Sesuai dengan
apa yang pernah saya janjikan pada diri saya sendiri untuk mengunjungi berbagai
lokasi penempatan teman-teman dari UNY, maka pada kesempatan ini saya ingin
menuliskan sedikit catatan perjalanan saya ke daerah Oja, Nanga Panda.
Pada
awalnya, rencana ke Oja masih dalam status diawang-awang alias belum ada
kepastian kapan berangkat. Ada niat, meski belum ada jalan. Tetapi, Oja menjadi
salah satu dari tempat-tempat yang berada dalam daftar tempat yang ingin saya
kunjungi.
Oja
merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende.
Letaknya adalah di Jalan Puukunga – Maukaro. Menurut penunjuk jalan yang ada,
Kota Ende-Oja berjarak 47 KM. Berdasarkan informasi dari salah satu teman yang
berada di penempatan Malawaru (sekitar setengah jam lebih jauh dari Oja), kami
bisa memilih oto untuk transportasi menuju ke Oja. Ada 3 oto yang beroperasi,
tetapi biasanya berangkat hanya datang dan pergi satu kali sehari dengan biaya
Rp 20.000,00 sampai di Oja atau Malawaru. Perjalanan bisa memakan waktu 4 jam
bila cuaca buruk (hujan), tetapi bisa hanya 2 jam bila cuaca cerah. Selain oto,
motor juga bisa menjadi salah satu alternatifnya. Selain lebih fleksibel, jarak
tempuhnya paling lama hanya 2 jam saja.
Setelah
pertimbangan matang, kami memutuskan untuk menggunakan motor. Saya berangkat
bersama 3 orang teman lainnya, Mbak Eka, Mas Purbo, dan Tarom. Kami start dari
Kota Ende pada jam 10 pagi—setelah sebelumnya mampir di Magengura, menjemput
Mbak Eka.
Sebuah Puncak Gunung yang Entah Apa Namanya |
Cuaca hari
itu kurang bersahabat. Tidak ada biru. Mungkin hal itu juga diakibatkan oleh
adanya letusan Gunung Kelud yang malam sebelumnya terjadi di Jawa Timur. Memang
tidak ada hujan abu seperti yang terjadi di daerah Jawa bagian selatan, tetapi
cuaca yang mendung bisa jadi salah satu imbasnya. Lihat saja, dari kejauhan
tidak tampak lagi jajaran pegunungan Nangapanda ataupun Nagekeo, melainkan
kabut tebal pertanda daerah itu hujan turun dengan lebat. Kami sudah memakai
mantel, meski dua pasangnya tanpa celana. Dan dimulailah perjalanan itu.
Rintik
menyapa sepanjang perjalanan. Dari jalan kabupaten di Nangapanda, memang
gerimis tidak lebat. Hawa pantai menguar di sepanjang perjalanan. Ombak
terlihat ngeri. Motor dipacu dengan kencang menembus udara dingin. Di tengah
perjalanan kami berhenti sebentar untuk memakai mantel kemudian melanjutkan
perjalanan. Salah satu keunikan jalan di Kabupaten Ende adalah sepanjang jalur
selatannya dekat dengan pantai. Dan itu salah satu hal yang pastinya akan saya
rindukan ketika saya tidak di Ende lagi (nglebay -_-).
Setelah satu
jam berjalan, kami sampai di Cabang atau persimpangan jalan, lurus ke arah
Nagekeo, sementara belok ke kanan arah Maukaro. Kami berhenti membeli bensin
dan roti, bertanya arah jalan, dan melanjutkan perjalanan. Perut yang belum
terisi sejak pagi akhirnya mendapat asupan yang cukup. Perjalanan berlanjut,
kami mulai memasuki daerah hutan. Well, sebenarnya agak ekstrim ketika disebut
hutan, karena sebenarnya itu adalah kebun. Tetapi, tanahnya berbukit-bukit dan
ditanami tanaman kayu seperti kelapa, kemiri, alpukat, dsb. sehingga lebih
mirip hutan dibandingkan kebun.
Setelah 15
menit berjalan, hujan mulai mengguyur dengan lebat. Kabut terlihat di kanan
atas bukit yang menjulang di depan kami, atau di jurang yang ada di samping
kiri atau kanan. Jalanan memang lebar dan sudah diaspal, akan tetapi beberapa
jalannya sudah rusak. Ingat dengan Petungkriyono? Nah, nyaris mirip dengan jalan
di daerah itu.
Ada beberapa
kampung yang kami lewati. Karena memang kami belum tahu arahnya, kami sempat
berhenti beberapa saat untuk bertanya. Pemandangan yang terlihat sangat
stagnan: kebun dan kabut. Cuaca yang buruk sebenarnya untuk melakukan
perjalanan. Apalagi dengan medan yang jauh dari kata ‘menyenangkan’. Tapi,
karena sudah diniatkan, maka tidak boleh mengeluh. Setelah beberapa waktu,
terkadang ada anak sekolah yang baru pulang. Beberapa tersenyum dan menyapa
kami ‘Selamat siang!’ dengan ramah. Kami membalasnya, kadang juga berhenti dan
bertanya pada mereka. Kasihan sekali, baju mereka basah oleh hujan dan mereka
tidak terlihat sedih sama sekali, justru gembira. Pemandangan itu membuat saya
semakin berpikir, ‘Well, tidak adil kalau saya mengeluh sekarang di saat saya
masih bisa pakai mantel dan naik motor’.
Setelah
perjalanan yang sangaaaat lama sekali, hujan mulai berkurang, meskipun kabut
masih menutupi lembah di kanan atau kiri kami. Perjalanan terus dilanjutkan.
Kami bertemu serombongan anak-anak kecil yang memakai seragam pramuka dengan
label ‘SDN Oja’. Alhamdulillah, kami hampir sampai.
“Iya, Ibu,
Oja sudah dekat, tinggal 3 km saja,” kata mereka. Alhamdulillah...
Suasana Oja |
Kami memacu
motor. Dibalik tikungan, ku lihat sebuah bangunan tak begitu jauh. Mungkin itu gedung
sekolahnya. Ya, tak sampai 10 menit, kami sampai di sekolah itu, SMPN 3
Nangapanda. Dua teman kami yang berada di terlihat tidak percaya ketika kami
sampai.
Kami
disambut dengan gembira. Duduk, berganti pakaian, ngopi, ngobrol, sholat, makan,
dan sebagainya. Hujan kadang masih rintik, tetapi kami merasa tidak masalah
karena berada di dalam ruangan. Angin terlihat bertiup kencang. Beberapa saat
kemudian, kami turun untuk melihat tempat penampungan air yang ada di desa itu.
Besar sekali, entah berapa kubik air yang ada di dalamnya.
Setelah
pertimbangan matang, kami memutuskan untuk pulang—tidak berani melanjutkan
perjalanan ke Malawaru—karena faktor cuaca. Perjalanan pulang terasa lebih
cepat. Mungkin faktor cuaca menjadi salah satu penyebabnya. Langit terlihat
biru dan kabut sudah hilang. Jadi, hamparan perbukitan di sejauh mata memandang
menjadi pemandangan yang menyenangkan. Kami bahkan bisa melihat Kota Ende,
Pulau Ende, dan Maukaro dari atas bukit. Kami berhenti beberapa kali untuk
berfoto dan mampir sholat di SMPN 6 Nangapanda (penempatan Mbak Sri Bekti).
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.
Alhamdulillah,
kami sampai di kota jam 18.45 WITA, saat matahari baru saja terbenam. Badan
memang terlihat terasa capek, tetapi melihat rumah kami di kota, maka rasanya
sungguh melegakan.
Perjalanan
itu hanya merogoh kocek sebesar @50ribu. Memang, ada yang kami sesalkan karena
kami belum sempat mengunjungi Malawaru. Tetapi, next time kami pasti akan ke
sana.
Oke, itulah
perjalanan kami hari itu mengunjungi Oja. Kemana lagi kami akan pergi? tunggu
cerita selanjutnya ^^
@Basecamp Ikan Duyung, 15 Februari 2014
No comments:
Post a Comment