Saturday, May 3, 2014

Upacara Adat ‘Makan Bersama Orang Mati’ (Warna-warni Ende Part. 44)



Hari ini ada yang berbeda. Sejak siang Mama menumbuk padi dan menapisnya. Ia bersama dengan Aztyn duduk di bawah pohon mangga di depan rumah Mama Hesti. Saya pun bertanya. Rupanya hari ini, tepatnya nanti malam akan ada upacara adat untuk mengajak orang yang sudah meninggal makan bersama.

Selepas malam, kami berkumpul di dapur. Mama dan Aztyn tampak sibuk memasak. Hidangannya biasa saja, hanya urap dan mi kuah yang dicampur dengan telur. Yang berbeda, hari ini telurnya direbus (biasanya Mama hanya mencampurnya saja di mi). Mama menyiapkan tiga porsi makanan. Satu piring berisi nasi yang sedikit (sangat sedikit sekali). Satu piring berisi telur yang dipotong menjadi 8 dan setiap piringnya ditaruh 4 potong serta disiram dengan mi. Mama juga menyiapkan tiga buah nasi yang dikepal dan ditaruh pada satu piring.

Hidangan Upacara Adat (Keterbatasan Kamera Jadi Hasilnya Kurang Memuaskan)
Semua hidangan itu ditata di tengah ruangan, berjajar rapi. Satu buah piring lainnya berisi tembakau, sirih pinang, dan rokok. Satu nampan berisi 4 buah gelas yang diisi moke, teh, air putih, dan kopi. Serta sebuah lilin diletakkan berderet. Piring berisi nasi kepal diletakkan terpisah yaitu di pojok ruangan, di atas rak piring. Bapak Alo, pemimpin upacara adat, akan memimpin prosesinya. Di depannya sudah disediakan piring berisi beras dan sendok.

Di bawah lampu surya yang temaram karena listrik sedang mati, prosesi itu dilakukan. Semua orang duduk melingkar dengan makanan sebagai pusatnya. Bapak Alo mengetuk salah satu piring berisi nasi yang ada di depannya sebanyak dua kali dengan menggunakan sendok. Entah Bapak Alo mengucapkan apa, saya tidak paham sama sekali. Setengahnya karena bising suara rintik hujan yang mengenai atap, setengahnya karena menggunakan bahasa yang tidak saya pahami. Semua orang diam selama prosesi itu berlangsung. Bapak Alo terus saja berbicara sambil tangan kanannya mengaduk-aduk beras yang ada di piring. Jangan dibayangkan Ia merapalkan mantera-mantera, ya. Lebih mirip Bapak Alo berbicara saja. Saya diam saja mengikuti prosesi itu. Setelah 5 menit, prosesi itu diakhiri dengan melempar beras ke udara dan mengetuk piring selama dua kali seperti di awal.

Prosesi rupanya tidak selesai sampai di situ. Setiap porsi hidangan (nasi dengan mi telur) dimakan hanya oleh laki-laki saja. Kebetulan jumlah laki-laki yang ada di situ ada 3 orang, yaitu Bapak, Manto, dan Fario, sehingga masing-masing mendapat satu porsi dan satu buah nasi kepal. Memang sudah menjadi aturan, yang harus memakan hidangan itu hanya laki-laki saja, perempuan tidak diperbolehkan.

Setelah ketiganya mulai makan (dan mereka harus makan tanpa sendok), kami yang lainnya pun dipersilakan untuk makan. Saya sempat bertanya-tanya beberapa hal terkait upacara adat itu. Diantara bahwa upacara adat itu bisa dilakukan apabila ada moment penting, misalnya panen, tanam, dan sebagainya. Selain itu, sebenarnya, dalam upacara adat itu dihidangkan ayam dan tidak boleh memakai mi, tetapi kali ini telur ayam pun boleh.

Hari itu, saya makan kenyang sekali karena memang setiap orang mendapatkan porsi yang wah sekali. Prinsip untuk tidak menyisakan makanan sedikit pun tetap saya pegang teguh. Akhirnya, saya kekenyangan, hehehehe...

#Satu tahun untuk selamanya
April 2014

No comments:

Post a Comment