Curcol
duluh...
Bayangan
saya itu, saya pengen punya cerita-cerita yang menginspirasi—yang semacam IM
punya itu, yang katanya menginspirasi banyak orang. Tapi begitu ditulis di
blog, cerita saya kok jadi semacam cerita-cerita lucu, ya. Hehehe...mungkin
gaya penyampaian saya yang terlalu biasa dan jauh dari bahasa menginspirasi
yang membuat cerita-cerita saya di blog tidak menginspirasi, hehehe. Tapi,
memang beginilah cerita saya—apa adanya saja, tidak perlu dibuat-buat.
Kali ini
saya akan posting tentang pengalaman pertama saya mencuci di kali.
Well,
sebenarnya, ketika saya memutuskan untuk ikut SM3T (atau IM), sudah ada
bayangan bahwa saya akan mencuci di sungai. Tapi, begitu saya sampai di lokasi
yang notabene air mengalir di selang rumah dengan lancar meskipun kueciiilllnya
minta ampun, tetep saja ada air untuk mencuci. Jadi, saya rasa saya tidak akan
ada moment yang mengharuskan saya mencuci di sungai.
Jadi ingat
juga kunjungan saya ke Nangaba tempo hari. Sungai Nangaba menjadi semacam
tempat wisata di sini kalau hari Minggu. Semacam Pantai Parang Tritis di hari
Minggu. Ramai, banyak orang, banyak makanan, banyak yang kencan, banyak yang
geje juga. Ada yang mandi, mandiin sapi, mandiin mobil atau motor, cuci baju,
maupun yang hanya duduk di tikar sambil makan. Geje banget saya melihat
fenomena ini. Di Jawa, orang wisata itu di pantai. Di sini, mereka wisata di
sungai—pantainya malah sepi. Heeemmm...sesuatu banget.
Well,
akhirnya, tempat saya pun krisis air. Air yang mengalir super kuecil dan saya
sudah kehabisan baju. Mau tidak mau, saya harus cuci baju. Lihat di tempat
penampungan air, ada seorang mama yang sedang tadah air. Airnya mengalir
sedikit saja. Selain itu, masih buanyak sekali jerigen yang menunggu untuk
diisi airnya—ada lebih dari 20 jerigen. Ah...bakal lama mencuci di sini. Saya
pun memutuskan untuk ke kali. Kami ijin Mama. Dan horeee...dipersilakan kalau
pergi bareng Tevin. Tevin mengajak Festi. Kami bertiga pun menuju kali.
Kali ini
adalah kali utama yang mengalir dari puncak gunung nun jauh di sana—bahkan
lebih jauh dari Kekajodo—kata Tevin. Dimana sumbernya, dia tidak tahu—apalagi
saya. Jaraknya dari rumah sekitar 10 menit jalan kaki menurun, jadi tidak
terlalu jauh sebenarnya—ekstra 5 menit kalau naik, soalnya mendaki. Tidak
pernah kering katanya, jadi selalu mengalir meski musim panas. Tempat ini
dijadikan sebagai area untuk mandi dan cuci baju. Kata Tevin, kali ini ramai
kalau hari minggu.
Syukurlah
hari ini sepi. Saya tidak suka keramaian. Dan saya senang kali ini tidak ramai.
Kami sampai
di jembatan. Saya pikir, kami akan mencuci di bawah jembatan, ternyata kami
masih blusukan melintasi jalan setapak di tengah kebun kakao, hingga akhirnya
sampai di bagian yang jauh dari sinar matahari. Gelap. Seram. Creepy banget.
Tapi, karena saya adalah orang paling dewasa diantara dua anak kecil kelas 6
dan kelas 1 SD, saya pun sok-sok berani dan menenangkan mereka berdua.
“Ih, Ibu
saya takut,” kata Tevin.
“Sudahlah,
tidak ada apa-apa. Tenang, ada Ibu di sini,” sahutku memasang tampang sok
berani. Hahaha...jaim sedikit lah...
Tak sampai 2
menit, kami sampai di tempat tujuan. Saya pikir akan ada kali yang mengalir
seperti di film-film itu—deras dan jernih. Tapi ternyata tidak. Kali itu
kering. Dimana-mana daun kering berserakan. Batu-batu besar mengikuti aliran
sungai berada di samping kanan dan kiri. Tampak kotor dan tidak sehat. Banyak
nyamuk. 3 batang bambu melintang di dua buah batu besar, salah satunya mengalirkan
air. Mirip seperti kran. Kalau di Jawa mungkin namanya sendang atau pancuran.
(Well, di bagian ini saya menyesal karena tidak bawa si sony, jadinya tidak
bisa jepret-jepret. Kali lain saya, yakk, hehe).
Saya pun
lantas mencuci baju saya ditemani dua anak kecil itu. Saya dan Tevin banyak
bercerita sementara Festi lebih banyak diam. FYI, Tevin adalah adik saya di
sini. Dia putri ketiga Bapak. Bapak punya 4 orang anak, yang pertama adalah
Yoland yang sedang kuliah di Jawa, kedua adalah Faldi yang kelas 2 SMA di kota
entah dimana, ketiga ada Tevin, terakhir adalah Vario. Mereka sekolah di
Worombera.
Kami mencuci
selama 1 jam. Sebagai hadiah, saya beri masing-masing sebutir permen—atau yang
di Ende lebih dikenal dengan bon-bon. Kami pulang. Di jembatan kami bertemu
Bapak. Tak beberapa lama kemudian kami bertemu Oni dan Bibinya (saya lupa
namanya siapa, nih). Kami pun naik bersama—minus Bapak, beliau masih berkebun.
Di jalan kami berhenti dan saya melihat Bibi Oni mencabut ubi talas. Well, saya
memang sering makan kripik talas, sering juga melihat ubi talas di rumah simbah
beberapa tahun lalu, tapi melihat langsung prosesi pencabutannya, baru kali
ini. Mereka mencabut beberapa batang pohon.
“Daunnya itu
ditaruh mana?” tanya saya pada Tevin ketika melihat Bibi Oni membuang pohon
talas dan mengambil ubinya.
“Kami buang,
kasih makan babi saja,” kata Tevin cepat.
Saya
teringat sebuah cerpen beberapa tahun silam yang saya baca di Majalah Bobo.
Judul cerpennya adalah Sayur Imitasi. Di cerita itu, daun talas dijadikan sayur
sehingga terlihat seperti imitasi. Saya jadi bertanya-tanya sendiri, apakah
daun talas bisa dimasak??? Entahlah...pertanyaan itu belum saya temukan
jawabannya.
Matahari di Puncak Nakawara |
Kami sampai
di rumah jam 4 sore. Saya lantas menjemur pakaian saya sementara Tevin masuk ke
rumah. Saya mandi dan sholat ‘Asar. Setelah itu, istirahat.
Well, itu
adalah pengalaman pertama saya mencuci di kali. Saya yakin, akan ada pengalaman
kedua dan ketiga dan seterusnya. Tevin bilang, kali akan ramai, terutama kalau
air tidak ada. Itu artinya, pada saat musim kemarau nantinya, banyak orang akan
turun dan beraktifitas di kali. Saya tidak suka keramaian, tapi kalau terpaksa,
ya mau bagaimana lagi kan ya. Semoga dipermudah saja deh. Semoga air dari
selang mengalir ke bak kamar mandi rumah, sehingga saya tidak perlu ke sungai.
Amin. *mau enaknya saja.
Salam
semangat dari Bumi Pancasila, puncak Nakawara.
Satu tahun untuk selamanya!
No comments:
Post a Comment