Saturday, October 26, 2013

Leaving on the Jet Plane (Warna-warni Ende: Part.1)

Pemandangan dari Atas Pesawat Menuju Ende *dokumentasi pribadi


Hari ini adalah tanggal 15 September 2013.
Hari ini, untuk pertama kalinya saya akan melakukan buaaaaaannnyak sekali hal yang belum pernah sekali pun saya lakukan.
Pertama, meninggalkan Jogja untuk pertama kalinya dalam jangka waktu yang lama (satu tahun).
Kedua, naik pesawat (hahahaha...kalian boleh tertawa, tapi pengalaman naik pesawat kan tidak semua orang pernah alami, kan? Well, saya tidak se excited banyak orang sebenarnya).
Ketiga, menginjakkan kaki di tanah orang. Beda pulau. Beda adat. Beda budaya. Banyak beda!
Keempat, berpisah ini dengan Mas Aziz, Ibuk, dan semua keluarga dalam jangka waktu yang lama (satu tahun).
Dan sebenarnya masih banyak hal lainnya, hanya saja poin-poin itu tadi yang benar-benar amazing.
Nah, kenapa sih saya HARUS melakukan banyak hal itu?
Cerita bermula sejak bulan Juli, dimana ada pembukaan program SM3T di website UNY. Well, saya memang sudah punya niat untuk mengajar di daerah terpencil sejak satu tahun lalu, sejak saya dengan sama excited-nya mendaftar Indonesia Mengajar. Sayang, saya tidak dapat restu Ibuk waktu itu, disuruh mengajar di SDIT dulu. Jadilah saya memutuskan untuk fokus di SDIT selama 1 tahun ajaran. Tapi, tetap, ada ambisi untuk ikut program mengajar di daerah 3T—meski saya sudah mengeliminasi ikut IM dalam big plan saya. Saya benar-benar berharap mendapatkan pengalaman dan pembelajaran hidup yang amazing banget, yang tidak bisa didapatkan ketika saya tinggal di Bantul (atau di daerah seputaran tanah Jawa).
Akhirnya, begitu ada pendaftaran program SM3T, saya pun mendaftarkan diri (sebenarnya saya tahu infonya cukup telat sih). Tentu saja ada pertimbangan banyak sebenarnya. Pertama, karena ada pembukaan CPNS-an. Well, saya akan ketinggalan agenda besar itu. Tapi, kalau saya tidak ikut SM3T, saya yakin saya akan menyesal suatu hari nanti. Sementara CPNS, saya masih bisa ikut setelah pulang dari tanah rantau (ngayem-ayemi ati critane ki, wkwkwk). Kedua, waktu nikah saya akan di pending lagi selama 2 tahun, padahal Mas Ikhan dan Mbak Pik sudah nikah. Harusnya saya bisa nikah tahun depan -_-. Ini bagian yang tidak saya sukai....heemmm...ngapunten nggeh Ibu dan Mas. Ketiga, rasanya sangat berat untuk meninggalkan Mas Aziz. Membayangkan 1 tahun tanpa dia itu sesuatu yang tidak terimajinasikan (nglebay euy!!!hahaha)
Begitulah, saya mendaftar di detik-detik terakhir. Tepat beberapa jam sebelum pendaftaran ditutup.
Setelah itu, serangkaian tes saya lewati.
Saya rasa, tes untuk mendaftar SM3T cenderung lebih mudah daripada tes IM. Jadi, saya sih santai saja. Santai dalam artian, diterima ya oke, tidak ya sudahlah—bukan takdir saya.
Dan memang pada akhirnya saya lolos. Tapi, tentu saja, setiap tahapan tes (yang berjumlah 3 tahap), saya selalu galau. Maksudnya, galau apakah diambil atau tidak. Ah, pokoknya masa-masa yang begitu membingungkan. Saya masih ingat dengan jelas. Ketika saya bertemu Mas Aziz dan keluarga, inginnya sih tinggal di Bantul saja (apalagi Mbak Pik bakal nikah di bulan keberangkatan saya). Tapi, ketika bertemu dengan teman-teman yang berjiwa petualang, mereka selalu menyemangati saya untuk berangkat.
Well, akhirnya saya pun berangkat. Memantapkan hati!
Saya mengikuti kegiatan prakondisi selama 10 hari di AAU Jogja. Itu bagian yang cukup berat, karena untuk pertama kalinya saya akan meninggalkan Mas Aziz dalam waktu yang lama. Selama ini sih, kami hanya berpisah tak kurang dari 4 hari. Jadi, ini adalah hari terlama. Tapi tak mengapa, saya kan sudah niat. Anggap saja ini sebagai latihan selama 1 tahun tidak bertemu. Jadi, harus dijalani. Mau tak mau, harus semangat.
Setelah pra kondisi yang sangat panjang, melelahkan, tapi juga sangat menyenangkan sekali (cerita tentang pra kondisi akan saya tulis di catatan lain), saya pun diberi tahu bahwa keberangkatan ke Ende (daerah penempatan saya) adalah tanggal 15 September 2013, pagi hari. Saya sedih waktu itu, karena tidak bisa hadir waktu Mbak Pik nikah. Tapi, mau tak mau memang harus dijalani seperti ini. Tak boleh sedih. Keputusan sudah diambil. Apa yang sudah diucapkan tak bisa ditarik lagi. Saya pun tetap berangkat.
Rasanya sungguh aneh ketika akan pergi dari rumah. Saya hanya merasa kalau saya pergi tak lebih dari beberapa hari saja. Pakaian pun hanya membawa beberapa potong. Lainnya, ah entahlah. Waktu yang sangat singkat untuk packing (2 hari untuk satu tahun, oh plizz!!!) membuat semuanya tampak berantakan. Pokoknya, saya tidak merasa seperti akan pergi lama. Hanya membawa satu kopor, satu tas ransel—yang sangat beraaaaaaaaat sekali, saya rasa ada 10 kg, dan tas slempang mini yang tidak terpisahkan dari saya.
Pagi hari, di tanggal 15 September, saya sudah siap untuk pergi. bahkan matahari belum bersinar pagi itu.
Entah apa yang saya rasakan. Campuran antara rasa haru, sedih, tegang, dan sebagainya. Pelukan, ciuman, tangis, memecah keheningan subuh. Tahu-tahu, saya sudah ada di kampus, tahu-tahu saya sudah ada di jalan menuju Bandara. Perasaan tampak campur aduk. Ingin rasanya saya memetakan setiap adegan yang tertangkap mata, berusaha mengingat setiap hal yang saya lihat. Karena, apa yang saya lihat saat itu, tidak akan saya jumpai dalam satu tahun ke depan: suasana pagi Jogja, jalanan yang selalu saya lewati, papan billboard di persimpangan jalan, jajaran pepohonan, petak-petak sawah, warung makan tempat saya nongkrong, dan sebagainya. Ah...semua memori tentang Bantul dan Jogja sudah terekam dengan erat tanpa harus dimasuki lagi.
Akhirnya, kami sudah ada di dalam pesawat. Bersama 45 orang lainnya, 3 orang dosen, dan 1 orang dari biro travel UNY, kami naik Garuda, transit sebentar ke Ngurah Rai di Bali, dan menuju Ende. Pengalaman pertama naik pesawat? Ah, biasa saja. Seperti naik bus. Pokoknya biasa. Hanya saja, ketika melihat samudra dan pulau dari atas itu, seperti melihat peta. Indah, biru, dan sangat menakjubkan.
Jam 2 siang, pesawat dari Ngurai Rai tersebut mendarat dengan lancar di Ende.
Rasanya tak percaya.
Saya telah sampai.
Saya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Bumi Pancasila ini.
Sejauh mata memandang, ada lautan dan jajaran pegunungan. Hawa dingin menyapa.
Rumahku...
Ini akan menjadi rumahku dalam 1 tahun ke depan.
Dan di sinilah saya akan mengabdi.
Well, begitulah hari itu. Saya lantas tiba di Hotel Dwi Putra dan menginap selama satu malam di sana. Esok paginya, kami akan dijemput oleh Kepala Sekolah untuk menuju daerah penempatan. Dimanakah saya akan tinggal? Entahlah...saya pun tidak tahu. Tapi yang jelas, yang saya yakini, tempat itu pastilah tempat terbaik sejauh kemampuan saya.
Bersambung ke catatan selanjutnya. J

No comments:

Post a Comment