Anak-anak di
sini itu sungguh amazing sekali dan bikin saya speechless.
Mungkin,
ketika kita adu mereka dalam olimpiade fisika atau matematika, mereka akan
kalau jauh dengan anak-anak di Jawa. Bahkan, saya kadang akan mengandaikan
bahwa siswa kelas 3 di sini memiliki kemampuan yang setara dengan siswa kelas 1
di Jawa. Meski, sebenarnya ketika mereka diberi stimulus dan sarana prasarana
yang setara dengan sekolah-sekolah di Jawa, maka outputnya pun akan sama.
Tapi, ada
begitu banyak hal amazing yang mereka miliki.
Ketika
mereka diadu angkat beban, maka mereka akan menang. Kondisi demografi memaksa
mereka untuk ikut kerja kebun, mengangkat ubi talas atau singkong, kayu api,
hasil kebun, dan sebagainya sebesar satu karung dengan medan yang
berkelok-kelon naik bukit turun bukit. Mereka tidak mengeluh meski berat dan
badan sempoyongan. Kulit mereka hitam karena terbakar matahari. Kaki mereka
kapalan dan kotor karena mendaki. Badan mereka bau karena keringat yang mengalir.
Mengapa? Karena kondisi yang memaksa mereka.
Ketika
mereka diadu nilai kegotongroyongan, mereka akan setingkat lebih tinggi dari
anak-anak kota. Mereka akan dengan senang hati bekerja bersama, pergi ke kebun
bersama, terlepas apakah mereka suka atau tidak. Yang mereka tahu, menolong itu
adalah sesuatu yang baik. Dan saya selalu suka ketika melihat anak-anak itu
berebut menolong saya.
Ketika
anak-anak di kota akan komplain dengan makanan mereka, menolak makan ayam,
menolak makan sayur, dan sebagainya, anak-anak di sini punya porsi makan di
atas rata-rata, bahkan untuk perut orang Jawa yang dewasa. Ya, mayoritas di
sini—baik itu orang dewasa maupun anak-anak, memiliki porsi makan yang berbeda
dengan orang Jawa pada umumnya. Bahkan dengan lauk yang seadanya pun. Adanya
sayur singkong, maka itulah yang dimakan. Adanya ikan kering, maka itulah menu
hari ini. Dan mereka tidak komplain dengan semua itu, asyik melahap setiap
makanan.
Bendera di Halaman Sekolah |
Ketika
anak-anak kota tidak mau sekolah, harus dibujuk, dijanjikan sepatu baru, ponsel
baru, malu dengan pakaiannya yang kotor, anak-anak di sini tampak riang pergi
ke sekolah meski dengan kondisi seadanya. Mereka tidak memakai tas baru, tapi
tas kresek. Mereka tidak memakai sepatu, tetapi memakai sandal, kadang bahkan
tanpa alas kaki. Baju mereka kusut dan kotor, tidak pernah disetrika, karena
terkadang itu adalah satu-satunya seragam mereka, jadi mereka akan cuci pakai
setiap harinya. Mereka akan dengan riang berjalan bersama-sama menuju sekolah
yang notabene jaraknya hitungan kilometer dari rumah mereka, naik turun bukit.
Tapi mereka tidak pernah mengeluh.
Anak-anak di
sini memang memiliki keterbatasan yang lebih banyak dibandingkan anak-anak yang
tinggal di kota. Jadi, ketika mereka lebih bodoh, lebih kucel, lebih kotor, lebih
berdebu, dan lebih ‘ndeso’, itupun bukan salah mereka. Mereka tidak bisa
memilih untuk dilahirkan dimana, karena takdirlah yang menghendaki mereka untuk
dilahirkan di sebuah desa yang jauh dari peradaban (kasarnya, red). Tapi, jauh
dari semua itu, mereka punya hak yang sama dengan anak-anak di kota, yaitu
mendapatkan pendidikan yang sama.
Itulah yang
rasanya masih menjadi kesenjangan yang terlalu mencolok. Pengalaman mengajar
beberapa bulan di tanah ini, melihat berbagai kondisi yang sangat timpang dengan
tempat dimana saya tumbuh besar, adalah sesuatu yang kadang membuat saya miris.
Anak-anak di sini memiliki semangat yang sama untuk belajar. Mereka sama
seperti anak-anak pada umumnya.
Mereka akan
kecewa bila mendapat nilai 0, mereka akan sedih bila gurunya tidak masuk,
mereka akan senang diajar berbagai hal yang baru, mereka akan senang dibacakan
dongeng binatang, mereka akan antusias menyimak film si kancil di laptop,
mereka akan senang diajak senam di luar, mereka akan bahagia bermain kucing dan
anjing, mereka akan bersemangat bila diberi ‘tugas istimewa’ untuk mengambil
kapur, buku, atau apapun dari kantor, mereka akan senang mendengar kalimat
‘sembahyang pulang’, mereka akan antusias bersorak ‘besok libur’, dan
sebagainya. Mereka hanyalah anak-anak. Anak-anak yang normal.
Dan bukanlah
salah mereka untuk ‘menikmati’ kondisi yang berbeda dengan masyarakat lainnya.
Tapi, inilah yang terjadi.
Pemerataan
pendidikan, itulah kuncinya. Mereka punya hak yang sama untuk mendapatkan
pendidikan yang layak seperti semua anak-anak di kota-kota. Pendidikan yang
bagaimana? Tentu saja pendidikan yang lengkap sarana prasarananya, guru-guru
yang disiplin, rajin, dan memiliki semangat untuk mengajar dengan gaji yang
cukup, kepala sekolah yang kuat dan tangguh serta visioner, praktik korupsi
yang tidak ada, fasilitas harian yang cukup, dan kurikulum yang tidak
memberatkan.
Lihatlah,
mereka adalah penerus masa depan Indonesia. Mereka adalah pembawa estafet
Indonesia di masa depan. Mereka adalah generasi emas yang akan membawa
Indonesia menuju ke zaman keemasannya lagi. Adalah kewajiban kita, sebagai
warga negara yang baik, untuk membantu mereka. Dengan cara apa? Bertanyalah
pada diri Anda sendiri. Entah dengan aksi langsung, pemberian donasi, ataupun
memilih untuk menutup mata dengan bersikap egois. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Jangan sampai kita ikut berdosa karena tidak peduli dengan mereka.
“Ibu,
bhineka tunggal ika itu artinya apa?”
“Artinya
adalah berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Seperti kalian dengan Ibu. Ibu orang
Jawa, tetapi kalian orang Ende, maka tetap harus bersatu meski berbeda. Ibu
orang muslim, kalian orang Katolik, tetapi kita harus tetap bersatu meski
berbeda. Itulah arti dari bhineka tunggal ika, mengerti?”
Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga Hardiknas tidak hanya diisi dengan seremonial saja, tetapi dengan pemaknaan yang lebih.
No comments:
Post a Comment