Monev,
itulah hari yang paling ditunggu setelah sekian bulan kami di sini. Terhitung
sudah bulan keempat kami di sini dan belum sekali pun ada dosen yang berkunjung
untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev). Kata teman-teman yang ada di
penempatan daerah Malinau dan Ngada, sudah dikunjungi oleh dosen—sementara Gayo
Lues, saya dengar belakangan ternyata juga dikunjungi bersamaan dengan Ende.
Makanya, kami yang ada di Ende berasa dianaktirikan karena sampai bulan keempat
belum ada kabar adanya monev. Berdasarkan rapat pada awal bulan Januari lalu,
alhamdulillah sudah ada kepastian bahwa monev akan diadakan pada akhir bulan.
Yeeeiiiy. Berita bagusnya, pak rektor akan datang sendiri untuk mengunjungi
kami. How amazing, rite? Hehehe...tersanjung banget bisa ditemui oleh Bapak
yang satu itu—terlepas dari fakta bahwa dia adalah rektor saya dan ketua PWNU juga.
Seolah bertemu dengan Bapak sendiri.
Hari
berganti hari, kabar tentang monev pun datang pada hari kamis minggu ketiga.
Tanpa tedeng aling-aling, SMS hari itu mengagetkan saya: sekolah saya terpilih akan dikunjungi. Oh wow. Saya sempat shock selama beberapa
saat, speechless tidak bisa mengatakan apapun. Memang, sudah ada perbincangan
pada beberapa waktu lalu kalau sekolah saya akan dikunjungi, tapi masih dalam
status pertimbangan. Dan ketika diputuskan bahwa sekolah saya yang dikunjungi
itu adalah amazing. Mengapa amazing? Pertama, karena lokasinya yang harus ditempuh
dengan melipir bukit dan tidak semua oto mau sampai di sana. Kedua, karena
gedungnya yang merupakan gedung sekolah TERmengenaskan diantara teman-teman
yang lainnya. Ralat: gedung sementara.
Well, apa
yang akan mereka katakan ketika melihat sekolah saya? Bagaimana mereka bisa
mendaki sampai di puncak bukit saya? Bagaimana mereka bisa ‘selamat’ melewati
jalan yang saya rasa sangat ngeri itu? Well, jujur saja, saya takut ketika
mereka harus naik ke tempat saya.
Hari Sabtu,
4 orang secara tiba-tiba datang ke rumah saya. Tujuan mereka sederhana: survey
lokasi kunjungan untuk memutuskan apakah sekolah saya layak untuk dikunjungi,
terutama dari sarana transportasinya. Mendadak rumah menjadi sangat ramai,
memasak dan mengobrol. Ending kunjungan itu cukup sederhana, saya ikut turun.
Saya dengan ojek setia saya.
Insiden
kecil terjadi ketika kami turun bukit. Sebuah batu di tengah jalan terhempas
ban sepeda motor sehingga mengenai sambungan knalpot di bawah stang. Knalpotnya
pecah. Bunyinya keras (sempat saya pikir Bang Fe—si pengendara, terjatuh karena
bunyi dentuman yang cukup keras). Kami turun dengan lebih hati-hati, berhenti
di Puudombo sejenak (tempat KorKec saya). Ternyata si empunya rumah tidak ada,
sedang mencuci oto pickup di Sungai Nangaba. Kami ngeteh dan mbiskuit sejenak,
membicarakan rencana selanjutnya. Rencana awalnya adalah ketiga laki-laki itu:
Bang Fe, Wira, dan Purbo menurunkan kami di Puudombo dan mereka melaju ke
Mbani, sementara saya dan Mbak Eka lanjut ke basecamp. Tapi, rencana itu gagal
karena motornya rusak. Kami pun memutuskan untuk pulang ke basecamp. Ke Mbani
untuk sementara di pending hingga besok pagi. Kami pun cabut menuju ke
basecamp.
Sesampainya
kami di basecamp terjadi berbagai obrolah dan pertimbangan terkait lokasi
kunjungan. Belum ada keputusan resmi bahwa sekolah saya akan dikunjungi, tetapi
hampir semua orang berkeinginan untuk mengunjunginya—karena sekolah yang
mengenaskan itu -_-“
Pagi datang,
saya pun menagih jawaban pada KorKab. Kepastiannya adalah sekolah saya akan
dikunjungi. Saya pun segera menghubungi ojek saya agar dijemput pada siang
hari, agar dapat mengunjungi Ibu Kepala dan melakukan persiapan. Saya ke pasar
dan berbelanja. Namun, siang hingga sore hari, saya galau sekali. Sederhana:
ojek saya belum menjemput.
Hari itu,
saya naik ke bukit lagi jam 7 malam. Yap, jam 7 malam. MALAM. Bisa dibayangkan?
Saya? Naik? Jam? 7? MALAM? Memang horor dan ngeri. Siang saja sudah horor dan
ngeri, apalagi malam kan ya??? Tetapi karena keadaan terpaksa saya pun
memutuskan naik. Tentu saja saya terus berdoa sepanjang. Ada pesan khusus dari
Mas Aziz untuk saya.
Jalan meliuk, cahaya motor menembus kegelapan.Kegelapan tertinggal, titik-titik cahaya lain menandakan kehidupan di beberapa sudut malam.Doa terlantun dalam diam.Alloh bersamaku.
Alhamdulillah,
setelah perjalanan yang cukup singkat, kami sampai di rumah Ibu Len. Setelah
mengobrol dan membuat rencana sederhana, kami pun pulang. Bapak sudah menunggu
di depan pintu dengan was-was—ekspresinya tampak gugup karena saya belum
pulang. Ah, mendadak saya merindukan Bapak saya nun jauh di sana :*
Malam itu,
saya mite hingga jam 2 malam. Kerjaan saya adalah menggoreng keripik dan
membuat papan nama SD. Sebenarnya agak amazing juga ketika mereka membantu
saya. Maksud saya, saya selalu melembur semuanya sendirian selama ini dan
mereka bersedia untuk melembur untuk saya adalah sesuatu yang amazing sekali.
dan guess what, itu adalah kali pertama saya begadang di atas bukit, hehehe
*nggak penting banget.
Selama
melembur itu, saya tidak tahan untuk bersikap tidak biasa. Beberapa kali saya
berkata pedas—karena memang acara membuat papan SD tersebut terlalu
perfeksionis. Saya bermaksud membuatnya sesederhana mungkin: dengan papan dan
kapur. Tapi, beberapa dari mereka berpendapat untuk menggunakan kertas yang
diprint kemudian dipotong barulah ditempel. Itulah yang membuat saya agak
jengkel—yang belakangan saya sesali. Well, mereka sudah sebaik itu menemani
saya begadang dan membuat papan SD, bagaimana mungkin saya menjadi begitu
jahat??? Ketika akhirnya papan itu selesai, saya merasa gembira: hasilnya bagus
dan sesuai dengan keinginan semua orang. Yap, terkadang, kita harus mengalah
dengan pendapat kita dan mengutamakan pendapat bersama.
Well,
bagaimana saat hari H monev? Tunggu postingan selanjutnya ^^
*Satu tahun untuk selamanya, 19 Januari 2014, Minggu=Foto Belum Terpasang=
No comments:
Post a Comment