Salah satu
hal terberat dari tinggal di bukit ini (FYI, saya sedang di Ende bagi yang
belum tahu), adalah bahwa saya satu-satunya orang Muslim dalam radius 5 km
(nglebay, karena saya kan tidak bawa meteran, hahaha). Jadi, di satu desa ini,
hanya sayalah yang bersyahadat. Hanya sayalah satu-satunya yang bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah RosulNya. Hanya saya, tidak ada
yang lainnya.
Mungkin itu
adalah jawaban dari doa-doa yang pernah saya panjatkan—entah saya sadar ataupun
tidak. Bahwa saya ingin ‘menjumpai’
Alloh. Karena, berada di lingkungan yang mayoritasnya adalah Muslim,
membuat saya kesusahan untuk ‘menjumpai’Nya. Yap, mayoritas di Bantul adalah
orang Muslim. Lihat saja, saya mendengar suara adzan 5 kali dalam sehari—yang
lebih sering diacuhkan banyak orang, saya melihat orang-orang suci (dalam
artian suci hadasts besar dan kecil) setiap hari, melihat orang-orang yang taat
kepada Alloh, melihat banyak wanita berjilbab, aman saja makan apapun karena
saya yakini pastilah halal, tidak ragu untuk makan, berjalan, dan melakukan
apapun juga karena pastilah sesuai tuntunan. Karena Islam menjadi mayoritas di
sana, tidak seperti di sini. Mereka menyembah Alloh.
Sumber Gambar |
Dan inilah
saya di tanah rantau sebagai muslim minoritas. Muslim memang menjadi minoritas
di daerah pegunungan dan pedalaman, tapi menjadi cukup mayoritas di kota. Jadi,
kalau ada yang pernah melihat kota Ende, banyak sekali masjid-masjid yang bisa
ditemui di sepanjang jalan. Kita pun bisa mendengar adzan 5 kali sehari.
Menjumpai orang berpakaian takwa pun juga banyak. Tapi di pegunungan, boro-boro
Masjid, umat Muslim pun mungkin hanya 1-2 keluarga saja. Dan (kebetulan lagi),
di desa saya tidak ada Muslim. Hanya saya saja.
Dalam bulan
pertama saya berada di sana, benar-benar penyesuaian yang sangat berat sekali.
Saya harus was-was ketika makan—takut bahwa makanan ini sudah dijilat anjing,
lebih tepatnya, takut kalau yang saya makan itu barang haram. Saya selalu risih
bila sedang makan ada anjing berseliweran. Saya agak berasa aneh ketika berada
di suatu pesta saya makan ikan sendiri sementara semua orang lainnya di
sekeliling saya makan daging babi. Saya agak aneh ketika melihat anak-anak
kencing di luar (terbuka, tanpa kakus), tanpa cuci tangan sama sekali, dan
(akhirnya) bersalaman dengan saya. Saya harus menerima kenyataan bahwa setiap
pagi, siang, sore, malam, dan sebelum tidur, saya harus pastikan bahwa saya
sudah sholat karena tidak ada adzan. Saya juga was-was dalam berjalan, memegang
ini dan itu, duduk entah dimana, dan sebagainya, karena khawatir menyentuh
barang haram. Well, hal-hal sederhana itu membuat saya benar-benar shock.
Shock!!!! (hingga akhirnya sakit, seperti yang saya tulis di SINI).
Tapi, pada akhirnya,
banyak juga punyesuaian yang saya lakukan. Bismillah saja deh. Kalau saya tetap
bersikukuh untuk menyamakan kondisi di sini dengan di Jawa, saya yakin saya
tidak akan betah dan gampang sakit karena nafsu makan tidak ada. Jadi ingat
juga ketika Mbak pernah pergi ke Maumere beberapa waktu lalu dan menakut-nakuti
saya dengan kondisinya. Cara bercerita Mbak benar-benar terlihat bahwa dia
‘menderita’ di sana. Tapi, saya dan Mbak kan berbeda dalam beberapa hal.
Setidaknya, saya lebih tahan banting dan bisa makan apapun juga tanpa banyak
protes—beda dengan Mbak. Hehehehe *pizzz, Sist :*
Saya mulai
oke saja ketika mereka makan daging babi atau anjing di dekat saya—seraya
berdoa semoga piring saya bersih, saya oke saja ketika mereka meminta saya
menjagal ayam (sampai 5 ekor, hehehe)—dengan
harapan saya akan makan ayam, wkwkwkwk, saya oke saja melintasi di depan
anjing, kadang menginjak kotorannya, lalu mencucinya hingga bersih (semoga).
Saya sudah mulai bersahabat dengan debu dan anak-anak berdebu yang tidak pakai
sandal dan tidak cuci kaki. Saya sudah mulai oke dengan keadaan di sini—selalu
sedia hand sanitizer di tas yang semoga cukup membantu. Saya coba mensterilkan
kamar saya dari orang lain, supaya saya merasa bahwa masih ada satu tempat
dimana saya yakini tempat itu suci dan tidak najis. Yap, kamar saya.
Tapi
penduduk di sini baik, kok. Semuanya menghargai. Terutama keluarga saya. Anjing
tidak masuk di sini. Air juga bersih. Kamar saya steril. Dan yang pasti,
makanannya insya Alloh halal, tidak ada benda-benda haram yang ditaruh
sembarangan sehingga saya salah makan atau apa. Yang jelas, saya bisa mandi dua
kali sehari, minum air bersih, cuci baju dengan air bersih, dan juga bersuci.
Meski kadang air hanya sedikit. Meski kadang harus pergi ke sungai. Meski pada
akhirnya kadang juga tidak mandi dan tayamum karena tidak ada air.
Sumber Gambar |
Kata Kak Lela,
masyarakat Ende itu menghargai Muslim dan tahu bagaimana caranya memasak untuk
orang muslim. Mereka tahu mana yang baik dan tidak untuk Muslim. Syukurlah
tahun lalu ada Kak Eci, seorang Muslim juga, sehingga masyarakat sudah tahu
bagaimana memperlakukan Muslim tanpa saya harus bilang apa-apa. Beda dengan masyarakat Lio yang notabene
disamakan. Jadi, kalau memasak ya dicampur begitu saja, daging babi dan daging
halal tanpa dibedakan. Itu hanya katanya, saya belum kroscek ke teman-teman
lainnya yang di Lio.
Yang jelas,
honestly, saya serasa benar-benar menemukan Alloh di sini. Pada siapa lagi saya
memohon selain pada Alloh di sini? Pada siapa lagi saya bisa menyandarkan diri
selain pada Alloh? Pada siapa lagi saya minta perlindungan selain pada Alloh?
Saya rasa tidak ada. Tidak ada. Keluarga tidak ada. Bapak Ibuk tidak ada. Mas
Aziz pun tidak ada. Mbak Pik dan Mas Prio pun tidak ada. Hanya Dia yang saya
miliki di sini. Dan, alhamdulillah, sejauh ini, Dia benar-benar ada di dekat
saya, tak pernah meninggalkan saya.
Thank you
Alloh. Alhamdulillah, Subhanalloh, Astaghfirulloh.
*) PPT in
Ende, wkwkwk...
*) Satu tahun untuk selamanya!
No comments:
Post a Comment