Musim hujan
datang. Sehari-hari basah...
Musim hujan
datang bersamaan dengan datangnya akhir semester. Akhir semester berarti,
penerimaan dan pembagian raport. Tahun ini, sama seperti tahun lalu, saya diharuskan
untuk mengisi raport. Yap, tahun lalu saya menjadi wali kelas di I
Kreatif—pengalaman yang wow banget, apalagi raport pertama, wah...amazing
banget. Tahun ini, saya sudah lebih siap. Jauh-jauh hari sudah menghitung semua
nilai tugas, nilai ulangan, dan sebagainya. Istilahnya, tinggal tunggu nilai
UAS saja. Tapi, ada yang beda juga dengan tahun lalu, yaitu tahun ini saya
membuat raport secara manual alias dengan tangan. Tahun lalu, saya membuatnya
sudah otomatis di komputer lewat excel, jadi tinggal ketik-ketik-ketik, print,
susun, sudah jadi. Praktis. Heemmm...dan beginilah sekarang, menulis dengan
tinta ^^
|
Menulis Rapot |
Tapi, ada
satu hal lagi yang belum bisa diisikan dalam raport saya, yaitu belum ada KKM
atau Kriteria Ketuntasan Minimal. Tahun-tahun sebelumnya, di Worombera, SD
induk, pun belum punya KKM. Nah, kami pun, tiga SD (Worombera, Nakawara, dan
Kekajodho—entah ini nulisnya bener tidak :p) berencana untuk bersama-sama
menentukan KKM, yaitu pada hari Rabu kemarin.
SD Worombera
letaknya 5 km dari dusun Ratenusa. Bersama dengan 3 orang guru lainnya, saya
berangkat. Jalan kaki. Weiits...jangan disamakan perjalanan 5 km yang mulus
dengan jalan aspal. Jalan yang kami lewati berkelok-kelok menyusuri tepian
bukit, di samping jurang, sudah begitu becek, licin, dan harus ekstra hati-hati
agar tidak (sengaja) terpelenting ke jurang, wkwkwk. Sebenarnya, kalau mau
pakai flying fox itu cepat sekali, lho dari SD Worombera, karena SD itu
terlihat dari dusun kami. Yaaaaahhh...hanya beda bukit saja lah :p,
wkwkwkw...seadainya saya spiderman, sudah langsung loncat nih... Tapi,
realitanya, kami pun jalan.... Semangat!! ^^
“Long march long march adalah jalan jauh
Yang harus kita tempuh dengan semangat
satria
Naik gunung turun gunung tiada mengenal lelah
Kaki lecet sepatu diseret tenggorokan haus
dahaga
Siap untuk mengabdi”
(OST. From
Edisi AAU)
Selama
perjalanan kami, lagu itu terus terngiang. Yah...setidaknya bikin semangat :p.
Selama di
jalan, kami berpapasan dengan beberapa orang yang hendak pergi kebun. Jalan
becek karena hujan. Setengah jam kemudian kami sampai. Capek. Panas.
Berkeringat. Nafas habis. Dari jalan utama kami mengambil jalan pintas lewat
gereja Worombera, artinya, mendaki setapak dengan kemiringan hampir 400
(hanya perkiraan, kan saya tidak bawa busur derajat :p).
Akhirnya
kami sampai....Alhamdulillah...
Acara
dimulai. Semacam kuliah evaluasi pembelajaran. Saya sempat dites
lisan—untungnya bisa menjawab, tidak malu-maluin :p. Kemudian kerja KKM. Break
sebentar makan siang dengan menu istimewa—tumis daun singkong, sayur bening
bayam, telur rebus. Lanjut kerja KKM lagi, obrolan ringan, dan acara ditutup
pada pukul 14.30 WITA.
Hujan
menyambut...
Kami
menunggu hujan agak reda, baru turun pulang. Sampai di gereja, hujan lebat. Kami
berhenti di gereja. Gereja Worombera terbilang bangunan yang sangat besar di
daerah itu—meski kalau saya amati, hampir seukuran dengan gereja Pijenan.
Bangunannya belum jadi, baru pondasi dengan atap saja, serta bagian podium.
Belum ada kursi, jendela, dinding, dsb. Kami berteduh selama setengah jam. Dari
gereja, kalau cuaca cerah, saya yakin pemandangan yang terlihat pasti bagus
sekali. Sebab, gereja ini berada di salah satu puncak, sehingga deretan
pegunungan lainnya pun terlihat di sejauh mata memandang. Jajaran pegunungan di
balik bukit Ratenusa dan Nakawara pun terlihat. Wah, saya salah besar kalau
bilang puncak tertinggi itu di Nakawara, karena deretan pegunungan di baliknya
terlihat menjulang tinggi. Ratenusa terlihat pendek. Sayang, kabut menutup semuanya.
Kami hanya bisa melihat hujan dan kabut serta siluet pegunungan dari kejauhan.
Hujan tidak
kunjung berhenti. Kami pun berlari ke rumah Ibu Len, Ibu Kepsek. Kami singgah
untuk berteduh dan minum kopi—khusus saya adalah teh ^^. Hangat...nikmat...baju saya sudah basah.
Dingin.
10 menit
kemudian hujan berhenti. Kami berjalan pulang. Selama perjalanan, saya
dikagetkan oleh sesosok makhluk yang sering dijumpai di Jawa dengan ukuran yang
lebih nano—cacing tanah. Tapi, jangan menjerit, karena cacing tanah di sini,
ukurannya XLLLL—ekstra looooonnnng dan big. Benar-benar mirip ular sawah.
Seukuran jari telunjuk manusia dewasa.
|
Cacing Tanah Ekstra Long |
Saya tidak
menjerit. Hanya geli dan jijik.
Kata Pak Al,
ukurannya bisa berbeda karena struktur tanahnya berbeda. Pak Al memungut
cacing-cacing itu untuk dijadikan umpan memancing belut di kali. Jangan
bayangkan belut di Jawa yang seukuran jari telunjuk itu, ya. Ukuran belut pun
XLLLL di sini, seukuran jari jempol kaki dewasa. Mirip ular dewasa. Tapi,
dagingnya, super enak sekali, mirip daging lele. Saya pernah makan, dibuat
mangut, dan rasanya memang mirip mangut lele. Pasti Bapak suka sekali ini
*kangen Bapak... :*
Kami sampai
di rumah jam 5 sore dalam keadaan basah, capek, dan kaki berlumuran lumpur dan
tanah liat. Tidak apa-apa, pengalaman hari ini super sekali ^^.
#Satu tahun
untuk selamanya.
20 Desember
2013