Proses Sosialisasi Cara Pencoblosan |
Tanggal 9
April Indonesia melaksanakan pesta demokrasi, yaitu diselenggarakannya Pemilu
Legislatif. Bagi sebagian besar orang seperti saya, yang berada di tanah rantau
dalam jangka waktu satu tahun, adalah hal yang lumrah untuk tidak memiliki hak
pilih di daerah ini, karena memang kami terdaftar di daerah asal kami. Tapi,
bagi sebagian kecil dari kami, ada juga yang ‘kebetulan’ mendapat hak pilih
sehingga bisa ikut memilih para wakil legislatif. Saya termasuk dalam sebagian
kecil tersebut. Saya diperbolehkan untuk ikut mencoblos.
FYI, saya
tengah berada di sebuah pelosok negeri, tepatnya di Kabupaten Ende. Saya
terdaftar sebagai pemilih khusus di TPS desa ini. Sejak awal, saya memang sudah
didata. Beruntung bagi saya, karena saya tinggal bersama dengan Bapak Kepdes
sehingga semua informasi dan pendataan bisa dilakukan secara cepat. Beruntung
lagi, saya terdaftar sebagai pemilih khusus. Tak seperti beberapa teman saya
lainnya, yang tidak terdaftar di desa masing-masing, sehingga tidak bisa ikut
mencoblos.
Tapi, tentu
saja, saya memiliki cerita tersendiri di hari itu. Cerita yang bikin bete,
sebel, tapi ada enaknya juga di akhir.
TPS Setempat |
Informasi
awal yang saya terima adalah saya akan ikut memilih hanya dengan menyerahkan
KTP saja. Jadi, saya pun berangkat cukup awal, yaitu pukul 9 pagi, bersama
dengan seluruh anggota keluarga lainnya. Saya naik motor ke dusun sebelah,
tempat TPS berada. Sampai di sana, ternyata panitia pemilu masih harus
menandatangani kertas suara, sehingga warga yang mulai berdatangan harus
menunggu. Setelah semua kertas suara ditandatangani, mulailah mereka melakukan
demonstrasi cara mencoblos di bilik suara. Pukul 10, TPS baru dibuka dan orang
mulai dipanggil untuk mencoblos.
Well, di
sini saya tidak ingin mengungkapkan fakta yang terjadi. So, saya akan
mengungkapkan pengalaman saya saja.
Saya duduk
di kursi yang khusus diberikan untuk saya sementara semua warga lainnya duduk
di tanah, di pagar, di teras, dsb. Ternyata, saya terdaftar sebagai pemilih
khusus, yaitu, pemilih yang bisa mencoblos setelah semua pemilih mencoblos.
Saya bersama Bang Albert, satu lagi Albert, dan saya sendiri, menunggu hingga
pukul 12.30 WITA. Nice kan, saya menunggu selama 3,5 jam untuk mencoblos wakil
rakyat yang bahkan tidak saya kenal. Heemmmm.... I’m so damn speechless...
Selesai
mencoblos, saya diminta untuk ke rumah Nenek Melan. Melan adalah salah satu
murid saya di kelas yang kebetulan masih saudara dengan Mama. Kami makan di
sana. Lalu minum teh. Alhamdulillah, perut saya yang lapar sudah terisi
kembali. Dehidrasi saya terobati.
Baru selesai
teh diminum, Ibu Astin masuk dan memanggil saya. Saya diminta ikut makan dengan
para panitia Pemilu. Olalaaaa...saya? Ka lagi? Ka mbeja i???
Akhirnya
saya ikut ke dapur Keni. Di sana saya bertemu Mama Keni yang sedang memasak
dengan Ibu Emi. Jadilah saya ikut makan lagi dengan menu yang berbeda. Bila
sebelumnya di rumah Nenek Melan kami makan ikan dan sayur daun ubi, kali ini
kami makan ayam. Alhamdulillah...rejeki. Kenapa? Karena makan ayam di sini itu
seperti ketika saya makan daging sapi di Jawa. Beda tipis. Hanya ada di
acara-acara spesial saja. Dan karena daging ayam hanya ada jika dipotong saya
atau orang Islam lainnya, semakin langka lah saya bisa makan daging ayam. Meski
banyak anjing berseliweran dan tingkat kehigienitasannya dipertanyakan, saya
mengesampingkan fakta itu.
Saya ikut
perhitungan suara sebentar kemudian pulang naik motor sendirian. Hujan turun.
Hari itu, saya mendapatkan banyak pengalaman. Terlepas dari pengalaman saya
menunggu giliran mencoblos, ada juga praktik-praktik penyimpangan Pemilu yang
ada di sana. Hanya saja, fakta itu, saya kesampingkan terlebih dahulu. Bukan
hak saya untuk membeberkan fakta-fakta itu.
#Satu tahun
untuk selamanya.
9 April 2014
No comments:
Post a Comment