Ini adalah
postingan dan catatan pertama saya untuk Simbah tercinta. Sebenarnya agak tak
berhubungan dengan Ende. Jadi yang mau skip, boleh langsung baca postingan
selanjutnya saja ^^.
Cerita ini
berkisah tentang Mbah Uti dan Mbah Kakung tercinta. Well, saya sebenarnya masih
punya Simbah lain dari Bapak, Mbak Kaji Putri dan Mbah Kaji Kakung. Tapi,
keduanya sudah wafat jauh sebelum saya bisa merasakan cinta mereka. Jauh
sebelum saya bisa mengenal mereka.
Mbah Kaji
Putri lebih dulu wafat ketika saya masih usia 5 atau 6—entah saya tidak ingat
kapan tepatnya Simbah meninggal. Tak banyak memori tentang beliau—kecuali saya
sering diajak ke pasar oleh Ibuk dan masuk ke toko Simbah yang padat dan bau
manis gula batu. Bau gula batu itulah yang ada di memori saya. Mbah Kaji Kakung
wafat ketika saya kelas 4 SD. Memori tentang beliau ada, hanya sebatas ketika
saya minta uang recehan pada Simbah untuk beli es dong-dong. Dan saya masih
ingat, Simbah membuka laci lemarinya yang berisi buaaaannnyak sekali uang
receh. Jaman itu, recehan sama berharganya dengan uang lima ribu atau sepuluh
ribu sekarang ini. Lalu memori lain saat Simbah sakit dan tinggal di rumah lor
pun ada. Saya masih ingat juga, ranjang tempat saya tidur selama 10 tahun lebih
adalah ranjang Simbah Kaji selama dirawat di rumah lor.
Lalu, saya
pun hanya tinggal punya 2 Simbah, Mbak Uti dan Mbah Kakung. Simbah dari pihak
Ibuk. Mereka orang tua Ibuk. Mereka tinggal di Tajeman.
Saya cukup
dekat dengan Mbah Uti dan Mbah Kakung. Mungkin karena saya sering sekali ke
Tajeman. Saya menganggapnya sudah seperti rumah kedua. Setiap weekend saya
selalu ke sana, main dengan Mas Khan, Mas Min, dan sebagainya. Kalau mereka
pergi, saya tinggal di rumah Simbah. Semasa SMP, saya lebih banyak tinggal di
sana karena SMP saya di dekat sana. Saya sering memasak dengan Mbah Uti,
mengobrol ala kadarnya (coba deh, mana bisa saya ngobrol dengan Mbah Uti, saya
kan masih SMP -_-), bantu-bantu Simbah, dsb.
Ya, saya
sering berinteraksi dengan Mbah Uti.
Lalu,
beberapa tahun kemudian Simbah wafat, saya lupa ketika saya usia berapa. Ketika
saya SMA kelas 1 mungkin. Sunday morning rain is falling. Saya kehilangan
beliau. Saya menangis.
Dan kemudian
saya pun hanya tinggal punya Simbah Kakung saja. Saya jarang berinteraksi
dengan beliau. Apalagi ketika saya kuliah pun semakin jarang berkunjung.
Kemudian saya mulai mengajar di SDIT dan saya sering bertemu Simbah. Simbah
semakin tidak sehat, mungkin karena usia yang sudah menua. Katanya Simbah sudah
100 tahun lebih. Kadang dengan saya pun sudah tidak ingat.
Beberapa
waktu lalu, Mas Aziz bercerita tentang Simbah. Simbah bercerita tentang seorang
temannya yang heran kenapa Simbah betah sendiri setelah Mbah Uti
meninggal—tidak mencari penggantinya.
“Lha wong
aku ikhlas kok ngene ki,” kata Mbah Kakung (redaksinya mungkin agak berubah ya,
kan sudah dari sumber kedua, artinya ‘saya sudah ikhlas’).
Saya
menangis dan bergetar ketika Mas Aziz berkata begitu. Dengan bahasa yang
sesederhana itu, Mbah Kakung menunjukkan keromantisannya. Ya, karena Mbah
Kakung ikhlas dengan kepergian Mbah Uti jadinya beliau masih tetap setia. Setia
untuk tidak menduakan Simbah Uti. (Gusti, semoga Engkau memberikan surga pada
Mbah Uti, amin :*)
Ah, Mbah
Akung keren banget... Love you full, Mbah Akung :*
Beberapa
hari lalu, saya dengar Mbah Akung jatuh (entah terpeleset atau tidak) dan luka
ringan. Sejak saat itu, keseimbangan beliau sepertinya berkurang. Ya, Mbah
Akung sudah tua. Mungkin waktu Simbah di dunia tidak akan lama lagi.
Ah...Gusti,
jagalah Mbah Akung selalu, semoga selalu sehat. Semoga Engkau masih berkenan
untuk memberikan kesempatan pada saya untuk bertemu Mbah Akung tahun depan,
ketika saya kembali ke rumah. Semoga Engkau memberikan kesempatan pada beliau
untuk menimang cicitnya. Semoga Engkau memberikan kesempatan pada beliau untuk
menjadi saksi dalam pernikahan saya kelak. Aminn... *berdoa khusyuk.
Update: simbah kakung wafat pada tahun 2017. Sedih? Iya. Saking sedihnya air mata saya TIDAK menetes. Semoga surga untuk beliau, lahal fatihah
ReplyDelete