Mengikuti SM-3T adalah pilihan yang tepat bagi saya. Mungkin, ketika saya mendaftar dulu, banyak hal yang menjadi pertimbangan ketika akan pergi. Bagaimana dengan kelas saya, murid-murid saya, buku-buku, naskah yang menunggu untuk digarap, organisasi ini dan itu, pernikahan, dan sebagainya. Juga tentang tes CPNS yang akan dibuka. Saya bahkan tidak banyak memikirkan apa yang akan saya alami di daerah tujuan saya, apakah saya akan diterima, apakah saya akan hidup menyenangkan atau tidak, dan sebagainya. Mungkin, saya memikirkannya, tapi hanya beberapa saat saja, tidak banyak.
Dan
sekarang, saat ini, saya menyadari satu hal penting tentang apa yang saya
pertimbangkan ketika saya pergi. Adalah apakah saya siap untuk meninggalkan.
Ya, ini
bukanlah tentang apakah kita siap untuk mengabdi di sana, siap untuk pergi atau
tidak. Tetapi, apakah kita siap untuk meninggalkan semua yang ada di sini.
Meninggalkan keluarga yang saling mengasihi, pekerjaan yang sudah
diperjuangkan, teman-teman bercerita, organisasi tempat menimba ilmu,
anak-anak, kelas, dan berbagai momen spesial lainnya: pernikahan, kematian,
kelahiran, dan lain-lain. Apakah kita siap?
Dulu, ketika
sebelum saya berangkat, saya terlalu sibuk dengan rutinitas harian saya. H-2
pra kondisi, saya baru ‘meninggalkan’ sekolah dan murid-murid saya. Perpisahan
sederhana. Saya masih mengurus ini-itu, menyiapkan berbagai hal yang saya
yakini tidak merepotkan orang lain apabila saya pergi. Dan H-1, saya baru
mengurus keperluan saya sendiri, untuk perjalanan satu tahun ke depan.
Kelimutu, Rindu pada Satu Sudut di Pulau Jawa |
Tantangan
terberat adalah ketika pada akhirnya saya berada di sini. Mendengar kabar dari
belahan Indonesia lainnya itu sungguh menyesakkan. Kabar gembira membuat saya
sedih: ah, saya melewatkan moment ini. Kabar duka membuat saya sedih: mengapa
saya tidak ada di sana untuk bersama-sama merasakan duka ini.
Dan
kemudian, saya pun merasakan rindu.
Dulu, ketika
saya menjalani hari-hari yang sangat sibuk: mengajar, mengetik, organisasi,
ini-itu, hingga tak ada waktu untuk istirahat selain 2-3 jam saja, saya selalu
berharap untuk bisa rehat sejenak saja. Tidak, bukan hanya sekadar hari Minggu
atau hari libur, tapi benar-benar keluar dari semua itu. Saya selalu
mengatakan: rehat sejenak untuk semua rutinitas ini, dan setelah itu, saya akan
menjalani rutinitas ini LAGI dengan lebih semangat.
Dan di sini,
saya merasakan itu. Saya berhenti dari kehidupan saya selama satu tahun untuk
menjalani kehidupan lain.
Apa yang
saya rasakan?
Ya, saya
rindu.
Rindu pada
rutinitas itu. Rindu pada rumah. Rindu pada orang-orang yang saya temui. Rindu
pada murid-murid saya. Rindu pada kesibukan. Rindu pada begadang. Rindu pada
kopi dan snack yang menemani saya di malam saya begadang. Rindu pada hawa
pantai yang saya tuju ketika saya jengah. Rindu pada makanan yang membuat
produksi air liur bertambah. Rindu pada sahabat-sahabat. Rindu pada suasana
kota saya.
“Merantaulah,
agar kau tahu kenapa kau harus pulang, agar kau tahu siapa yang kau rindu.”
Dan
sekarang, saya memahami mengapa saya harus pulang, dan siapa yang saya rindu.
Terimakasih Alloh, untuk menunjukkan jalan yang tepat bagi saya, membimbing
saya untuk memilih berada di sini, meninggalkan banyak hal selama satu tahun:
beberapa pernikahan, moment penting, kesempatan untuk berpetualang di sana, dan
banyak lagi. Terutama, untuk memberikan kesempatan pada saya untuk pergi selama
1 tahun dan (bersiap untuk) kembali lagi.
Sesuai
janji, saya akan menjalani semua yang harus saya jalani ketika saya kembali.
Terimakasih.
No comments:
Post a Comment