Tahukah
kalian, uang logam nominal 100 dan 200 rupiah di Ende itu TIDAK digunakan. Jadi,
setiap kali kita melakukan transaksi yang bernominal itu, maka akan dibulatkan
ke pecahan 500 rupiah.
Sumber Gambar |
Pertama kali
saya kaget sekali, karena saya belum pernah bertransaksi sama sekali dengan
menggunakan uang pecahan itu (bahkan hingga tulisan ini saya posting).
Maksudnya, saya selama ini menggunakan uang pecahan 1000, 2000, 5000, 10000,
20000 dan 50000 (bahkan tidak juga menggunakan nominal 500). Dan berdasarkan
informasi dari teman saya—yang saya lupa siapa, ternyata pecahan 100 dan 200
itu tidak ada. Meskipun ada pecahan 200 dan 100 dengan nominal 500, tetap
pedagang tidak mau menerima. Mereka hanya mau menerima pecahan 500 saja.
Makanya, hampir semua harga di sini dipatok dengan harga 1000 atau 5000 atau
10000, dsb. Misalnya, harga permen 1000 dapat 3 biji. Harga 3 ikat sayur selada
adalah 5000. Harga 1 ekor ayam adalah 60000. Harga 5 ekor ikan adalah 10000.
Jadi, kalau mau beli sayur selada satu ikat ya tidak boleh, mau beli ayam hanya
paha atau dadanya saja ya tidak boleh, mau beli ikan 1 ekor dengan harga 2000
ya tidak boleh.
Begitulah...
Tapi tenang
saja kok, mengeluarkan uang di kota itu tidak seterasa ketika mengeluarkan uang
di bukit atau di Bantul. Mengeluarkan uang 10000 di Bantul itu rasanya lebih
eman-eman dibandingkan di sini, wkwkwkw. Pengaruh ketersediaan dana juga kan
ya, hehehe...
Selain uang
logam, saya ingin menceritakan keunikan dari daerah ini, terutama pasarnya.
Saya sih baru menjumpai satu pasar saja, yaitu Pasar Bongawani di Ende Selatan.
Pasalnya, hanya pasar inilah yang mampu ditempuh dengan jalan kaki dari
kontrakan tercinta kami. Jadi, tempat inilah yang saya tuju untuk membeli
kebutuhan ketika berada di kota.
Salah satu
keunikan di pasar ini yang saya coba bandingkan dengan pasar di Bantul adalah
bahwa pasar di sini itu tidak menggunakan satuan berat dalam bertransaksi.
Maksudnya adalah untuk menjual dagangannya, para penjual tidak menggunakan
timbangan. Misalnya, cabai tidak dijual dalam satuan kilogram seperti di pasar
Bantul, tetapi menggunakan gelas. Gelas besar berisi cabai harganya 20000,
gelas sedang 10000, dan gelas kecil 5000. Tomatpun juga demikian, satu kelompok
tomat berisi 5-6 butir dijual 5000. Untuk sayur biasanya menggunakan ikat,
misalnya bayam 2 ikat 5000, kangkung 3 ikat 5000. Untuk buah, terkadang
menggunakan jumlahnya, misalnya terong 5000 dapat 3, mangga 10000 dapat 3, dsb.
Pernah saya beli kubis dijual 10000 (beratnya sekitar 1 kg lebih) saya tawar
dapet 8000. Beberapa bahan pokok tetap menggunakan satuan kilogram, misalnya
bawang merah bawang putih, beras, gula, tepung, dsb.
Saya sih
terkadang merasakan pemborosan dengan cara ini. Maksudnya, ketika saya dulu di
rumah, biasanya mau beli sayur buat bikin sop, maka tinggal bayar 5000 saja
sudah komplit kubis, daun bawang, wortel, seledri, dan buncis. Murah kan. Mau
beli bawang merah bawang putih 10000 maka sudah dibungkuskan. Tidak perlu beli
ini berapa rupiah, itu berapa rupiah, dsb. Boros.
Meskipun
kebiasaan di sini beda dengan daerah asal saya, tapi tetep harus dinikmati.
Toh, berkat saya ikut program ini, saya jadi belajar manajemen rumah tangga
alias pengeluaran pribadi, wkwkwk. Saya juga jadi tahu harga-harga barang di
pasar karena satu bulan sekali pasti ke pasar. Saya jadi tahu lorong-lorong
pasar Bongawani. Saya jadi punya toko langganan, punya orang malang yang
gayanya gemulai, wkwkwk. Saya juga jadi tahu, bahwa lebih murah membeli tahu di
pabriknya daripada di pasar. Saya juga jadi tahu, bahwa ikan ini pantasnya
seharga 10000 atau 15000. Well...saya yakin, apa yang saya dapatkan ini akan
berguna suatu hari nanti, ketika sudah kembali ke kampung halaman ^^
No comments:
Post a Comment