di hampir semua sudut kota Ende. Berbeda, di Jogja pesta dipusatkan pada beberapa titik, misalnya alun-alun, titik nol, mandala krida, atau tempat yang memang menjadi spot acara. Jadi, ketika tahun berganti, akan ada hitungan mundur dan penyalaan kembang api yang amazing secara bersama-sama. Di Ende, saya bahkan tidak tahu dimana pusat acara dan kapan pergantian tahun terjadi karena semua kembang api dinyalakan bersahutan.

Tapi, dari tingkat kehebohannya, jelas Ende lebih heboh. Terutama karena hampir di setiap sudut ada sound system yang dinyalakan dan banyak orang berjoget sampai pagi. Asyiknya lagi, di Ende, keindahan malam tahun baru terlihat dari kejauhan, ketika kembang api dinyalakan dan bayangannya memantul di samudra. Indah. Pasti dari jalan Nangaba atau pulau Ende, keindahannya tampak wow banget.

Meski demikin, keduanya memiliki keasyikan tersendiri, kok. Baik Jogja maupun Ende memiliki keindahan tersendiri. Bagi saya, keduanya memiliki cerita masing-masing. Saya pernah menikmati malam tahun baru di Jogja dari atas balkon mandala krida. Di Ende, saya pernah menikmati malam tahun baru dari atas pick up keliling kota. Keduanya pengalaman yang amazing.

Malam itu, saya tidur jam 2 malam. Paginya, saya bangun terlimbat. Ini ceritaku, mana ceritamu?

#satu tahun untuk selamanya, edisi malam tahun baru, 31 Desember 2013-1 Januari 2014

No comments:

Post a Comment