Pulau Flores
memiliki tiga destinasi wisata yang sangat keren (menurut saya): deretan rumah
adat di beberapa kawasan yang masih alami, pantai-pantai di sepanjang selatan
dan utara pulau yang keindahannya belum banyak terekspos publik, serta Danau
Kelimutu. Dan kali ini, saya ingin posting salah satu tempat yang sempat saya
kunjungi beberapa waktu lalu, yaitu Riung.
Dermaga Riung |
Riung
merupakan gugusan 17 Pulau yang ada di Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada. Riung
berlabel Taman Wisata Air Laut (TWAL) 17 Pulau. Ada 17 pulau di wilayah itu
yang begitu indah dengan laut yang penuh dengan terumbu karang menawan.
Beberapa pulau berpasir putih itu memiliki kelebihannya masing-masing. Well,
that’s why I do really wanna go there.
Libur Paskah
yang panjang menjadi waktu yang kami pilih untuk pergi. Kami start dari Kota
Ende pukul 05.15 WITA. Jarak dari kota Ende adalah 110-an km. Kami perkirakan
waktu perjalanan adalah 4 jam, sehingga kami akan sampai di Riung pada pukul
09.15 WITA. Menurut banyak blog dan obrolan dengan teman, Riung asyik dinikmati saat pagi hari. Ada 4 motor yang pergi hari itu. Beruntung, salah satu dari kami
sudah pernah berkunjung ke sana, sehingga ada penunjuk jalan. Kami berjalan
santai menyusuri jalan Nangapanda. Matahari masih tampak malu-malu. Hawa masih
dingin, sisa-sisa angin pantai yang berhembus.
Matahari bersinar
dan mengusir hawa dingin ketika kami memasuki Kabupaten Nagekeo. Jajaran pantai
berubah menjadi perbukitan hijau. Jalan halus Nangapanda berubah menjadi jalan
beraspal yang sedang dalam perbaikan. Kami mengurangi kecepatan karena jalan
licin. Gunung Inerie di kejauhan tampak indah menjulang di antara perbukitan
Nagekeo.
Tak beberapa
lama kemudian, kami sampai di Cabang, arah kanan menuju ke Bajawa, sedangkan
arah kiri menuju Mbay. Kami melaju menuju Mbay. Jalan halus dan berbukit kami
sasar. Kecepatan ditambah karena jalanan sepi. Sepemahaman saya, memang
jalan-jalan di Flores terbilang sepi meskipun berstatus sebagai Jalan Negara.
Well, mungkin karena berbagai faktor sehingga tidak banyak orang yang bepergian
di sini. Saya membaca salah satu papan jalan di sana: Aesesa. Kami ada di
Kecamatan Aesesa.
Dua jam
perjalanan dari Kota, kami mulai melihat Kota Mbay di kejauhan. Kota Mbay
berbeda dengan Kota Ende. Kota Mbay tampak datar dan tidak berbukit. Tampak
subur tapi juga janggal karena berada di pinggiran perbukitan. Garis pantai di
kejauhan memperelok pemandangan. Jalan mulai menurun tanda kami memasuki Kota
Mbay. Dan betapa bahagianya saya melihat deretan sawah berpadi tampak segar di
pinggir jalan. Well, saya serasa kembali ke tanah Jawa *kangen rumah.
Kota Mbay
tidak terlalu ramai, tidak seperti Kota Ende. Tapi, melihat kawasan pemukiman
penduduk setelah wilayah dan berbukit dengan sedikit pemukiman itu adalah
sesuatu yang melegakan sekaligus asing. Pasar Mbay yang saya rasa merupakan
sentral pasar di situ terlihat sangat ramai.
Sawah di Mbay, Ini Masih di Flores, lho, Bukan di Jawa |
Dari Kota
Mbay, kami menuju ke arah Riung. Deretan bukit teletubis mengiringi perjalanan
kami meninggalkan Mbay. Kenapa disebut bukit teletubies? Karena kami teringat
bukit-bukit yang ada di Film Teletubies, film waktu kami masih anak-anak. Satu
bukit yang tidak terlalu tinggi dengan ilalang yang memenuhinya, atau satu dua
pohon dan semak belukar. Bukit-bukit itu menjulang di samping kanan kiri,
terlihat elok sekali. Terkadang, ada segerombolan sapi yang bersantai sambil merumput di sana. Indah.
Indah.
Deretan
bukit teletubies menghilang, berganti dengan jalan kecil di tengah hutan. Well,
saya tidak tahu sih bagaimana menyebutnya, karena pohonnya tidak terlalu tinggi
sehingga agak aneh juga bila disebut hutan. Hampir 1 jam kami melintasi jalan
setapak itu. Agak ramai. Banyak motor yang ngebut sehingga tampak berbahaya
sekali. Kami pun juga ngebut. Tak beberapa lama kemudian, hawa pantai mulai
terlihat. Kami berhenti sejenak karena terlihat ada kampung nelayan. Sudah
sampaikah kita di Riung?
Kapal Sewaan untuk Berkeliling Pulau |
Oh, ternyata
belum. Riung masih sekitar 30 menit lagi. Kami pun mengikuti satu-satunya jalan
yang ada. Alih-alih jalan di pinggir pantai seperti di Kota Ende, kami malah
memasuki hutan. Tapi tentu saja tidak sembarang hutan. Kami melintasi deretan
hutan bakau di samping kanan (bakau kah? Well, saya tidak tahu sih, sok tahu
saja nih, wkwkwk). Oh, ternyata hutan itu untuk mencegah abrasi pantai. Kami
lihat air laut bahkan sudah sampai di jalan yang kami lintasi—beberapa tergenang.
Satu dua kali kami bisa melihat air laut di antara hutan bakau itu.
Tak beberapa
lama kemudian, kami mulai memasuki daerah pemukiman. Kami sampai di Riung. Jam
menunjukkan pukul 08.45. Perjalanan kami memakan waktu 3,5 jam. Not bad, eh?!
Well, saya
agak kaget sih sebenarnya, karena hampir tidak terlihat seperti tempat wisata.
Hanya semacam dermaga saja. Di kanan kiri, masih banyak rumah panggung yang
terbuat dari kayu. Sudah tampak lapuk dan tua. Mungkin pengaruh angin laut. Dari
jauh, tampak gugusan pulau. Hanya ada 2 atau 3 pulau yang terlihat, sementara
yang lainnya sangat jauh hingga tidak terlihat.
Kami
kemudian menyewa kapal. Hanya satu orang yang menawari kami--mungkin karena hari sudah siang, sehingga tidak banyak kapal yang tersisa. Tawar menawar pun
dimulai. Akhirnya kami mendapat harga Rp 300.000 untuk sewa kapal dan Rp
150.000 untuk tiga pasang jaket pelampung dan kacamata snorkling. Sangat amatir
jadi kami hanya menyewa seadanya. Kami berlayar tepat pukul 10.00 WITA. FTI,
tiket masuk ke tempat pariwisata itu adalah @Rp 1.500, cukup murah sekali.
Untuk motor, kami membayar Rp 10.000 untuk 3 buah motor.
Narsis di antara kelelawar |
Pulau
pertama yang kami kunjungi adalah Pulau Kelelawar. Namanya cukup unik namun
sesuai dengan kondisinya. Pulau ini memiliki ratusan, bahkan ribuan kelelawar
yang bertengger di dahan pohon. Alih-alih terbang di malam hari, kelelawar ini
tetap keluar bahkan saat siang hari. Kami tidak turun di sana, hanya berhenti di dekat deretan pohon tempat kelelawar berada. Kami pun berteriak-teriak, salah satu cara
untuk membangunkan kelelawar itu hingga mau terbang. Pemandangan ketika
kelelawar itu terbang benar-benar mengasyikkan. Dan itulah moment terbagus
untuk mengambil foto. Siapkan kamera dan bersiaplah untuk berteriaaaaaakkk!!!
Setelah
Pulau Kelelawar, kami menuju ke lokasi kedua, yaitu tempat snorkeling.
Lokasinya di tengah laut. Saya melongok ke dalam air dan melihat terumbu karang
dan ikan warna-warni tampak di sana. Rinda, satu-satunya orang yang bersemangat
untuk berenang segera menunjukkan kemampuannya berenang dan menyelam. Dia
bilang indah. Saya pun penasaran. Dan karena tidak bisa berenang—well, saya
memang phobia berenang—saya pun memakai jaket pelampung dan terjun ke air.
Ketakutan saya seketika menerjang—takut tenggelam. Lantas saya ingat perkataan
Si Abang, ‘Tetap tenang!’. Saya pun berusaha tenang. Tangan bergerak, kaki
bergerak, satu , dua mulai bisa bergerak. Hore saya tidak takut air!!!!
Belajar Renang Sambil Menikmati Terumbu Karang |
Saya segera
menikmati terumbu karang di sana. Mirip melihat akuarium yang besar.
Hehehe...makhlumlah, saya awam sekali dengan urusan ini, jadi kalau terlihat
katrok yang tidak apa-apa lah...hahaha...
Puas dengan
terumbu karang, kami lanjut ke pulau berikutnya, yaitu Pulau Roteng. Pulau ini
terlihat indah dengan dua buah gazebo yang ada di pesisir pantainya. Perahu
ditambatkan, kami pun turun dan berfoto-foto. Pemandangan di pulau ini bagus
sekali. Yang paling menarik, pulau itu berada di tengah-tengah pulau lainnya
dengan pantai yang lebar, sehingga kami bisa main air, main pasir dan berfoto
dengan view yang amazing banget.
Pulau ketiga
sekaligus pulau terakhir adalah Pulau Tiga atau Panjang. Tidak seperti pulau
sebelumnya yang memiliki pantai lebar, pulau ini terlihat bahkan tidak memiliki
pantai untuk bergerak. Mungkin air sedang pasang. Saya mencoba berenang lagi,
tetapi air laut terlalu tinggi dan saya capek, akhirnya menyerah dan hanya
berjalan-jalan saja. Kami sempat memanjat pohon kelapa dan minum airnya. FYI,
sejak pagi kami belum makan sehingga hampir semua orang yang ikut touring
berada dalam kondisi yang tidak tidak fit, jadi kami minum air kelapa untuk
menambah cairan tubuh, alias isotonik alami, hehehehe...
Menurut
berbagai sumber, pulau ini memiliki panorama bawah laut yang indah dengan
terumbu karangnya, sehingga cocok untuk snorkling. Tapi, karena fisik sudah
lelah, hanya Rinda saja yang masih semangat menikmat berenang, sementara yang
lainnya hanya berjalan-jalan saja.
Jajaran Rumah Panggung di Pinggir Dermaga Riung |
Badan sudah
capek dan perut sudah keroncongan. Kami pun bergegas pulang, sudah pukul 14.00
WITA. Kapal menuju ke dermaga lagi. Sesampainya di dermaga, kami segera mencari
rumah makan. Warung yang dituju berada di Pasar Riung, yaitu Warung Bakso. Menu
yang ditawarkan banyak, mulai dari Bakso, Soto, Rames (Nasi Ikan), Sate, Gulai,
dsb dengan harga yang variatif, antara Rp 10.000 – Rp 25.000. Saya pesan bakso
dengan teh panas. Selesai makan, badan lebih segar, kami menuju ke salah satu
rumah seorang rekan SM3T yang berada tidak jauh dari situ. Di sana kami mandi,
makan gorengan, dan minum.
Kami pamit
dari tempat itu sekitar pukul 17.00 WITA. Matahari masih terang, tapi awan
gelap terlihat jauh di atas perbukitan Nagekeo. Malam mulai turun. Sampai di
arah Mbay, hujan turun dengan deras. Hujan mengguyur hingga sampai di Aesesa.
Jalan gelap, hujan, dan berkelok-kelok membuat kami tak bisa menambah
kecepatan, hanya berkisar 40-50 km/jam. Hujan mulai berhenti ketika kami menuju
ke Nanga Panda. Bintang bertabur di atas kami. Suasana yang dingin membuat kami
menggigil.
Malam itu
kami sampai di kota pukul 23.00 WITA, jadi perjalanan pulang memakan waktu +/-
5 jam. Kami mampir untuk makan nasi goreng di dekat Bandara H. Aeroboesmen.
Sampai di basecamp sudah pukul 24.00 WITA. Kami lantas tidur. Hari itu,
melelahkan, tapi memberikan pengalaman yang tidak akan terlupakan.
#Satu tahun
untuk selamanya.
April 2014
No comments:
Post a Comment