Baiklah
sebelum melanjutkan membaca isi postingan ini, sebaiknya saya tegaskan dulu
bahwa saya orang yang cinta damai dan tidak menyukai permasalahan. Apa yang
akan saya tulis ini hanyalah apa yang saya rasakan, tetapi bukanlah pemicu
sebuah permusuhan. Well, jadi, saya harapkan, bacalah postingan ini dengan
cukup bijak. Saya tidak pernah punya niatan untuk menyindir siapapun. So, kalau
merasa tersindir...ya itu—saya tekankan lagi—di luar niat saya.
Betewe, saya
memang pacaran sebelum menikah,
tetapi jauh dalam hati saya tahu bahwa itu menyalahi aturan agama, tetapi
rasanya ketika ada orang (yang sudah menikah) nyinyir dan bilang dengan sinis,
‘Kita ta’arufan lho, dan bukan pacaran kayak kamu’, hati saya kok rasanya makjleb
banget sih, serasa pengen bilang, ‘maksud lo apa?’ dengan keras (dan super
muntab) di depannya. Tapi tenang, saya tidak pernah melakukannya, saya hanya
akan diam. Well, saya memang orang yang cinta damai dan menghargai setiap
perbedaan prinsip hidup, so saya selalu berkata, ya sudaaaaaahhhlah kalau
memang beda. Terus mau bagaimana? Mau dipaksa ta’arufan? Nggak juga kan,
yoweslaaaaahhhhh..mind your own bussiness gituhh!
Setiap orang
menemukan jodohnya dengan caranya masing-masing. Dan bagi saya, itu bukanlah
sebuah negosiasi, karena kita tidak bisa bernegosiasi dengan kehendak Tuhan.
Tetapi, bila memang saya harus bersama dia saat ini, tanpa ikatan lebih dari
pacaran, maka saya akan menunggu. Menunggu. Karena apa yang kami niatkan ini
bukan untuk main-main. Tolonglah, umur saya sudah berapa, umur dia sudah
berapa, dan kami masih main-main????!!! Helloooo??!!! Seolah kami ini anak-anak
bau kencur sajah!!!
Dan tolong,
jangan men-judge seseorang yang berpacaran sebelum menikah, MESKIPUN dia punya
pemahaman agama yang baik, dengan jilbab yang super gede, dengan jenggot
sepanjang satu meter (okelah, skippp!), ataupun dengan baju yang srundak
srunduk (tidak bermaksud mengecam aliran tertentu). Karena menurut saya,
pacaran atau tidak itu pilihan, ta’aruf atau tidak itu pilihan. Tapi, bahkan
setiap pilihan pun datang karena ada kesempatan. Dan saat ini, saya memilih
untuk berpacaran dan kesempatan inilah yang datang—bukan kesempatan untuk
ta’arufan. Bukan karena saya tidak mau ta’aruf, karena Tuhan sudah menunjukkan
cara saya bertemu dengannya lewat jalan ini. Lewat pacaran.
Dan tolong,
saya tidak pernah men-judge orang-orang, jadi berhentilah menghujat kami, yang
berpacaran sebelum menikah. Inti dari menikah bukanlah dari bagaimana cara kamu
menemukan jodoh, melainkan niat dari menikah itu.
Dan saya,
dengan bangga, belajar dari dia yang saya titipkan setengah hati saya, bahwa
menikah harus diniatkan untuk BERIBADAH pada ALLOH. Sudah. Itu saja. Tidak ada
koma. Bukan karena dikejar deadline menikah, bukan karena dia cowok terganteng
dan tersholih yang saya temui, bukan karena saya ingin punya anak, bukan karena
saran dari orangtua, dsb. Hanya satu: untuk beribadah kepada ALLOH.
No comments:
Post a Comment