Rindu Pulang |
Tidak
terasa, sudah menginjak trimester terakhir dalam perjalananan saya di tanah
Flores. Rasanya sungguh menyenangkan sekaligus menyedihkan. Menyenangkan karena
sudah 9 bulan saya lewati di sini dengan keadaan yang baik-baik saja. Bahkan
berat badan saya yang cenderung konstan dalam 4 tahun terakhir ini telah naik 2
kg, hehehe. Adaptasi, itulah kuncinya. Adaptasi dengan makanan, lingkungan,
iklim, sosial, dsb. Tidak ada masalah yang berarti dalam perjalanan saya selama
beberapa bulan ini, karena keadaan sangat menyenangkan sekali: ketika di atas
menanti-nanti saat untuk turun, dan ketika di bawah menanti-nanti saat untuk
naik. Waktu berjalan cepat. Memang, ada satu dua hal yang terkadang membuat air
mata saya mengalir. Tapi, tidak seperti di Jawa dimana saya bisa mengambil
kunci motor dan ngebut untuk meluapkan emosi saya, di sini saya harus bisa
menahan diri. Saya belajar untuk nrimo dan ikhlas. Semuanya berjalan
menyenangkan.
Meski
begitu, tentu ada yang menyedihkan.
Menyedihkan
karena ada masalah internal di dalam tim kami. Tim yang saya bayangkan akan
menjadi tim yang solid itu ternyata terpecah. Mungkin, gambaran itu harusnya
sudah ada ketika kami masih di AAU dulu. Dibandingkan tiga tim lainnya, kami
terlihat tidak kompak. Dan beginilah endingnya, acara yang saya pikir akan
menyatukan kami, ternyata justru semakin memecah belah kami. Rasanya hati saya
sakit.
Saya adalah
seorang pisces yang menyukai perdamaian. Saya tidak suka konflik dan menyukai
semua orang saling menyayangi. Tapi, idealisme itupun tidak bisa diterapkan
bagi orang lain. Saya ingat kata-kata koordinator saya dalam acara yang kami
gagas, “Sakit hati dan kecewa itu boleh. Namun, jangan sampai sakit hati dan
kecewa itu terlihat dalam dhohir/jasmani/sikap kita di luar. Simpanlah di dalam
rohani, hati, dan dalam diri saja.”
Saya setuju
dengan hal itu. Benar, hal itu sama maknanya dengan profesionalitasan kerja.
Profesional itu berarti mengesampingkan semua hal pribadi untuk kepentingan
umum.
Dan saya
berusaha untuk melakukannya. Saya berusaha untuk melakukan semua yang mereka
inginkan dari saya, meski saya tidak bisa. Meski sakit hati, tangis, dan lelah
mewarnai saya dalam setiap kesempatan, tapi semuanya saya kesampingkan: bahwa
semua sakit hati itu bersifat personal dan tidak ada manfaat sama sekali selain
mengotori hati.
Dan pada
akhirnya, saya tahu bahwa selalu ada orang yang tidak suka dengan saya—hanya
karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Dan mendengar mereka membicarakan
saya di belakang itu seperti paku yang menancap di kayu, bekasnya masih ada
sampai sekarang, dan luka itu akan terus nyata karena sudah tertulis di sini.
Ketika saya membacanya lagi, maka luka itu menganga.
Setiap orang
tidak sempurna, tapi dari ketidaksempurnaan itulah kita belajar untuk menerima.
Bahwa dari sana, Tuhan menunjukkan kuasa-Nya. Selama saya hidup seperempat abad
ini, umur yang tidak lagi muda, sungguh sangat menyedihkan masih melihat
keegoisan diri. Bahasa kasarnya, kekanak-kanakan sekali. Lalu, apa yang harus
saya lakukan?
Lagi-lagi,
saya hanya diam dan menyimpan semuanya sendiri, membaginya dengan ‘dia’, dan
mengadu padaNya. Satu keyakinan yang saya pegang teguh, bahwa semuanya
baik-baik saja. Waktu. Waktulah yang akan menjawab semuanya. Semua rindu,
tangis, tawa, sedih, gembira, pada akhirnya akan dijawab oleh waktu.
Dan kini,
tinggal hitungan minggu saja saya masih berada di sini. Semua rindu yang sudah
meluap, tangis yang kering, tawa yang menggantung, sedih yang kerontang,
akhirnya akan terjawab di hari itu. Hari dimana saya akan pulang setelah sekian
purnama saya lalui di sini, sendiri, bersama dengan orang-orang baru.
Alhamdulillah...
Terimakasih
Ya Alloh...
No comments:
Post a Comment