Tahun ini,
Kabupaten Ende memiliki agenda besar, yaitu pesta demokrasi pemilihan bupati
dan wakil bupati. Dan kebetulan sekali, tanggal pemilihannya adalah beberapa hari
pasca saya berada di daerah penempatan. Setelah pilkada putaran pertama, di
awal Desember dilakukan lagi pilkada putaran kedua.
Pada
awalnya, saya tidak terlalu peduli dengan pilkada yang tengah berlangsung. Saya
sedang gugup menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, sehingga tidak
terlalu memperhatikan siapa saja yang maju menjadi calon bupati dan wakil
bupati. Saya hanya paham, ada 8 paket saja yang kemudian menjadi 2 paket pada
putaran kedua. Entah siapa saja namanya, ah...saya memang susah mengingat nama.
Tapi saya
pun dipaksa harus mengingat. Karena ada satu kejadian yang benar-benar tidak
akan saya alami kalau saya ada di Bantul.
Suatu hari
Minggu, saya sedang bersantai di rumah. Tiba-tiba saja, sebuah mobil lewat,
diikuti oleh kehebohan beberapa warga, termasuk Mama dan orang di rumah.
Ternyata, ada salah satu calon yang akan berkampanye. Orang itu adalah
Dominikus Mere, calon wakil bupati dari Don Wange.
Kampanye di Desa, Edisi Paket Madani, Malam Hari Jadi Gelap Memang |
“Ayo Ibu,
kita naik sebentar,” ajak Mama. Aku pun bersiap-siap. Ku sambar kaos kebangsaan
SM3T (yang kemarin dipakai di sekolah) dan sudah siap dalam 5 menit. Kami
mendaki ke dusun sebelah. Hanya 15 menit, tapi mampu membuat keringat mengalir
deras.
Sampai di
sana, acara sudah mulai.
Saya pun
mengekor di belakang Mama, bersiap duduk di kursi di belakang, ketika tiba-tiba
sebuah suara memanggil. Dan Bapak calon bupati itu meminta saya duduk di
depan—di sampingnya. Oh God...saya menelah ludah, tidak percaya dengan apa yang
baru saja terjadi. Tapi, mau tidak mau, tidak ada pilihan lain, saya pun maju
dan duduk di sana. Yap, di hadapan semua orang. Di samping seorang calon wakil
bupati. Di samping orang penting. Bersama orang-orang penting. Jauh di dalam
hati, saya tidak merasa penting. Jauh di dalam hati, saya serasa ingin
tenggelam saja.
Di kota
saya, mana pernah kan saya seperti ini.
Well,
kejadian setelahnya berlangsung dengan ackward banget. Saya hanya mendengarkan
si Bapak berkampanye saja—setengah roaming dengan bahasa daerah dan Indonesia
yang dicampur-campur. Tapi, saya memahami apa yang disampaikan si Bapak. Di
akhir kampanye, saya mengobrol sekitar 5 menit dengan si Bapak, menyampaikan
pengalaman di sini dan kekurangan dari sekolah yang saya tempati.
Hari itu
berlalu...
Suatu hari
yang lain, suatu maghrib, 4 hari sebelum acara pemilihan putaran kedua, sebuah
mobil memasuki jalan desa. Saya yang baru mau sholat maghrib, melongok ke luar,
karena tiba-tiba semua orang ribut. Selesai sholat, saya keluar. Orang-orang
sudah heboh, ternyata ada Pak Marcel, calon bupati lainnya yang mau berkampanye.
Mereka menuju ke Nakawara. Setelah dari Nakawara, mereka baru ke sini.
Selesai
makan dan bersiap-siap, jam 8 lebih rombongan datang.
“Mau ke sana
koh, Ibu?” tawar Mama.
“Ya, kalau
Mama ke sana saya ikut juga,” jawabku.
“Ya sudah,
kasih mati TV sekarang,” lanjut Mam. Kami pun menuju ke rumah Mama Erwin.
Begitulah,
dua pengalaman saya menghadiri kampanye dua cabup.
Saya pribadi
agak heran dengan cara kampanye di sini. Secara, di kota saya kan kalau
kampanye tidak datang ke desa terus berkumpul dan sharing begini. Tapi, secara
massal di tempat terbuka begitu. Tapi, mungkin, karena demografi wilayah yang
berjauhan dan terpencil, maka cara paling efektif untuk berkampanye ya dengan
mendatangi setiap desa atau dusun satu per satu.
Satu hal
lainnya yang begitu ackward adalah bahwa menjadi ‘seseorang’ di sini itu adalah
sesuatu yang luar biasa. Saya mah tidak akan seperti ini di kota saya, sampai
yang duduk satu ruangan dengan orang-orang penting, disapa dengan ramah, diajak
mengobrol santai, dan sebagainya. Strata di sini dengan di sana berbeda. Saya
hanya orang biasa di sana. Tapi di sini, saya benar-benar ‘serasa’ menjadi
orang luar biasa.
Meski
sebenarnya saya juga tetap biasa saja... ^^
No comments:
Post a Comment