Monday, March 3, 2014

Postingan Edisi Nyinyir


Baiklah sebelum melanjutkan membaca isi postingan ini, sebaiknya saya tegaskan dulu bahwa saya orang yang cinta damai dan tidak menyukai permasalahan. Apa yang akan saya tulis ini hanyalah apa yang saya rasakan, tetapi bukanlah pemicu sebuah permusuhan. Well, jadi, saya harapkan, bacalah postingan ini dengan cukup bijak. Saya tidak pernah punya niatan untuk menyindir siapapun. So, kalau merasa tersindir...ya itu—saya tekankan lagi—di luar niat saya.

Betewe, saya memang pacaran sebelum menikah, tetapi jauh dalam hati saya tahu bahwa itu menyalahi aturan agama, tetapi rasanya ketika ada orang (yang sudah menikah) nyinyir dan bilang dengan sinis, ‘Kita ta’arufan lho, dan bukan pacaran kayak kamu’, hati saya kok rasanya makjleb banget sih, serasa pengen bilang, ‘maksud lo apa?’ dengan keras (dan super muntab) di depannya. Tapi tenang, saya tidak pernah melakukannya, saya hanya akan diam. Well, saya memang orang yang cinta damai dan menghargai setiap perbedaan prinsip hidup, so saya selalu berkata, ya sudaaaaaahhhlah kalau memang beda. Terus mau bagaimana? Mau dipaksa ta’arufan? Nggak juga kan, yoweslaaaaahhhhh..mind your own bussiness gituhh!

Setiap orang menemukan jodohnya dengan caranya masing-masing. Dan bagi saya, itu bukanlah sebuah negosiasi, karena kita tidak bisa bernegosiasi dengan kehendak Tuhan. Tetapi, bila memang saya harus bersama dia saat ini, tanpa ikatan lebih dari pacaran, maka saya akan menunggu. Menunggu. Karena apa yang kami niatkan ini bukan untuk main-main. Tolonglah, umur saya sudah berapa, umur dia sudah berapa, dan kami masih main-main????!!! Helloooo??!!! Seolah kami ini anak-anak bau kencur sajah!!!

Dan tolong, jangan men-judge seseorang yang berpacaran sebelum menikah, MESKIPUN dia punya pemahaman agama yang baik, dengan jilbab yang super gede, dengan jenggot sepanjang satu meter (okelah, skippp!), ataupun dengan baju yang srundak srunduk (tidak bermaksud mengecam aliran tertentu). Karena menurut saya, pacaran atau tidak itu pilihan, ta’aruf atau tidak itu pilihan. Tapi, bahkan setiap pilihan pun datang karena ada kesempatan. Dan saat ini, saya memilih untuk berpacaran dan kesempatan inilah yang datang—bukan kesempatan untuk ta’arufan. Bukan karena saya tidak mau ta’aruf, karena Tuhan sudah menunjukkan cara saya bertemu dengannya lewat jalan ini. Lewat pacaran.

Dan tolong, saya tidak pernah men-judge orang-orang, jadi berhentilah menghujat kami, yang berpacaran sebelum menikah. Inti dari menikah bukanlah dari bagaimana cara kamu menemukan jodoh, melainkan niat dari menikah itu.

Dan saya, dengan bangga, belajar dari dia yang saya titipkan setengah hati saya, bahwa menikah harus diniatkan untuk BERIBADAH pada ALLOH. Sudah. Itu saja. Tidak ada koma. Bukan karena dikejar deadline menikah, bukan karena dia cowok terganteng dan tersholih yang saya temui, bukan karena saya ingin punya anak, bukan karena saran dari orangtua, dsb. Hanya satu: untuk beribadah kepada ALLOH.

Jadi, berhentilah untuk menghujat dan mengecam kami. Karena suatu hari, sesuai sebuah peribahasa, ‘siapa menanam dia menuai’, maka jangan sampai apa yang sudah kau ucapkan akan berbalik ke mukamu sendiri. Thats it. Done!

No comments:

Post a Comment