Saturday, May 3, 2014

Pulau Ende (Warna-warni Ende Part. 46)



Salah satu pulau berpenghuni yang terletak di Selatan Kab. Ende adalah Pulau Ende. Pulau ini terlihat sangat jelas dari sepanjang jalan di Pantai Selatan Ende. Bahkan, dari bukit tempat saya tinggal pun Pulau Ende kadang terlihat. Terlihat sangat kecil saja dari kejauhan.

Sudah lama sebenarnya saya ingin menikmati keindahan pulau ini, karena selama ini hanya dapat menikmatinya dari kejauhan saya. Banyak teman saya yang sudah menyeberang ke pulau itu dan memberikan cerita-cerita yang berbeda. Ada hal yang mistis, eksotis, dan juga menyenangkan. Maka, karena ada undangan untuk membantu acara Festival Hardiknas di Pulau Ende, saya bersama dengan beberapa teman pun berangkat ke pulau beberapa hari lalu.

Sampan dan Kapal untuk Menyeberang
Transportasi utama ke Pulau Ende adalah dengan menggunakan kapal. Biaya penyeberangan untuk satu kali adalah Rp 7.000,00, cukup murah untuk perjalanan selama +/- 1 jam. Sebelum naik ke kapal utama, kami naik sampan kecil terlebih dahulu karena kapal utama tidak bisa merapat ke pantai. Memang, untuk kapal penyeberangan, tidak ada dermaga di sini. Dermaga hanya diperuntukkan untuk kapal barang  (umumnya dari Surabaya).

Kami naik ke kapal pada pukul 10.00 WITA. Hawa angin laut menyapa. Pengalaman beberapa hari yang lalu pesiar ke Riung sudah membuat saya mulai terbiasa untuk naik ‘sesuatu-yang-mengapung-di-atas-air’. FYI, saya pernah nyaris tenggelam sampai dua kali, sehingga saya sangat-sangat trauma sekali dengan yang namanya air. Tetapi, sejak kemarin (dengan sangat amatir) nyebur ke laut di Riung bergaya snorkling, maka ketakutan saya akan air, menjadi berkurang sekitar 25%. So, merasakan alunan ombak dan goyangan kapal selama satu jam perjalanan menjadi sesuatu yang biasa dan layak untuk dinikmati. Apalagi, kapal yang kami gunakan memiliki ruang atas sehingga kami bisa memandang ke kejauhan. Di belakang kami, daratan Kota menjauh, sedangkan di depan kami Pulau Ende tampak mendekat. Lautan luas di sebelah selatan terlihat tenang, sedangkan di sebelah utara terlihat deretan Perbukitan Ende, Nanga Panda, dan bahkan ke arah Nagekeo pun perbukitannya bisa terlihat.

Pemandangan ini membuat saya lama-lama mengantuk. Tapi tentu saja tidak bisa tidur.

Setelah beberapa lama, kami pun sampai di Pulau Ende. Pulau ini ternyata sangat besar. Dan saya cukup heran, ternyata dermaga dan pantai di Pulau Ende justru terletak di barat pulau, daerah yang tidak terlihat dari Kota Ende. Banyak sampan dan perahu serta kapal besar yang ditambatkan di sana. Air sedang pasang sehingga menyentuh dinding batas pantai.

Apa yang dirasakan pertama kali ketika berada di pulau? Ternyata hawanya sangat panas sekali, bahkan lebih panas dari kota. Keringat langsung membanjir. Hal tidak menyenangkan lainnya adalah sulitnya mendapatkan air yang sama dengan air di kota atau bukit. Air di sini didapatkan dari sumur yang kedalamannya mencapai 38 meter. Jadi, untuk mencukupi berbagai kebutuhan untuk minum, cuci, dan mandi, warga di sini menimba air di sumur tersebut. Khusus bagi SM3T, bisa menggunakan air tampungan hujan yang dibuat di SMP di sana. Ada +/- 8 tempat penampungan air hujan. Risikonya sama sih antara menimba dan menampung air, yaitu tenaga pengangkutan yang sama. Well, tinggal di sini selama 1 minggu tangan sudah kapalan karena terlalu repot mengurus air.
 
Pemandangan Pagi di Pantai Kota
Kami tinggal di pulau selama 2 hari, dan kembali ke kota pada subuh kedua. Kenapa subuh? Karena kapal di sini hanya menyeberang di waktu-waktu tertentu saja, terkadang hanya satu atau dua kali saja berlayar dalam satu hari. Untuk kapal pertama akan berlayar selepas sholat shubuh. Nilai plusnya, kami bisa menikmati sunrise yang muncul di balik jajaran pegunungan Ende.

Perjalanan pulang serasa lebih ekstrim. Meskipun air tidak pasang, tapi ombak terlihat sangat besar ketika kami mulai meninggalkan Pulau Ende. Gelombang yang besar membuat suasana terlihat agak horor. Istilahnya itu, kalau naik bus, seperti ketika berada di jalanan yang berkelok naik turun di tepi jurang, membuat jantung tidak berhenti berdebar. Tapi, tentu saja, karena ini adalah pengalaman pertama saya jadi agak ekstrim. Saya lihat, hampir semua orang yang naik kapal bersama kami terlihat biasa dan enjoy saja, ada yang sambil tiduran juga.

Kami sampai di kota pada pukul 07.00 WITA. Pemandangan terlihat indah.

#Satu tahun untuk selamanya
2 April 2014

No comments:

Post a Comment