Baiklah,
lewat catatan ini saya tegaskan bahwa saya tidak mendiskriminasi bahasa lain.
Saya tidak ada maksud untuk memuja bahasa Jawa hanya karena saya orang Jawa.
Sepertinya rasis banget kan. Tapi, saya tegaskan lagi, saya orang yang cinta damai,
dan postingan ini hanyalah curhatan geje saya selama saya di tempat pengabdian
(ceileh, bahasanya ngeri sudah).
Kali ini
saya akan mem- posting tentang keragaman bahasa di tanah Ende.
Ende
memiliki tiga suku besar yang dominan (menurut Drs. Ghermanus L. Medho waktu
beliau menyampaikan materi tentang Kabupaten Ende saat saya dan teman-teman
prakondisi di AAU tempo hari), yaitu Etnis Lio, Etnis Ende, dan Etnis Nanga
Panda. Etnis Lio sendiri terdiri dari daerah Ndona, Ndona Timur, Wolojita,
Wolowaru, Ndori, Lio Timur, Kotabaru, Maurole, Wewaria, Maukaro, Detusoko,
Detukeli, Kelimutu, dan Lepembusu Kelisoke. Etnis Ende meliputi daerah Ende,
Ende Tengah, Ende Timur, Ende Utara, Ende Selatan, dan Pulau Ende. Terakhir,
Etnis Nanga Panda terdiri dari Nanga Panda dan Maukaro.
Imbasnya,
bahasa yang digunakan di Kabupaten Ende itupun ada beberapa bahasa (bahkan
sebenarnya, di daratan Flores itu hampir
semua kabupaten memiliki bahasa yang beragam, sehingga bahasa Indonesia menjadi
bahasa percakapan sehari-hari di tempat-tempat umum, seperti di terminal,
pelabuhan, pasar, dsb. Hebat kan, the real Indonesian banget). Bahasa yang
paling dominan adalah bahasa Ende dan bahasa Lio. Kebetulan saya ditempatkan di
daerah yang berbahasa Ende. Maka, sedikit demi sedikit saya mulai belajar
bahasa Ende. Misalnya, kata-kata sederhana seperti Ja’o, Miu, Ka, Eru, Sai,
Ho’o, Petu, Mai si, Mai ka, dsb (jika terdapat kesalahan penulisan bahasa,
mohon dimaklumi...hehehe...).
Nah, di
sinilah saya melihat perbedaan yang mendasar antara bahasa Jawa dan bahasa
Ende. Tidak hanya dengan bahasa Ende sebenarnya, tapi juga bahasa Inggris.
Bahwa bahasa Jawa itu adalah bahasa yang rumit dan sangat berbeda sekali dengan
bahasa yang lain (ini tidak hanya pendapat pribadi saya, tapi beberapa orang
sudah pernah mengatakannya juga—hanya saja saya lupa siapa saja, hehehe).
Mengapa
demikian?
Sumber Gambar |
Coba
dibandingkan dengan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia atau bahasa Ende yang
hanya menggunakan satu kata saja, yaitu ‘kamu’, ‘you’, ‘miu’, dsb. Lebih sederhana.
Tapi, bagi saya yang sudah biasa menggunakan kata ‘njenengan’ dan ‘sampeyan’
pada orang lain, mengatakan ‘kamu’ kepada orang yang lebih tua itu rasanya
tidak sopan sekali. (sekali lagi, ini mungkin hanya rasa bahasa saja).
Dan jujur
saja, saya selama hidup begini belum bisa mempraktikkan secara bagus bahasa
Jawa yang baik dan benar. Misalnya, kalau saya ngomong menggunakan bahasa Jawa,
maka saya akan campur antara bahasa Jawa alus, madya, bahkan bahasa Indonesia
juga—kadang terselip ngoko juga, karena saking groginya. Yap...memang saya
masih amatir dalam penggunaan bahasa Jawa, tapi tetap berusaha untuk
menggunakannya. Orang Jawa kok tidak bisa bahasa Jawa, yang malu-maluin banget
kan (meski sebenarnya tak sedikit orang yang tidak bisa bahasa Jawa padahal
orang Jawa, hehehe...*pizzz).
Jadi, sangat
sulit untuk berbicara dengan bahasa Jawa kalau tidak dibiasakan sejak kecil.
Yap, sejak kecil. Peran orang tua menjadi dominan di sini. Pasalnya, lingkungan
di daerah Jawa saat ini kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia. Meski
menggunakan bahasa Jawa pun, yang digunakan adalah bahasa ngoko. Imbasnya,
anak-anak pun lebih akrab dengan bahasa ngoko dibandingkan dengan bahasa
alus—bahkan malah menggunakan bahasa Indonesia. Saya amati, orang tua yang
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian, maka anak-anaknya pun
cenderung berbahasa Indonesia. Beda cerita ketika orang tuanya menggunakan
bahasa Jawa ngoko, maka anak-anaknya pun menggunakan ngoko. Nah, kalau orang
tuanya menggunakan bahasa Jawa alus, pastilah nanti anak-anaknya terbiasa
dengan bahasa Jawa yang alus—meski secara keseharian di masyarakat dan sekolah
dia menggunakan bahasa Indonesia.
Nah, makanya
penggunaan bahasa keseharian pun harus benar-benar dicermati ketika kita sudah
berumah tangga nantinya, karena akan memengaruhi perkembangan bahasa anak kita
nantinya.
Saya tahu
itu tidak mudah, terutama bagi orang seumuran saya—baik yang belum menikah,
sudah menikah, maupun yang mau punya anak. Terlebih ketika kita tidak bisa
bahasa Jawa dengan baik dan benar tapi ingin anaknya bisa bahasa Jawa. Saran
sederhananya hanya satu yaitu mulai belajar saat ini juga. Belajar. Meski
sedikit, itu pasti akan memiliki dampak yang sangat baik. Anak yang keluarganya
menggunakan bahasa Jawa, saya perhatikan cenderung sopan, santun, dan ngajeni orang yang lebih tua. Saya sih,
pengen anak saya seperti itu.
Jadi, kalau
dalam angan saya nih, nanti saya ingin menggunakan banyak bahasa di rumah:
bahasa Jawa alus maupun madya—sebisa mungkin hindari ngoko, bahasa Indonesia
yang baik dan benar—bukan bahasa gaul, bahasa Inggris, dan bahasa Arab. Well,
tentu saja itu tidak mudah, apalagi saya kan tidak bisa bahasa Arab.
Heemmm...urusan bahasa Arab biar dipikir bapaknya, wkwkwk... Tapi itukan hanya
angan-angan saja...
Ah,
postingan saya kali ini super geje ya...hehehe...yang penting posting.
Endingnya, saya tekankan di sini, bahwa bahasa Jawa itu bahasa yang keren,
tidak mudah dipahami, tapi begitu dipraktikkan secara total benar-benar bisa
amazing. Dan saya bangga menjadi orang Jawa. Terlebih lagi, saya bangga menjadi
orang Indonesia. Indonesia yang bhineka tunggal ika. Indonesia yang sangat kaya
sekali.
*) postingan
ini tidak mengandung unsur rasisme, jadi mohon maaf apabila ada yang merasa
tersindir, sakit hati, dsb, a thousand sorry...kritik dan saran diperlukan
untuk perbaikannya.
No comments:
Post a Comment