Kalian tahu, bagaimana rasanya nama kalian dipanggil secara
tiba-tiba ketika ada 44 orang lain yang deg-degan, bertanya-tanya apakah nama
yang dipanggil itu adalah nama mereka?
Ya...saya merasakannya.
Nama kedua yang dipanggil hari itu adalah nama saya.
Ibu Len memanggil nama saya hari itu.
Siang itu.
Kantor Desa Ranoramba *dokumentasi pribadi |
Selepas perjalanan mengelilingi sepersekian persen dari
Ende, nama saya dipanggil. Penempatan kami akhirnya diumumkan.
Nama pertama yang dipanggil adalah teman saya atas nama
Tarom. Setiap orang sudah merasa deg-degan ketika nama Tarom dipanggil. Termasuk
saya. Dan begitulah, ketika seorang Ibu berumur lebih dari 50 tahun muncul dari
pintu hotel, kami semua sudah menahan nafas, menanti nama siapa yang mereka
panggil.
Tapi, selama sepersekian detik itulah, saya merasa bahwa
nama sayalah yang akan dipanggil.
Dan benar, nama saya yang dipanggil.
Dengan bergetar saya berjalan ke arah Ibu itu. Sementara,
saya yakin, ada begitu banyak mata yang menatap saya. Mata penasaran. Mata
penasaran tentang dimana tempat penempatan saya berada. Menyenangkankah?
Ataukah seperti berita-berita yang sudah didengar: terpencil, krisis air,
krisis sinyal, tidak ada listrik, berbatu-batu, rumah kayu, dsb? Ah...bayangan
saya kok tidak semenyeramkan itu...
Setengahnya, saya merasa takut juga, tapi saya tetap
meyakinkan diri saya. Doa Ibuk sudah banyak terlantun untuk saya. Doa Mas Aziz
juga. Doa Pakdhe juga. Doa begitu banyak orang juga mengalir untuk saya. Alloh
tentu akan mengabulkan doa-doa itu. Doa untuk mendapatkan tempat terbaik bagi
saya.
Saya menjabat tangan Ibu itu dengan penuh percaya
diri—berusaha menyembunyikan ketegangan yang saya rasakan. Wajah ramah itu
tersenyum.
Alhamdulillah.
Beliau memperkenalkan diri. Namanya adalah Magdalena, biasa
dipanggil Ibu Len. Ia adalah kepala sekolah dari SD N Nakawara. Saya
lantas—dengan tidak sopannya—menginterogasi beliau dengan pertanyaan yang
bodoh. Air, listrik, dan sinyal. Dan jawaban Ibu Len sederhana. Air ada,
listrik ada, sinyal juga ada. Jauhnya dari sini adalah kurang dari satu jam.
Tak henti-hentinya saya mengucap syukur dalam hati. Senyum
terkembang.
Tarom pun mendekati saya dan dengan polosnya mengatakan, 40
km dari kota. Oh...semoga tempatnya juga menyenangkan. Amin...
Kemudian, Mbak Eka dipanggil. Dia mendapat tempat penempatan
di SD K Magengura. Lokasi hampir sama dengan tempat saya. Mbak Eka juga senang
dengan kabar itu.
Ibu Len ternyatan masih sibuk dengan hapenya. Oh, ternyata
dia menghubungi Kak Eci, SM3T sebelum saya. Well, begitulah kelanjutan cerita
itu. Saya belanja kebutuhan di Pasar Bongawani bersama Kak Eci. Setelah itu,
saya naik ke bukit bersama Pal Albert dan Riung.
Ketika ada jalanan besar di samping pantai dan Laut Sawu,
sungguh menyenangkan sekali lho. Hawa laut menguar. Asin. Saya menikmati setiap
pemandangan dengan gugup sambil mendengarkan Pak Albert memperkenalkan desa
kita. Sungguh menyenangkan sekali kelihatannya. Tapi tidak tahu, bagaimana
kenyataannya.
Pemandangan laut berubah menjadi berbutkit-bukit. Tahu-tahu,
jalanan mulai menanjak, samping jurang dan samping gunung, berbatu-batu besar,
terjal, dan sebagainya. Jalanan yang mirip dengan Petungkriyono atau Gunung
Kidul. Lokasi yang hampir sama ketika saya baksos beberapa tahun lalu bersama
KMIP.
Membuat saya kangen dengan perjalanan jauh ke Pekalongan
tempo hari. Lagi-lagi mengingatkan saya pada Mas Aziz. Ah...
*lanjut blogging....hush hush...jangan ingat-ingat yang di
sanah!
Begitulah, ada sekitar 30 menit perjalanan dengan medan yang
mengerikan sekali itu. Tahu-tahu saya sudah sampai di Ratenusa, tempat tinggal
saya. Saya disambut baik oleh keluarga baru saya. Bahkan, langsung saja banyak
orang yang berkumpul untuk menyambut saya. Polos dan bodohnya saya, saya tidak
berusaha memperkenalkan diri sebelum mereka bertanya. Yap, kesalahan bodoh
saya.
Kami makan mi instan dan kopi. Semua minum kopi. Kopi bubuk
dengan ampasnya. Termasuk saya. Saya pun minum kopi. Well, sebenarnya sampai
detik ini saya tidak tahu apa beda rasa kopi. Yang saya tahu, godday carabean
nut dan colin itu paling enak...
Selepas itu, saya istirahat sebentar di kamar baru saya.
Sepetak kamar berukuran 2x2 m. Kecil tapi menyenangkan. Dengan satu ranjang,
satu meja, satu jendela, dan satu pintu. Alhamdulillah bersih dan terlihat
nyaman.
Tak sampai beberapa menit, Mama mengetuk pintu.
“Ibu, bisa koh potong ayam?”
Oh my God...pengalaman pertama saya menjagal ayam. Baiklah.
Mau tak mau, saya harus mau. Jadilah, hari pertama saya di Ranoramba itu, ada
seekor ayam yang mati terbunuh di tangan saya. Saya sudah belajar dari Ibuk,
Bapak, dan Mas Aziz. Sudah mantep semua. Berharap saja, ayam itu benar-benar
halal.
Nah, itulah perjalanan singkat saya di hari kedua saya di
Ende. Lanjut besok lagi yak...
Salam semangat dari Ranoramba.
No comments:
Post a Comment