Hari ini ada
yang berbeda. Sejak siang Mama menumbuk padi dan menapisnya. Ia bersama dengan
Aztyn duduk di bawah pohon mangga di depan rumah Mama Hesti. Saya pun bertanya.
Rupanya hari ini, tepatnya nanti malam akan ada upacara adat untuk mengajak
orang yang sudah meninggal makan bersama.
Selepas
malam, kami berkumpul di dapur. Mama dan Aztyn tampak sibuk memasak.
Hidangannya biasa saja, hanya urap dan mi kuah yang dicampur dengan telur. Yang
berbeda, hari ini telurnya direbus (biasanya Mama hanya mencampurnya saja di
mi). Mama menyiapkan tiga porsi makanan. Satu piring berisi nasi yang sedikit
(sangat sedikit sekali). Satu piring berisi telur yang dipotong menjadi 8 dan
setiap piringnya ditaruh 4 potong serta disiram dengan mi. Mama juga menyiapkan
tiga buah nasi yang dikepal dan ditaruh pada satu piring.
Hidangan Upacara Adat (Keterbatasan Kamera Jadi Hasilnya Kurang Memuaskan) |
Semua
hidangan itu ditata di tengah ruangan, berjajar rapi. Satu buah piring lainnya
berisi tembakau, sirih pinang, dan rokok. Satu nampan berisi 4 buah gelas yang
diisi moke, teh, air putih, dan kopi. Serta sebuah lilin diletakkan berderet.
Piring berisi nasi kepal diletakkan terpisah yaitu di pojok ruangan, di atas
rak piring. Bapak Alo, pemimpin upacara adat, akan memimpin prosesinya. Di
depannya sudah disediakan piring berisi beras dan sendok.
Di bawah
lampu surya yang temaram karena listrik sedang mati, prosesi itu dilakukan.
Semua orang duduk melingkar dengan makanan sebagai pusatnya. Bapak Alo mengetuk
salah satu piring berisi nasi yang ada di depannya sebanyak dua kali dengan
menggunakan sendok. Entah Bapak Alo mengucapkan apa, saya tidak paham sama
sekali. Setengahnya karena bising suara rintik hujan yang mengenai atap,
setengahnya karena menggunakan bahasa yang tidak saya pahami. Semua orang diam
selama prosesi itu berlangsung. Bapak Alo terus saja berbicara sambil tangan
kanannya mengaduk-aduk beras yang ada di piring. Jangan dibayangkan Ia
merapalkan mantera-mantera, ya. Lebih mirip Bapak Alo berbicara saja. Saya diam
saja mengikuti prosesi itu. Setelah 5 menit, prosesi itu diakhiri dengan
melempar beras ke udara dan mengetuk piring selama dua kali seperti di awal.
Prosesi
rupanya tidak selesai sampai di situ. Setiap porsi hidangan (nasi dengan mi
telur) dimakan hanya oleh laki-laki saja. Kebetulan jumlah laki-laki yang ada
di situ ada 3 orang, yaitu Bapak, Manto, dan Fario, sehingga masing-masing
mendapat satu porsi dan satu buah nasi kepal. Memang sudah menjadi aturan, yang
harus memakan hidangan itu hanya laki-laki saja, perempuan tidak diperbolehkan.
Setelah
ketiganya mulai makan (dan mereka harus makan tanpa sendok), kami yang lainnya
pun dipersilakan untuk makan. Saya sempat bertanya-tanya beberapa hal terkait
upacara adat itu. Diantara bahwa upacara adat itu bisa dilakukan apabila ada
moment penting, misalnya panen, tanam, dan sebagainya. Selain itu, sebenarnya,
dalam upacara adat itu dihidangkan ayam dan tidak boleh memakai mi, tetapi kali
ini telur ayam pun boleh.
Hari itu,
saya makan kenyang sekali karena memang setiap orang mendapatkan porsi yang wah
sekali. Prinsip untuk tidak menyisakan makanan sedikit pun tetap saya pegang
teguh. Akhirnya, saya kekenyangan, hehehehe...
#Satu tahun
untuk selamanya
April 2014
No comments:
Post a Comment