Saturday, May 3, 2014

9 April, Saya Ikut Pemilu (Warna-warni Ende Part. 41)




Proses Sosialisasi Cara Pencoblosan


Tanggal 9 April Indonesia melaksanakan pesta demokrasi, yaitu diselenggarakannya Pemilu Legislatif. Bagi sebagian besar orang seperti saya, yang berada di tanah rantau dalam jangka waktu satu tahun, adalah hal yang lumrah untuk tidak memiliki hak pilih di daerah ini, karena memang kami terdaftar di daerah asal kami. Tapi, bagi sebagian kecil dari kami, ada juga yang ‘kebetulan’ mendapat hak pilih sehingga bisa ikut memilih para wakil legislatif. Saya termasuk dalam sebagian kecil tersebut. Saya diperbolehkan untuk ikut mencoblos.

FYI, saya tengah berada di sebuah pelosok negeri, tepatnya di Kabupaten Ende. Saya terdaftar sebagai pemilih khusus di TPS desa ini. Sejak awal, saya memang sudah didata. Beruntung bagi saya, karena saya tinggal bersama dengan Bapak Kepdes sehingga semua informasi dan pendataan bisa dilakukan secara cepat. Beruntung lagi, saya terdaftar sebagai pemilih khusus. Tak seperti beberapa teman saya lainnya, yang tidak terdaftar di desa masing-masing, sehingga tidak bisa ikut mencoblos.

Tapi, tentu saja, saya memiliki cerita tersendiri di hari itu. Cerita yang bikin bete, sebel, tapi ada enaknya juga di akhir.
TPS Setempat

Informasi awal yang saya terima adalah saya akan ikut memilih hanya dengan menyerahkan KTP saja. Jadi, saya pun berangkat cukup awal, yaitu pukul 9 pagi, bersama dengan seluruh anggota keluarga lainnya. Saya naik motor ke dusun sebelah, tempat TPS berada. Sampai di sana, ternyata panitia pemilu masih harus menandatangani kertas suara, sehingga warga yang mulai berdatangan harus menunggu. Setelah semua kertas suara ditandatangani, mulailah mereka melakukan demonstrasi cara mencoblos di bilik suara. Pukul 10, TPS baru dibuka dan orang mulai dipanggil untuk mencoblos.

Well, di sini saya tidak ingin mengungkapkan fakta yang terjadi. So, saya akan mengungkapkan pengalaman saya saja.

Saya duduk di kursi yang khusus diberikan untuk saya sementara semua warga lainnya duduk di tanah, di pagar, di teras, dsb. Ternyata, saya terdaftar sebagai pemilih khusus, yaitu, pemilih yang bisa mencoblos setelah semua pemilih mencoblos. Saya bersama Bang Albert, satu lagi Albert, dan saya sendiri, menunggu hingga pukul 12.30 WITA. Nice kan, saya menunggu selama 3,5 jam untuk mencoblos wakil rakyat yang bahkan tidak saya kenal. Heemmmm.... I’m so damn speechless...

Selesai mencoblos, saya diminta untuk ke rumah Nenek Melan. Melan adalah salah satu murid saya di kelas yang kebetulan masih saudara dengan Mama. Kami makan di sana. Lalu minum teh. Alhamdulillah, perut saya yang lapar sudah terisi kembali. Dehidrasi saya terobati.

Baru selesai teh diminum, Ibu Astin masuk dan memanggil saya. Saya diminta ikut makan dengan para panitia Pemilu. Olalaaaa...saya? Ka lagi? Ka mbeja i???

Akhirnya saya ikut ke dapur Keni. Di sana saya bertemu Mama Keni yang sedang memasak dengan Ibu Emi. Jadilah saya ikut makan lagi dengan menu yang berbeda. Bila sebelumnya di rumah Nenek Melan kami makan ikan dan sayur daun ubi, kali ini kami makan ayam. Alhamdulillah...rejeki. Kenapa? Karena makan ayam di sini itu seperti ketika saya makan daging sapi di Jawa. Beda tipis. Hanya ada di acara-acara spesial saja. Dan karena daging ayam hanya ada jika dipotong saya atau orang Islam lainnya, semakin langka lah saya bisa makan daging ayam. Meski banyak anjing berseliweran dan tingkat kehigienitasannya dipertanyakan, saya mengesampingkan fakta itu.

Saya ikut perhitungan suara sebentar kemudian pulang naik motor sendirian. Hujan turun. Hari itu, saya mendapatkan banyak pengalaman. Terlepas dari pengalaman saya menunggu giliran mencoblos, ada juga praktik-praktik penyimpangan Pemilu yang ada di sana. Hanya saja, fakta itu, saya kesampingkan terlebih dahulu. Bukan hak saya untuk membeberkan fakta-fakta itu.

#Satu tahun untuk selamanya.
9 April 2014



No comments:

Post a Comment