Saturday, May 3, 2014

Riung, Gugusan Pulau Indah di Daratan Flores (Warna-warni Ende Part. 45)



Pulau Flores memiliki tiga destinasi wisata yang sangat keren (menurut saya): deretan rumah adat di beberapa kawasan yang masih alami, pantai-pantai di sepanjang selatan dan utara pulau yang keindahannya belum banyak terekspos publik, serta Danau Kelimutu. Dan kali ini, saya ingin posting salah satu tempat yang sempat saya kunjungi beberapa waktu lalu, yaitu Riung.

Dermaga Riung
Riung merupakan gugusan 17 Pulau yang ada di Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada. Riung berlabel Taman Wisata Air Laut (TWAL) 17 Pulau. Ada 17 pulau di wilayah itu yang begitu indah dengan laut yang penuh dengan terumbu karang menawan. Beberapa pulau berpasir putih itu memiliki kelebihannya masing-masing. Well, that’s why I do really wanna go there.

Libur Paskah yang panjang menjadi waktu yang kami pilih untuk pergi. Kami start dari Kota Ende pukul 05.15 WITA. Jarak dari kota Ende adalah 110-an km. Kami perkirakan waktu perjalanan adalah 4 jam, sehingga kami akan sampai di Riung pada pukul 09.15 WITA. Menurut banyak blog dan obrolan dengan teman, Riung asyik dinikmati saat pagi hari. Ada 4 motor yang pergi hari itu. Beruntung, salah satu dari kami sudah pernah berkunjung ke sana, sehingga ada penunjuk jalan. Kami berjalan santai menyusuri jalan Nangapanda. Matahari masih tampak malu-malu. Hawa masih dingin, sisa-sisa angin pantai yang berhembus.

Matahari bersinar dan mengusir hawa dingin ketika kami memasuki Kabupaten Nagekeo. Jajaran pantai berubah menjadi perbukitan hijau. Jalan halus Nangapanda berubah menjadi jalan beraspal yang sedang dalam perbaikan. Kami mengurangi kecepatan karena jalan licin. Gunung Inerie di kejauhan tampak indah menjulang di antara perbukitan Nagekeo.

Tak beberapa lama kemudian, kami sampai di Cabang, arah kanan menuju ke Bajawa, sedangkan arah kiri menuju Mbay. Kami melaju menuju Mbay. Jalan halus dan berbukit kami sasar. Kecepatan ditambah karena jalanan sepi. Sepemahaman saya, memang jalan-jalan di Flores terbilang sepi meskipun berstatus sebagai Jalan Negara. Well, mungkin karena berbagai faktor sehingga tidak banyak orang yang bepergian di sini. Saya membaca salah satu papan jalan di sana: Aesesa. Kami ada di Kecamatan Aesesa.

Dua jam perjalanan dari Kota, kami mulai melihat Kota Mbay di kejauhan. Kota Mbay berbeda dengan Kota Ende. Kota Mbay tampak datar dan tidak berbukit. Tampak subur tapi juga janggal karena berada di pinggiran perbukitan. Garis pantai di kejauhan memperelok pemandangan. Jalan mulai menurun tanda kami memasuki Kota Mbay. Dan betapa bahagianya saya melihat deretan sawah berpadi tampak segar di pinggir jalan. Well, saya serasa kembali ke tanah Jawa *kangen rumah.

Kota Mbay tidak terlalu ramai, tidak seperti Kota Ende. Tapi, melihat kawasan pemukiman penduduk setelah wilayah dan berbukit dengan sedikit pemukiman itu adalah sesuatu yang melegakan sekaligus asing. Pasar Mbay yang saya rasa merupakan sentral pasar di situ terlihat sangat ramai.

Sawah di Mbay, Ini Masih di Flores, lho, Bukan di Jawa
Dari Kota Mbay, kami menuju ke arah Riung. Deretan bukit teletubis mengiringi perjalanan kami meninggalkan Mbay. Kenapa disebut bukit teletubies? Karena kami teringat bukit-bukit yang ada di Film Teletubies, film waktu kami masih anak-anak. Satu bukit yang tidak terlalu tinggi dengan ilalang yang memenuhinya, atau satu dua pohon dan semak belukar. Bukit-bukit itu menjulang di samping kanan kiri, terlihat elok sekali. Terkadang, ada segerombolan sapi yang  bersantai sambil merumput di sana. Indah. Indah.

Deretan bukit teletubies menghilang, berganti dengan jalan kecil di tengah hutan. Well, saya tidak tahu sih bagaimana menyebutnya, karena pohonnya tidak terlalu tinggi sehingga agak aneh juga bila disebut hutan. Hampir 1 jam kami melintasi jalan setapak itu. Agak ramai. Banyak motor yang ngebut sehingga tampak berbahaya sekali. Kami pun juga ngebut. Tak beberapa lama kemudian, hawa pantai mulai terlihat. Kami berhenti sejenak karena terlihat ada kampung nelayan. Sudah sampaikah kita di Riung?

Kapal Sewaan untuk Berkeliling Pulau
Oh, ternyata belum. Riung masih sekitar 30 menit lagi. Kami pun mengikuti satu-satunya jalan yang ada. Alih-alih jalan di pinggir pantai seperti di Kota Ende, kami malah memasuki hutan. Tapi tentu saja tidak sembarang hutan. Kami melintasi deretan hutan bakau di samping kanan (bakau kah? Well, saya tidak tahu sih, sok tahu saja nih, wkwkwk). Oh, ternyata hutan itu untuk mencegah abrasi pantai. Kami lihat air laut bahkan sudah sampai di jalan yang kami lintasi—beberapa tergenang. Satu dua kali kami bisa melihat air laut di antara hutan bakau itu.

Tak beberapa lama kemudian, kami mulai memasuki daerah pemukiman. Kami sampai di Riung. Jam menunjukkan pukul 08.45. Perjalanan kami memakan waktu 3,5 jam. Not bad, eh?!

Well, saya agak kaget sih sebenarnya, karena hampir tidak terlihat seperti tempat wisata. Hanya semacam dermaga saja. Di kanan kiri, masih banyak rumah panggung yang terbuat dari kayu. Sudah tampak lapuk dan tua. Mungkin pengaruh angin laut. Dari jauh, tampak gugusan pulau. Hanya ada 2 atau 3 pulau yang terlihat, sementara yang lainnya sangat jauh hingga tidak terlihat.

Kami kemudian menyewa kapal. Hanya satu orang yang menawari kami--mungkin karena hari sudah siang, sehingga tidak banyak kapal yang tersisa. Tawar menawar pun dimulai. Akhirnya kami mendapat harga Rp 300.000 untuk sewa kapal dan Rp 150.000 untuk tiga pasang jaket pelampung dan kacamata snorkling. Sangat amatir jadi kami hanya menyewa seadanya. Kami berlayar tepat pukul 10.00 WITA. FTI, tiket masuk ke tempat pariwisata itu adalah @Rp 1.500, cukup murah sekali. Untuk motor, kami membayar Rp 10.000 untuk 3 buah motor.

Narsis di antara kelelawar
Pulau pertama yang kami kunjungi adalah Pulau Kelelawar. Namanya cukup unik namun sesuai dengan kondisinya. Pulau ini memiliki ratusan, bahkan ribuan kelelawar yang bertengger di dahan pohon. Alih-alih terbang di malam hari, kelelawar ini tetap keluar bahkan saat siang hari. Kami tidak turun di sana, hanya berhenti di dekat deretan pohon tempat kelelawar berada. Kami pun berteriak-teriak, salah satu cara untuk membangunkan kelelawar itu hingga mau terbang. Pemandangan ketika kelelawar itu terbang benar-benar mengasyikkan. Dan itulah moment terbagus untuk mengambil foto. Siapkan kamera dan bersiaplah untuk berteriaaaaaakkk!!!

Setelah Pulau Kelelawar, kami menuju ke lokasi kedua, yaitu tempat snorkeling. Lokasinya di tengah laut. Saya melongok ke dalam air dan melihat terumbu karang dan ikan warna-warni tampak di sana. Rinda, satu-satunya orang yang bersemangat untuk berenang segera menunjukkan kemampuannya berenang dan menyelam. Dia bilang indah. Saya pun penasaran. Dan karena tidak bisa berenang—well, saya memang phobia berenang—saya pun memakai jaket pelampung dan terjun ke air. Ketakutan saya seketika menerjang—takut tenggelam. Lantas saya ingat perkataan Si Abang, ‘Tetap tenang!’. Saya pun berusaha tenang. Tangan bergerak, kaki bergerak, satu , dua mulai bisa bergerak. Hore saya tidak takut air!!!!

Belajar Renang Sambil Menikmati Terumbu Karang
Saya segera menikmati terumbu karang di sana. Mirip melihat akuarium yang besar. Hehehe...makhlumlah, saya awam sekali dengan urusan ini, jadi kalau terlihat katrok yang tidak apa-apa lah...hahaha...

Puas dengan terumbu karang, kami lanjut ke pulau berikutnya, yaitu Pulau Roteng. Pulau ini terlihat indah dengan dua buah gazebo yang ada di pesisir pantainya. Perahu ditambatkan, kami pun turun dan berfoto-foto. Pemandangan di pulau ini bagus sekali. Yang paling menarik, pulau itu berada di tengah-tengah pulau lainnya dengan pantai yang lebar, sehingga kami bisa main air, main pasir dan berfoto dengan view yang amazing banget.

Pulau ketiga sekaligus pulau terakhir adalah Pulau Tiga atau Panjang. Tidak seperti pulau sebelumnya yang memiliki pantai lebar, pulau ini terlihat bahkan tidak memiliki pantai untuk bergerak. Mungkin air sedang pasang. Saya mencoba berenang lagi, tetapi air laut terlalu tinggi dan saya capek, akhirnya menyerah dan hanya berjalan-jalan saja. Kami sempat memanjat pohon kelapa dan minum airnya. FYI, sejak pagi kami belum makan sehingga hampir semua orang yang ikut touring berada dalam kondisi yang tidak tidak fit, jadi kami minum air kelapa untuk menambah cairan tubuh, alias isotonik alami, hehehehe...
Menurut berbagai sumber, pulau ini memiliki panorama bawah laut yang indah dengan terumbu karangnya, sehingga cocok untuk snorkling. Tapi, karena fisik sudah lelah, hanya Rinda saja yang masih semangat menikmat berenang, sementara yang lainnya hanya berjalan-jalan saja.

Jajaran Rumah Panggung di Pinggir Dermaga Riung
Badan sudah capek dan perut sudah keroncongan. Kami pun bergegas pulang, sudah pukul 14.00 WITA. Kapal menuju ke dermaga lagi. Sesampainya di dermaga, kami segera mencari rumah makan. Warung yang dituju berada di Pasar Riung, yaitu Warung Bakso. Menu yang ditawarkan banyak, mulai dari Bakso, Soto, Rames (Nasi Ikan), Sate, Gulai, dsb dengan harga yang variatif, antara Rp 10.000 – Rp 25.000. Saya pesan bakso dengan teh panas. Selesai makan, badan lebih segar, kami menuju ke salah satu rumah seorang rekan SM3T yang berada tidak jauh dari situ. Di sana kami mandi, makan gorengan, dan minum.

Kami pamit dari tempat itu sekitar pukul 17.00 WITA. Matahari masih terang, tapi awan gelap terlihat jauh di atas perbukitan Nagekeo. Malam mulai turun. Sampai di arah Mbay, hujan turun dengan deras. Hujan mengguyur hingga sampai di Aesesa. Jalan gelap, hujan, dan berkelok-kelok membuat kami tak bisa menambah kecepatan, hanya berkisar 40-50 km/jam. Hujan mulai berhenti ketika kami menuju ke Nanga Panda. Bintang bertabur di atas kami. Suasana yang dingin membuat kami menggigil.

Malam itu kami sampai di kota pukul 23.00 WITA, jadi perjalanan pulang memakan waktu +/- 5 jam. Kami mampir untuk makan nasi goreng di dekat Bandara H. Aeroboesmen. Sampai di basecamp sudah pukul 24.00 WITA. Kami lantas tidur. Hari itu, melelahkan, tapi memberikan pengalaman yang tidak akan terlupakan.

#Satu tahun untuk selamanya.
April 2014

No comments:

Post a Comment