Ini dia salah satu buku yang kami garap ramai-ramai. Buku yang recommended banget. Penulis-penulisnya benar-benar memang sesuai dengan bidangnya.
Kalau ingin tahu lebih jauh tentang isinya, cek di SINI ya.
Sunday, February 16, 2014
Buku Terbaru (Januari 2014)
Setelah absen menulis selama 6 bulan, saya masih saja menemukan karya-karya yang saya buat pada tahun sebelumnya diterbikan dengan 'cantik'.
Well, inilah salah satunya ^^
Kalau ingin mengetahui lebih lanjut tentang buku ini, cek di website komunitas saya di SINI.
Ohya, buku ini sudah bisa didapatkan di toko-toko buku di kota Anda ^^
Well, inilah salah satunya ^^
Kalau ingin mengetahui lebih lanjut tentang buku ini, cek di website komunitas saya di SINI.
Ohya, buku ini sudah bisa didapatkan di toko-toko buku di kota Anda ^^
Capturing Ende Part. 4
Longmarch Nangaba-Kota, Terlihat Pulau Ende di Kejauhan |
Mengetik di Bawah Lentera ketika Listrik Mati dan Malam Datang |
Kios Ikan di Nangaba |
Beginilah Suasana Kebun Ketika Berkabut |
Semacam Fogtail di Langit Ende Suatu Jumat Mubarak, Really Amazing |
Sungai Nangaba Saat Surut |
Oja, Dimana Kota Ende, Pulau Ende, dan Laut Maukaro Bisa Terlihat (Warna-warni Ende Part. 38)
Sesuai dengan
apa yang pernah saya janjikan pada diri saya sendiri untuk mengunjungi berbagai
lokasi penempatan teman-teman dari UNY, maka pada kesempatan ini saya ingin
menuliskan sedikit catatan perjalanan saya ke daerah Oja, Nanga Panda.
Pada
awalnya, rencana ke Oja masih dalam status diawang-awang alias belum ada
kepastian kapan berangkat. Ada niat, meski belum ada jalan. Tetapi, Oja menjadi
salah satu dari tempat-tempat yang berada dalam daftar tempat yang ingin saya
kunjungi.
Oja
merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende.
Letaknya adalah di Jalan Puukunga – Maukaro. Menurut penunjuk jalan yang ada,
Kota Ende-Oja berjarak 47 KM. Berdasarkan informasi dari salah satu teman yang
berada di penempatan Malawaru (sekitar setengah jam lebih jauh dari Oja), kami
bisa memilih oto untuk transportasi menuju ke Oja. Ada 3 oto yang beroperasi,
tetapi biasanya berangkat hanya datang dan pergi satu kali sehari dengan biaya
Rp 20.000,00 sampai di Oja atau Malawaru. Perjalanan bisa memakan waktu 4 jam
bila cuaca buruk (hujan), tetapi bisa hanya 2 jam bila cuaca cerah. Selain oto,
motor juga bisa menjadi salah satu alternatifnya. Selain lebih fleksibel, jarak
tempuhnya paling lama hanya 2 jam saja.
Setelah
pertimbangan matang, kami memutuskan untuk menggunakan motor. Saya berangkat
bersama 3 orang teman lainnya, Mbak Eka, Mas Purbo, dan Tarom. Kami start dari
Kota Ende pada jam 10 pagi—setelah sebelumnya mampir di Magengura, menjemput
Mbak Eka.
Sebuah Puncak Gunung yang Entah Apa Namanya |
Cuaca hari
itu kurang bersahabat. Tidak ada biru. Mungkin hal itu juga diakibatkan oleh
adanya letusan Gunung Kelud yang malam sebelumnya terjadi di Jawa Timur. Memang
tidak ada hujan abu seperti yang terjadi di daerah Jawa bagian selatan, tetapi
cuaca yang mendung bisa jadi salah satu imbasnya. Lihat saja, dari kejauhan
tidak tampak lagi jajaran pegunungan Nangapanda ataupun Nagekeo, melainkan
kabut tebal pertanda daerah itu hujan turun dengan lebat. Kami sudah memakai
mantel, meski dua pasangnya tanpa celana. Dan dimulailah perjalanan itu.
Rintik
menyapa sepanjang perjalanan. Dari jalan kabupaten di Nangapanda, memang
gerimis tidak lebat. Hawa pantai menguar di sepanjang perjalanan. Ombak
terlihat ngeri. Motor dipacu dengan kencang menembus udara dingin. Di tengah
perjalanan kami berhenti sebentar untuk memakai mantel kemudian melanjutkan
perjalanan. Salah satu keunikan jalan di Kabupaten Ende adalah sepanjang jalur
selatannya dekat dengan pantai. Dan itu salah satu hal yang pastinya akan saya
rindukan ketika saya tidak di Ende lagi (nglebay -_-).
Setelah satu
jam berjalan, kami sampai di Cabang atau persimpangan jalan, lurus ke arah
Nagekeo, sementara belok ke kanan arah Maukaro. Kami berhenti membeli bensin
dan roti, bertanya arah jalan, dan melanjutkan perjalanan. Perut yang belum
terisi sejak pagi akhirnya mendapat asupan yang cukup. Perjalanan berlanjut,
kami mulai memasuki daerah hutan. Well, sebenarnya agak ekstrim ketika disebut
hutan, karena sebenarnya itu adalah kebun. Tetapi, tanahnya berbukit-bukit dan
ditanami tanaman kayu seperti kelapa, kemiri, alpukat, dsb. sehingga lebih
mirip hutan dibandingkan kebun.
Setelah 15
menit berjalan, hujan mulai mengguyur dengan lebat. Kabut terlihat di kanan
atas bukit yang menjulang di depan kami, atau di jurang yang ada di samping
kiri atau kanan. Jalanan memang lebar dan sudah diaspal, akan tetapi beberapa
jalannya sudah rusak. Ingat dengan Petungkriyono? Nah, nyaris mirip dengan jalan
di daerah itu.
Ada beberapa
kampung yang kami lewati. Karena memang kami belum tahu arahnya, kami sempat
berhenti beberapa saat untuk bertanya. Pemandangan yang terlihat sangat
stagnan: kebun dan kabut. Cuaca yang buruk sebenarnya untuk melakukan
perjalanan. Apalagi dengan medan yang jauh dari kata ‘menyenangkan’. Tapi,
karena sudah diniatkan, maka tidak boleh mengeluh. Setelah beberapa waktu,
terkadang ada anak sekolah yang baru pulang. Beberapa tersenyum dan menyapa
kami ‘Selamat siang!’ dengan ramah. Kami membalasnya, kadang juga berhenti dan
bertanya pada mereka. Kasihan sekali, baju mereka basah oleh hujan dan mereka
tidak terlihat sedih sama sekali, justru gembira. Pemandangan itu membuat saya
semakin berpikir, ‘Well, tidak adil kalau saya mengeluh sekarang di saat saya
masih bisa pakai mantel dan naik motor’.
Setelah
perjalanan yang sangaaaat lama sekali, hujan mulai berkurang, meskipun kabut
masih menutupi lembah di kanan atau kiri kami. Perjalanan terus dilanjutkan.
Kami bertemu serombongan anak-anak kecil yang memakai seragam pramuka dengan
label ‘SDN Oja’. Alhamdulillah, kami hampir sampai.
“Iya, Ibu,
Oja sudah dekat, tinggal 3 km saja,” kata mereka. Alhamdulillah...
Suasana Oja |
Kami memacu
motor. Dibalik tikungan, ku lihat sebuah bangunan tak begitu jauh. Mungkin itu gedung
sekolahnya. Ya, tak sampai 10 menit, kami sampai di sekolah itu, SMPN 3
Nangapanda. Dua teman kami yang berada di terlihat tidak percaya ketika kami
sampai.
Kami
disambut dengan gembira. Duduk, berganti pakaian, ngopi, ngobrol, sholat, makan,
dan sebagainya. Hujan kadang masih rintik, tetapi kami merasa tidak masalah
karena berada di dalam ruangan. Angin terlihat bertiup kencang. Beberapa saat
kemudian, kami turun untuk melihat tempat penampungan air yang ada di desa itu.
Besar sekali, entah berapa kubik air yang ada di dalamnya.
Setelah
pertimbangan matang, kami memutuskan untuk pulang—tidak berani melanjutkan
perjalanan ke Malawaru—karena faktor cuaca. Perjalanan pulang terasa lebih
cepat. Mungkin faktor cuaca menjadi salah satu penyebabnya. Langit terlihat
biru dan kabut sudah hilang. Jadi, hamparan perbukitan di sejauh mata memandang
menjadi pemandangan yang menyenangkan. Kami bahkan bisa melihat Kota Ende,
Pulau Ende, dan Maukaro dari atas bukit. Kami berhenti beberapa kali untuk
berfoto dan mampir sholat di SMPN 6 Nangapanda (penempatan Mbak Sri Bekti).
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.
Alhamdulillah,
kami sampai di kota jam 18.45 WITA, saat matahari baru saja terbenam. Badan
memang terlihat terasa capek, tetapi melihat rumah kami di kota, maka rasanya
sungguh melegakan.
Perjalanan
itu hanya merogoh kocek sebesar @50ribu. Memang, ada yang kami sesalkan karena
kami belum sempat mengunjungi Malawaru. Tetapi, next time kami pasti akan ke
sana.
Oke, itulah
perjalanan kami hari itu mengunjungi Oja. Kemana lagi kami akan pergi? tunggu
cerita selanjutnya ^^
@Basecamp Ikan Duyung, 15 Februari 2014
Postingan Gunung Kelud (Tidak Bermaksud Latah)
Hari Kamis,
jam 11 malam, Gunung Kelud di Jawa Timur tidak hanya batuk, tetapi benar-benar
sudah njebluk alias meletus. Saya, yang berjarak ribuan kilometer dari sana,
baru tahu kabarnya pagi ini, setelah cek di facebook. Yap, Gunung yang
pernah—seingat saya—meletus beberapa tahun yang lalu waktu saya kecil, akhirnya
meletus juga setelah beberapa waktu lalu dikabarkan batuk-batuk.
Well, saya
kaget dan lantas berada pada kekhawatiran berlebih karena keluarga saya berada
di Malang (tepatnya di Gunung Kawi) dan Kediri (tepatnya di Lirboyo). Tetapi,
saya merasa berbahagia karena mereka berada dalam keadaan yang aman dan under
control (meski di Lirboyo katanya hujan kerikil sampai setengah meter—ngeri
memang e?!).
Sumber Gambar |
Well, tujuan
saya menulis artikel ini bukanlah untuk menghadirkan informasi berbagai sejarah
tentang Gunung Kelud, karena pasti sudah banyak berserakan info tersebut di
dunia maya. Tetapi, saya ingin menuliskan tentang berbagai hal yang terjadi
pada Indonesia akhir-akhir ini. Kita bisa amati bahwa berbagai ‘musibah’ datang
di Indonesia. Sebut saja Sinabung, banjir di berbagai daerah, hingga gunung
meletus (informasi terbatas jadi saya tidak bisa menyebutkan berbagai daerah
lain di Indonesia). Menurut salah seorang informan yang tidak mau disebutkan,
tahun 2014 memang katanya akan ‘menjungkirbalikkan’ Indonesia dengan berbagai
bencana. Setelah itu, memasuki 2015, sudah kembali baik lagi. Nah,
pertanyaannya adalah apalagi yang akan terjadi di Indonesia selama 2014?
Secara, masih ada 10 bulan lagi hingga berganti tahun menjadi 2015.
Ada satu hal
yang harus digarisbawahi di sini. Bahwa, berbagai bencana tersebut harus
menuntut kesiapan pribadi secara maksimal, dalam segi apapun. Maksudnya,
kesiapan fisik, rohani, hingga finansial. Saya secara pribadi lebih menyarankan
untuk memperbanyak doa dan berserah diri pada Tuhan YME. Yakinlah bahwa semua
yang ditetapkan oleh Alloh itu tidaklah salah. Percayalah bahwa segalanya
adalah yang terbaik untuk kita. Selalu berpositif thinking, tetapi juga selalu
siap siaga. Dengan begitu, setiap bencana yang datang, akan disikapi dengan
bijak dan penuh kesiapan. Semoga, Indonesia tetap baik. Amin.
Heeemmm...postingan
saya kali ini memang geje. Hehehe...
Untukmu Sahabatku...
Teman dekat
atau sahabat adalah seseorang yang akan selalu hadir ketika kita
membutuhkannya.
Well,
definisi itu tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak sepenuhnya benar (untuk sudut
pandang tertentu, tentu keluarga dan calon suami/istri menduduki tempat
istimewa ini).
Selama
beberapa tahun saya hidup di beberapa jenjang pendidikan, teman memiliki arti
yang lebih dibandingkan sebagai seseorang yang akan selalu hadir ketika kita
membutuhkannya. Lebih dari itu, teman memiliki tempat di hati, bersanding dengan
jajaran nama yang familiar seperti Bapak, Ibuk, Mbak, Adek, dan (bahkan) Mas
Pacar. Untuk keluarga besar, saya rasa orang-orang ini memiliki peran
tersendiri, dan tidak selalu menjadi ‘seseorang yang akan selalu hadir ketika
kita membutuhkannya’.
Entah sejak
kapan terjadi, sekolah menjadi satu institusi yang paling mewajibkan seseorang
untuk memiliki teman dekat atau sahabat. Well, mari kita sebuh mereka dengan
istilah ‘sahabat’ saja supaya tidak terlalu panjang pas ngetiknya, wkwkwk...
Balik lagi
ke topik kita, sekolah menjadi tempat dimana memiliki sahabat adalah hal yang
wajib. Cobalah bayangkan, apa yang akan terjadi pada kita tatkala tidak punya
teman di sekolah? Makan di kantin sendirian, menjadi orang yang paling akhir
dipilih dalam tugas kelompok, weekend yang boring karena tidak bisa pijamas
party, dan berkutat hanya dengan tugas dan perpustakaan saja. Bahkan memiliki
pacar pun masih menjadi hal yang lumrah dibandingkan tidak memiliki teman atau
sahabat. Jelas, orang akan dicap aneh apabila kemana-mana sendirian
saja—terlepas apakah dia punya pacar atau tidak.
Sumber Gambar |
Memang,
memiliki teman adalah sesuatu yang amazing,.
Pernah saya
menonton film ‘One Litre of Tears’ (versi asli yang dari Jepang itu), dimana
tokoh utama begitu sangat mencintai dua sahabat yang dengan setia selalu
bersamanya ketika si tokoh utama sakit. Saya bisa merasakan betapa hebatnya
peran sahabat dalam masa-masa yang menggembirakan dan menyedihkan.
Saya pernah
mengalaminya. Ketika saya berdarah-darah (oke, yang ini nglebay tingkat dewa)
nangisin cowok, ketika saya bahagia tingkat dewa ketika merasakan kencan
pertama, ketika terharu karena buku saya akhirnya selesai (dan terbit), ketika
galau ngerjain skripsi, ketika tidak ada tempat untuk pergi, maka merekalah
yang membuka pintu kos dengan tangan terbuka—selalu siap ketika saya mengalami
hal-hal yang warna-warni. Merekalah teman dan sahabat saya yang hadir ketika
saya butuhkan. Well, hal ini tentu saja terlepas dari peran keluarga, karena
ada hal-hal tertentu yang pastinya tidak bisa kita bagi dengan keluarga.
Terimakasih,
untuk segelintir orang yang mau berbagi dunianya dengan saya, yang dengan
bangga saya sebut sahabat saya. Terimakasih untuk hadir dalam salah satu masa
dalam hidup saya, memberikan berbagai pelajaran terbaik bagi saya. Ketahuilah,
tanpa kalian, tentu saya tidak bisa sampai seperti ini. Dengan cara kalian
masing-masing, benar-benar memberi makna tersendiri bagi saya dan kehidupan
saya saat ini.
Dan saat
ini, ketika melihat kalian mencapai cita-cita kalian, menikah dan akhirnya
melahirkan, memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari masa-masa lalu kita, maka
saya akan turut berbahagia. Bahagia untuk keberhasilan kalian. Bahagia untuk
masa depan yang indah.
Selamat.
Selamat untuk pencapaian ini.
Senantiasa
saya doakan semoga hidup kita sama-sama barakah dan mampu menjalani kehidupan
sesuai dengan tugas kita.
Saya sungguh
mencintai kalian.
Monev: The Biggest Day Ever (Warna-warni Ende Part. 37)
Matahari
pagi datang. Mata terasa berat untuk dibuka, tapi tetap harus dibuka. Pusing
melanda. Sisa-sisa mite semalam masih terasa. Saya melirik jam di layar ponsel:
jam 5 pagi. Sinyal iwa ratu semalaman, sehingga tidak ada SMS yang masuk. Saya
pun keluar dan mandi. Yap...rumah masih sepi, di sekitar rumah juga masih
sepi—belum banyak orang yang bangun. Selesai mandi dan sholat, saya pun segera
beres-beres dapur kemudian bersiap-siap. Saya coba mencari sinyal dan
menghubungi Pak Korkab dan tersambung dengan penghuni basecamp: Bang Fe. Info
terbaru, mereka akan datang sekitar jam 9. Saya pun segera bersiap-siap.
Rumah
menjadi agak ramai, begitupun sekolah. Guru-guru mulai terlihat sibuk.
Alhamdulillah, semua persiapan sudah selesai. Papan SD sudah terpasang aman dan
bagus—meski beberapa hurufnya bisa tiba-tiba terlepas, pasalnya mereka
menempelnya di balik baliho kampanye dengan lem kertas yang jelas-jelas tidak
akan lengket dengan sempurna, yap, lagi-lagi masalah kondisi yang seadanya. Meski demikian, saya tetap bersyukur. Alhamdulillah.
Jam 9 lebih,
rombongan datang dengan sebuah otokol. Otokol adalah transportasi unik dari
NTT, yaitu sebuah truk yang dibuat semacam bus, diberi kursi duduk dan atap.
Hampir 30 orang ada di dalamnya—termasuk Bapak WR 3, Staff, dan seorang wakil
dari Dinas PPO. Ramai-ramai dan terlihat wow banget. Kami segera naik ke
sekolah. Dan selama 1 jam berikutnya, teman-teman asyik melakukan berbagai
kegiatan: foto-foto, masuk kelas, buat video, dan makan snack. Bapak WR 3, yang
berkesempatan mengunjungi tempat itu, segera mengobrol dengan Ibu Kepsek dan
guru-guru. Keadaannya terlihat semrawut tapi terlihat terkendali ^^
Selama 1 jam
berikutnya, saya sibuk wira-wiri
menjadi guide teman-teman dan Bapak WR, menyiapkan snack dan minum, foto-foto,
dan sebagainya. Endingnya, kami foto-foto bersama-sama. Teman-teman saya
menikmati kunjungan ke sekolah karena kondisi sekolah yang terlihat ‘M’ (baca:
mengenaskan) itu. Jadi, terlihat wow ketika di foto dan dipasang di media
sosial (well, i can’t say anything about it, rite -_-). Selesai sesi foto-foto,
kami bersiap turun. Saya ikut.
Next Destination is Wologai
Wologai, Desa Berkabut yang Kekurangan Air |
Perjalanan
hari itu ditempuh selama 3 jam, kami sampai pada pukul 2 siang. Cuaca buruk
selama di jalan: hujan angin beberapa kali ditambah kondisi jalan yang sudah
rusak. Perut terasa lapar, udara terasa dingin. Hujan deras menyambut ketika
kami sampai di Sekolah SATAP Wologai. Kami berteduh sambil mengantri kamar mandi
untuk BAK (yang airnya sangat minim meskipun hujan deras).
Beberapa
saat kemudian, kami sepakat untuk turun ke arah Mbani, karena hujan tinggal
rintiknya saja. Beberapa orang memilih untuk tidak turun karena jauh—dan memang
sudah pernah turun juga. Saya belum
pernah, sehingga saya bersikeras ikut. Bagaimana buruknya daerah ini sih? Saya
menganggap tempat tinggal saya sudah merupakan tempat ter-wow selama ini.
Mbani, Oh Wow Banget
Mbani, Hujaunya Lembah Ende |
Setelah 30
menit, kami mengambil jalan pintas, yaitu turun bukit dengan kemiringan 450
(kira-kira nih, kan saya tidak bawa busur derajat :p). Setelah turun bukit,
kami melintasi sebuah dusun kecil, kemudian menuruni bukit (lebih tepatnya,
tidak ada jalan, hanya satu tapak saja yang menurun curam), yang berakhir di
jalan utama. Terlihat 3 motor berjejer, salah satunya yang dipakai oleh Bapak
WR 3. Rupanya, setelah jalan ini, motor tidak bisa masuk lagi karena
menyeberang sungai. Kami menerobos kebun jagung kemudian menyeberang sungai.
Air sedang deras-derasnya karena baru saja turun hujan, sehingga kami harus
berpegangan erat satu sama lain—terutama berpegangan pada teman-teman yang
laki-laki. Selepas sungai, kami menerobos ladang jagung (lagi), barulah sampai
di tanah lapang (tanah lapang yang miring, tentu saja, karena di sini tidak ada
tanah lapang yang datar seperti di Jawa). SD Wologai II terletak di sebelah
kiri tanah lapang, sementara rumah Wahyu, teman kami, terletak di sebelah
kanannya. Kami mengunjugi rumah itu—alih-alih ke SD.
Kami singgah
di rumah selama setengah jam, makan siang dan snack, kemudian pamit karena
mengejar waktu. Rencananya, sesampainya di Ende, kami masih harus melakukan
monev sehingga harus sampai di Ende maksimal jam 8 malam. Nah, perjalanan naik
ke Wologai lah yang paling amazing. Jalannya tidak ada yang datar, mendaki
semua. Badan sudah capek, dan nafas sudah hampir habis. Saya berasa tidak
kuat—tapi meneguhkan kekuatan: harus kuat, tidak boleh menyerah, tidak boleh
merepotkan orang lain. Saya sampai dengan selamat, meski kata teman-teman muka
saya sudah mirip kepiting rebus, hehehe...
Well, kalau
ada daerah yang disebut sebagai 3T, maka Mbani terlihat lebih 3T dibandingkan
sekolah saya. Nilai plusnya, Mbani sudah memiliki sekolah berdinding tembok,
hehehe...
Setelah
semua berkumpul, kami pun segera naik otokol. Perjalanan pulang. Alhamdulillah
tidak hujan.
Monev: Dinner with Bapak WR 3
Di Resto Padang |
Selesai
makan, tibalah sesi diskusi kami. Beberapa teman mengajukan beberapa
pertanyaan, diantaranya penempatan yang harus didampingi, asuransi kesehatan,
dsb. Saya bertanya tentang format laporan. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam,
sehingga pertemuan ditutup dan kami pulang. Kami mengucapkan selamat jalan pada
Bapak WR 3—beliau akan pulang hari Selasa.
Begitulah
akhir perjalanan kami hari itu. Begitulah endingnya, 2 hari yang begitu roller
coaster dalam hidup saya. Rasanya, ada beban berat yang terangkat, ada
kegembiraan ketika pihak kampus datang dan melakukan sarasehan seperti tadi.
Kerinduan pada kampung halaman rasanya sedikit terobati—yah, meskipun Bapak
tidak berkunjung ke basecamp tercinta, tapi setidaknya beliau menyempatkan
hadir menemui kami, para anak-anaknya, bahkan mengunjungi sekolah saya.
Terimakasih Bapak WR 3.
The Day Before Monev (Warna-warni Ende Part. 36)
Monev,
itulah hari yang paling ditunggu setelah sekian bulan kami di sini. Terhitung
sudah bulan keempat kami di sini dan belum sekali pun ada dosen yang berkunjung
untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev). Kata teman-teman yang ada di
penempatan daerah Malinau dan Ngada, sudah dikunjungi oleh dosen—sementara Gayo
Lues, saya dengar belakangan ternyata juga dikunjungi bersamaan dengan Ende.
Makanya, kami yang ada di Ende berasa dianaktirikan karena sampai bulan keempat
belum ada kabar adanya monev. Berdasarkan rapat pada awal bulan Januari lalu,
alhamdulillah sudah ada kepastian bahwa monev akan diadakan pada akhir bulan.
Yeeeiiiy. Berita bagusnya, pak rektor akan datang sendiri untuk mengunjungi
kami. How amazing, rite? Hehehe...tersanjung banget bisa ditemui oleh Bapak
yang satu itu—terlepas dari fakta bahwa dia adalah rektor saya dan ketua PWNU juga.
Seolah bertemu dengan Bapak sendiri.
Hari
berganti hari, kabar tentang monev pun datang pada hari kamis minggu ketiga.
Tanpa tedeng aling-aling, SMS hari itu mengagetkan saya: sekolah saya terpilih akan dikunjungi. Oh wow. Saya sempat shock selama beberapa
saat, speechless tidak bisa mengatakan apapun. Memang, sudah ada perbincangan
pada beberapa waktu lalu kalau sekolah saya akan dikunjungi, tapi masih dalam
status pertimbangan. Dan ketika diputuskan bahwa sekolah saya yang dikunjungi
itu adalah amazing. Mengapa amazing? Pertama, karena lokasinya yang harus ditempuh
dengan melipir bukit dan tidak semua oto mau sampai di sana. Kedua, karena
gedungnya yang merupakan gedung sekolah TERmengenaskan diantara teman-teman
yang lainnya. Ralat: gedung sementara.
Well, apa
yang akan mereka katakan ketika melihat sekolah saya? Bagaimana mereka bisa
mendaki sampai di puncak bukit saya? Bagaimana mereka bisa ‘selamat’ melewati
jalan yang saya rasa sangat ngeri itu? Well, jujur saja, saya takut ketika
mereka harus naik ke tempat saya.
Hari Sabtu,
4 orang secara tiba-tiba datang ke rumah saya. Tujuan mereka sederhana: survey
lokasi kunjungan untuk memutuskan apakah sekolah saya layak untuk dikunjungi,
terutama dari sarana transportasinya. Mendadak rumah menjadi sangat ramai,
memasak dan mengobrol. Ending kunjungan itu cukup sederhana, saya ikut turun.
Saya dengan ojek setia saya.
Insiden
kecil terjadi ketika kami turun bukit. Sebuah batu di tengah jalan terhempas
ban sepeda motor sehingga mengenai sambungan knalpot di bawah stang. Knalpotnya
pecah. Bunyinya keras (sempat saya pikir Bang Fe—si pengendara, terjatuh karena
bunyi dentuman yang cukup keras). Kami turun dengan lebih hati-hati, berhenti
di Puudombo sejenak (tempat KorKec saya). Ternyata si empunya rumah tidak ada,
sedang mencuci oto pickup di Sungai Nangaba. Kami ngeteh dan mbiskuit sejenak,
membicarakan rencana selanjutnya. Rencana awalnya adalah ketiga laki-laki itu:
Bang Fe, Wira, dan Purbo menurunkan kami di Puudombo dan mereka melaju ke
Mbani, sementara saya dan Mbak Eka lanjut ke basecamp. Tapi, rencana itu gagal
karena motornya rusak. Kami pun memutuskan untuk pulang ke basecamp. Ke Mbani
untuk sementara di pending hingga besok pagi. Kami pun cabut menuju ke
basecamp.
Sesampainya
kami di basecamp terjadi berbagai obrolah dan pertimbangan terkait lokasi
kunjungan. Belum ada keputusan resmi bahwa sekolah saya akan dikunjungi, tetapi
hampir semua orang berkeinginan untuk mengunjunginya—karena sekolah yang
mengenaskan itu -_-“
Pagi datang,
saya pun menagih jawaban pada KorKab. Kepastiannya adalah sekolah saya akan
dikunjungi. Saya pun segera menghubungi ojek saya agar dijemput pada siang
hari, agar dapat mengunjungi Ibu Kepala dan melakukan persiapan. Saya ke pasar
dan berbelanja. Namun, siang hingga sore hari, saya galau sekali. Sederhana:
ojek saya belum menjemput.
Hari itu,
saya naik ke bukit lagi jam 7 malam. Yap, jam 7 malam. MALAM. Bisa dibayangkan?
Saya? Naik? Jam? 7? MALAM? Memang horor dan ngeri. Siang saja sudah horor dan
ngeri, apalagi malam kan ya??? Tetapi karena keadaan terpaksa saya pun
memutuskan naik. Tentu saja saya terus berdoa sepanjang. Ada pesan khusus dari
Mas Aziz untuk saya.
Jalan meliuk, cahaya motor menembus kegelapan.Kegelapan tertinggal, titik-titik cahaya lain menandakan kehidupan di beberapa sudut malam.Doa terlantun dalam diam.Alloh bersamaku.
Alhamdulillah,
setelah perjalanan yang cukup singkat, kami sampai di rumah Ibu Len. Setelah
mengobrol dan membuat rencana sederhana, kami pun pulang. Bapak sudah menunggu
di depan pintu dengan was-was—ekspresinya tampak gugup karena saya belum
pulang. Ah, mendadak saya merindukan Bapak saya nun jauh di sana :*
Malam itu,
saya mite hingga jam 2 malam. Kerjaan saya adalah menggoreng keripik dan
membuat papan nama SD. Sebenarnya agak amazing juga ketika mereka membantu
saya. Maksud saya, saya selalu melembur semuanya sendirian selama ini dan
mereka bersedia untuk melembur untuk saya adalah sesuatu yang amazing sekali.
dan guess what, itu adalah kali pertama saya begadang di atas bukit, hehehe
*nggak penting banget.
Selama
melembur itu, saya tidak tahan untuk bersikap tidak biasa. Beberapa kali saya
berkata pedas—karena memang acara membuat papan SD tersebut terlalu
perfeksionis. Saya bermaksud membuatnya sesederhana mungkin: dengan papan dan
kapur. Tapi, beberapa dari mereka berpendapat untuk menggunakan kertas yang
diprint kemudian dipotong barulah ditempel. Itulah yang membuat saya agak
jengkel—yang belakangan saya sesali. Well, mereka sudah sebaik itu menemani
saya begadang dan membuat papan SD, bagaimana mungkin saya menjadi begitu
jahat??? Ketika akhirnya papan itu selesai, saya merasa gembira: hasilnya bagus
dan sesuai dengan keinginan semua orang. Yap, terkadang, kita harus mengalah
dengan pendapat kita dan mengutamakan pendapat bersama.
Well,
bagaimana saat hari H monev? Tunggu postingan selanjutnya ^^
*Satu tahun untuk selamanya, 19 Januari 2014, Minggu=Foto Belum Terpasang=
Subscribe to:
Posts (Atom)