Saturday, October 26, 2013

Desa itu Bernama Ranoramba (Warna-warni Ende Part.3)


Kalian tahu, bagaimana rasanya nama kalian dipanggil secara tiba-tiba ketika ada 44 orang lain yang deg-degan, bertanya-tanya apakah nama yang dipanggil itu adalah nama mereka?
Ya...saya merasakannya.
Nama kedua yang dipanggil hari itu adalah nama saya.
Ibu Len memanggil nama saya hari itu.
Siang itu.
Kantor Desa Ranoramba *dokumentasi pribadi
Selepas perjalanan mengelilingi sepersekian persen dari Ende, nama saya dipanggil. Penempatan kami akhirnya diumumkan.
Nama pertama yang dipanggil adalah teman saya atas nama Tarom. Setiap orang sudah merasa deg-degan ketika nama Tarom dipanggil. Termasuk saya. Dan begitulah, ketika seorang Ibu berumur lebih dari 50 tahun muncul dari pintu hotel, kami semua sudah menahan nafas, menanti nama siapa yang mereka panggil.
Tapi, selama sepersekian detik itulah, saya merasa bahwa nama sayalah yang akan dipanggil.
Dan benar, nama saya yang dipanggil.
Dengan bergetar saya berjalan ke arah Ibu itu. Sementara, saya yakin, ada begitu banyak mata yang menatap saya. Mata penasaran. Mata penasaran tentang dimana tempat penempatan saya berada. Menyenangkankah? Ataukah seperti berita-berita yang sudah didengar: terpencil, krisis air, krisis sinyal, tidak ada listrik, berbatu-batu, rumah kayu, dsb? Ah...bayangan saya kok tidak semenyeramkan itu...
Setengahnya, saya merasa takut juga, tapi saya tetap meyakinkan diri saya. Doa Ibuk sudah banyak terlantun untuk saya. Doa Mas Aziz juga. Doa Pakdhe juga. Doa begitu banyak orang juga mengalir untuk saya. Alloh tentu akan mengabulkan doa-doa itu. Doa untuk mendapatkan tempat terbaik bagi saya.
Saya menjabat tangan Ibu itu dengan penuh percaya diri—berusaha menyembunyikan ketegangan yang saya rasakan. Wajah ramah itu tersenyum.
Alhamdulillah.
Beliau memperkenalkan diri. Namanya adalah Magdalena, biasa dipanggil Ibu Len. Ia adalah kepala sekolah dari SD N Nakawara. Saya lantas—dengan tidak sopannya—menginterogasi beliau dengan pertanyaan yang bodoh. Air, listrik, dan sinyal. Dan jawaban Ibu Len sederhana. Air ada, listrik ada, sinyal juga ada. Jauhnya dari sini adalah kurang dari satu jam.
Tak henti-hentinya saya mengucap syukur dalam hati. Senyum terkembang.
Tarom pun mendekati saya dan dengan polosnya mengatakan, 40 km dari kota. Oh...semoga tempatnya juga menyenangkan. Amin...
Kemudian, Mbak Eka dipanggil. Dia mendapat tempat penempatan di SD K Magengura. Lokasi hampir sama dengan tempat saya. Mbak Eka juga senang dengan kabar itu.
Ibu Len ternyatan masih sibuk dengan hapenya. Oh, ternyata dia menghubungi Kak Eci, SM3T sebelum saya. Well, begitulah kelanjutan cerita itu. Saya belanja kebutuhan di Pasar Bongawani bersama Kak Eci. Setelah itu, saya naik ke bukit bersama Pal Albert dan Riung.
Ketika ada jalanan besar di samping pantai dan Laut Sawu, sungguh menyenangkan sekali lho. Hawa laut menguar. Asin. Saya menikmati setiap pemandangan dengan gugup sambil mendengarkan Pak Albert memperkenalkan desa kita. Sungguh menyenangkan sekali kelihatannya. Tapi tidak tahu, bagaimana kenyataannya.
Pemandangan laut berubah menjadi berbutkit-bukit. Tahu-tahu, jalanan mulai menanjak, samping jurang dan samping gunung, berbatu-batu besar, terjal, dan sebagainya. Jalanan yang mirip dengan Petungkriyono atau Gunung Kidul. Lokasi yang hampir sama ketika saya baksos beberapa tahun lalu bersama KMIP.
Membuat saya kangen dengan perjalanan jauh ke Pekalongan tempo hari. Lagi-lagi mengingatkan saya pada Mas Aziz. Ah...
*lanjut blogging....hush hush...jangan ingat-ingat yang di sanah!
Begitulah, ada sekitar 30 menit perjalanan dengan medan yang mengerikan sekali itu. Tahu-tahu saya sudah sampai di Ratenusa, tempat tinggal saya. Saya disambut baik oleh keluarga baru saya. Bahkan, langsung saja banyak orang yang berkumpul untuk menyambut saya. Polos dan bodohnya saya, saya tidak berusaha memperkenalkan diri sebelum mereka bertanya. Yap, kesalahan bodoh saya.
Kami makan mi instan dan kopi. Semua minum kopi. Kopi bubuk dengan ampasnya. Termasuk saya. Saya pun minum kopi. Well, sebenarnya sampai detik ini saya tidak tahu apa beda rasa kopi. Yang saya tahu, godday carabean nut dan colin itu paling enak...
Selepas itu, saya istirahat sebentar di kamar baru saya. Sepetak kamar berukuran 2x2 m. Kecil tapi menyenangkan. Dengan satu ranjang, satu meja, satu jendela, dan satu pintu. Alhamdulillah bersih dan terlihat nyaman.
Tak sampai beberapa menit, Mama mengetuk pintu.
“Ibu, bisa koh potong ayam?”
Oh my God...pengalaman pertama saya menjagal ayam. Baiklah. Mau tak mau, saya harus mau. Jadilah, hari pertama saya di Ranoramba itu, ada seekor ayam yang mati terbunuh di tangan saya. Saya sudah belajar dari Ibuk, Bapak, dan Mas Aziz. Sudah mantep semua. Berharap saja, ayam itu benar-benar halal.
Nah, itulah perjalanan singkat saya di hari kedua saya di Ende. Lanjut besok lagi yak...
Salam semangat dari Ranoramba.

No comments:

Post a Comment