Praktik
pendidikan di Ende dengan tempat kelahiran saya itu berbeda. Di Bantul, ujian
semester diadakan selama hampir 2 minggu. Untuk SD saya dulu, ujian tertulis
dilaksanakan dalam hari-hari pertama ujian, lanjut ujian praktik di akhir
minggu, barulah ujian diniyah setelahnya. Berbeda dengan praktik di sini. Ujian
praktik dilaksanakan satu minggu sebelum ujian tertulis—atau yang pernah
disebut juga dengan minggu tenang. Jadi, tidak ada KBM, hanya ujian begitu saja.
Untuk ujian
praktik tidak terlalu beda dengan di Bantul. Kami ujian praktik Bahasa
Indonesia, SBK, Penjaskes, Agama Katolik, dan Mulok. Mulok inilah yang paling
saya tunggu-tunggu. Mengapa? Karena di hari itu saya akan memasak.
Sumber Gambar |
Okelah, saya
kan cukup hobi memasak. Maksud saya, saya sudah menghabiskan masa-masa
terdahulu saya dengan menonton acara memasak. Mulai dari gula-gula, dapur kita,
selera nusantara, dan aneka acara TV yang bertema memasak. Saya juga suka
membaca majalah memasak, melihat gambar-gambar masakan, dan sambil membayangkan
saya membuat masakan seperti ini. Hanya saja, karena keterbatasan bahan dan
alat masak, saya pun jarang praktiknya. Meski, untuk urusan memasak, saya lebih
jago dibandingkan kakak perempuan saya, wkwkwwkk... :P
Tapi sejak
di sini, saya memiliki sense yang berbeda soal memasak. Maksud saya, agak sulit
memasak di dapur orang lain. Saya amati, memang, ketika saya memasak di dapur
lain, selalu terlihat kikuk dan hasilnya tidak seyahud ketika di dapur sendiri.
Hasilnya, beberapa masakan saya gagal di sini. Misalnya, bikin sayur yang
keasinan, onde yang belum masak dalamnya, ikan yang aneh, dsb....Makanya saya
agak deg-degan ketika ada praktik memasak.
Berdasarkan
kesepakatan dengan Ibu Astin, kami pun berencana untuk membuat nasi kuning.
Awalnya kami mau buat Onde, tapi kelas 2 bilang, mereka sudah mau bikin Onde.
Kami pun mengalah (FYI, akhirnya, kelas 2 ikut-ikutan bikin nasi kuning -____-
saya agak dongkol tapi ya sudahlah). Berita buruknya, saya belum pernah bikin
nasi kuning. Pokoknya, makanan yang berhubungan dengan nasi itu saya tidak mau
dekat-dekat. Alasannya simpel, takut gosong dan tidak masak. Karena nasi itu
urgen, kalau nasi tidak enak tapi lauknya enak pasti tetap enak. Tapi, kalau
nasi masak tapi lauk tidak enak, tidak terlalu masalah juga.
H-3 anak Ibu
Asti sakit. Saya mulai bingung. Ibu Astin turun ke kota.
Hari H, Ibu
Astin tidak berangkat. Saya grogi. Seadanya saja, saya memasak nasi kuning itu.
Dengan panduan singkat dari Ibu Emi dan Ibu Herlin, saya memasak bersama
kesembilan anak di kelas. Memasaknya memang mudah, menyalakan apinyalah yang
setengah mati. Soalnya anak-anak bawa kayu api yang beberapa masih basah dan
susah menyala. Memasak yang maksimal hanya butuh waktu 2 jam, kali ini sampai
jam setengah 12 baru matang. Itupun, masak ada sesi kedua nasi kuning yang
belum matang.
Anak-anak Sibuk Menyalakan Api...Bullll!!! Asep tok... |
Alhamdulillah,
untuk produk pertama, saya merasa tidak terlalu gagal. Wangi daun pandan dan
gurihnya santan tetap terasa. Rasanya tetap enak kok, meski telur dadar yang
kami buat juga terlalu asin.
Sayang, saya
tidak sempat menfoto selama kegiatan. Makhlumlah, saya sendiri bersama 9 orang
anak yang sama bingungnya dengan saya. Jadi, saya tidak ada waktu untuk pegang
ponsel ataupun menfoto. Hanya satu jepreten saja.
Lain kali,
di akhir semester mendatang, saya mau memasak apa yang sudah saya bisa saja,
misalnya nasi goreng spesial, tart ubi, dan sebagainya. Pokoknya, yang saya
tidak bisa, saya tidak mau... ^^
#Satu tahun
untuk selamanya, 8 November 2013.
No comments:
Post a Comment