Saturday, May 3, 2014

Apa yang Saya Rasakan (Tulisan Edisi Hardiknas)



Anak-anak di sini itu sungguh amazing sekali dan bikin saya speechless.

Mungkin, ketika kita adu mereka dalam olimpiade fisika atau matematika, mereka akan kalau jauh dengan anak-anak di Jawa. Bahkan, saya kadang akan mengandaikan bahwa siswa kelas 3 di sini memiliki kemampuan yang setara dengan siswa kelas 1 di Jawa. Meski, sebenarnya ketika mereka diberi stimulus dan sarana prasarana yang setara dengan sekolah-sekolah di Jawa, maka outputnya pun akan sama.

Tapi, ada begitu banyak hal amazing yang mereka miliki.

Ketika mereka diadu angkat beban, maka mereka akan menang. Kondisi demografi memaksa mereka untuk ikut kerja kebun, mengangkat ubi talas atau singkong, kayu api, hasil kebun, dan sebagainya sebesar satu karung dengan medan yang berkelok-kelon naik bukit turun bukit. Mereka tidak mengeluh meski berat dan badan sempoyongan. Kulit mereka hitam karena terbakar matahari. Kaki mereka kapalan dan kotor karena mendaki. Badan mereka bau karena keringat yang mengalir. Mengapa? Karena kondisi yang memaksa mereka.

Ketika mereka diadu nilai kegotongroyongan, mereka akan setingkat lebih tinggi dari anak-anak kota. Mereka akan dengan senang hati bekerja bersama, pergi ke kebun bersama, terlepas apakah mereka suka atau tidak. Yang mereka tahu, menolong itu adalah sesuatu yang baik. Dan saya selalu suka ketika melihat anak-anak itu berebut menolong saya.

Ketika anak-anak di kota akan komplain dengan makanan mereka, menolak makan ayam, menolak makan sayur, dan sebagainya, anak-anak di sini punya porsi makan di atas rata-rata, bahkan untuk perut orang Jawa yang dewasa. Ya, mayoritas di sini—baik itu orang dewasa maupun anak-anak, memiliki porsi makan yang berbeda dengan orang Jawa pada umumnya. Bahkan dengan lauk yang seadanya pun. Adanya sayur singkong, maka itulah yang dimakan. Adanya ikan kering, maka itulah menu hari ini. Dan mereka tidak komplain dengan semua itu, asyik melahap setiap makanan.

Bendera di Halaman Sekolah
Ketika anak-anak kota tidak mau sekolah, harus dibujuk, dijanjikan sepatu baru, ponsel baru, malu dengan pakaiannya yang kotor, anak-anak di sini tampak riang pergi ke sekolah meski dengan kondisi seadanya. Mereka tidak memakai tas baru, tapi tas kresek. Mereka tidak memakai sepatu, tetapi memakai sandal, kadang bahkan tanpa alas kaki. Baju mereka kusut dan kotor, tidak pernah disetrika, karena terkadang itu adalah satu-satunya seragam mereka, jadi mereka akan cuci pakai setiap harinya. Mereka akan dengan riang berjalan bersama-sama menuju sekolah yang notabene jaraknya hitungan kilometer dari rumah mereka, naik turun bukit. Tapi mereka tidak pernah mengeluh.

Anak-anak di sini memang memiliki keterbatasan yang lebih banyak dibandingkan anak-anak yang tinggal di kota. Jadi, ketika mereka lebih bodoh, lebih kucel, lebih kotor, lebih berdebu, dan lebih ‘ndeso’, itupun bukan salah mereka. Mereka tidak bisa memilih untuk dilahirkan dimana, karena takdirlah yang menghendaki mereka untuk dilahirkan di sebuah desa yang jauh dari peradaban (kasarnya, red). Tapi, jauh dari semua itu, mereka punya hak yang sama dengan anak-anak di kota, yaitu mendapatkan pendidikan yang sama.

Itulah yang rasanya masih menjadi kesenjangan yang terlalu mencolok. Pengalaman mengajar beberapa bulan di tanah ini, melihat berbagai kondisi yang sangat timpang dengan tempat dimana saya tumbuh besar, adalah sesuatu yang kadang membuat saya miris. Anak-anak di sini memiliki semangat yang sama untuk belajar. Mereka sama seperti anak-anak pada umumnya.

Mereka akan kecewa bila mendapat nilai 0, mereka akan sedih bila gurunya tidak masuk, mereka akan senang diajar berbagai hal yang baru, mereka akan senang dibacakan dongeng binatang, mereka akan antusias menyimak film si kancil di laptop, mereka akan senang diajak senam di luar, mereka akan bahagia bermain kucing dan anjing, mereka akan bersemangat bila diberi ‘tugas istimewa’ untuk mengambil kapur, buku, atau apapun dari kantor, mereka akan senang mendengar kalimat ‘sembahyang pulang’, mereka akan antusias bersorak ‘besok libur’, dan sebagainya. Mereka hanyalah anak-anak. Anak-anak yang normal.

Dan bukanlah salah mereka untuk ‘menikmati’ kondisi yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Tapi, inilah yang terjadi.

Pemerataan pendidikan, itulah kuncinya. Mereka punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti semua anak-anak di kota-kota. Pendidikan yang bagaimana? Tentu saja pendidikan yang lengkap sarana prasarananya, guru-guru yang disiplin, rajin, dan memiliki semangat untuk mengajar dengan gaji yang cukup, kepala sekolah yang kuat dan tangguh serta visioner, praktik korupsi yang tidak ada, fasilitas harian yang cukup, dan kurikulum yang tidak memberatkan.

Lihatlah, mereka adalah penerus masa depan Indonesia. Mereka adalah pembawa estafet Indonesia di masa depan. Mereka adalah generasi emas yang akan membawa Indonesia menuju ke zaman keemasannya lagi. Adalah kewajiban kita, sebagai warga negara yang baik, untuk membantu mereka. Dengan cara apa? Bertanyalah pada diri Anda sendiri. Entah dengan aksi langsung, pemberian donasi, ataupun memilih untuk menutup mata dengan bersikap egois. Kalau bukan kita, siapa lagi? Jangan sampai kita ikut berdosa karena tidak peduli dengan mereka.

“Ibu, bhineka tunggal ika itu artinya apa?”
“Artinya adalah berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Seperti kalian dengan Ibu. Ibu orang Jawa, tetapi kalian orang Ende, maka tetap harus bersatu meski berbeda. Ibu orang muslim, kalian orang Katolik, tetapi kita harus tetap bersatu meski berbeda. Itulah arti dari bhineka tunggal ika, mengerti?”

@Suatu hari, di kelas PKn.
Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga Hardiknas tidak hanya diisi dengan seremonial saja, tetapi dengan pemaknaan yang lebih.

No comments:

Post a Comment